Langsung ke konten utama

Lakukanlah dengan hati, maka segalanya akan "bernyawa"

Lakukanlah dengan hati, maka segalanya akan "bernyawa"

Sore tadi,
Saya diajak oleh papa dan mama, menemui salah seorang teman lama mereka.
Dia salah satu seniman tempo doeloe yang masih eksis sampe detik ini.
Beliau pencipta lagu ambon, pelatih vokal, teater coach, intinya hidupnya adalah seni.

Kita datang ke salah satu gedung pertemuan, disalah satu GPIB didaerah Jakarta Selatan. Beliau sedang melatih drama natal. Saat,melihat papa beliau langsung berdiri dan "ber-high five", namanya juga teman lama. Teman yang sama-sama pernah nakal bareng ampe insaf bareng, sekarang tua bareng.

Sambil ngobrol dengan papa dan mama, beliau tetap melatih drama. Drama ini ditulis oleh beliau sendiri. Lalu beliau diminta untuk melatihnya. Kita, memanggilnya Om Unu.

Saya mengambil satu skrip yang masih tersisa, entah milik sapa. Saya hanya ingin tau, apa sih ceritanya. Cukup menarik, cerita drama khas Natal. Konflik disebuah keluarga menjelang natal, masalah yang biasa terjadi didalam kehidupan keluarga kristen menjelang natal, diserta "drama kisah cinta" remaja masa kini. Yaa, okelah untuk drama natal.

Tidak lama beraselang, datang juga satu Oom yang akhirnya saya tau, bahwa dia juga teman lama papa. Dia yang menjadi asisten Om Unu. Mereka memangilnya Opa Papi. Padahal umurnya masih lebih muda daripada papa loh.

Daripada bengong dan ngantuk, apalagi saya tidak tertarik mendengar cerita "tempo doeloe" para orang tua. Jadilah saya menonton latihan drama ini. Opa papi yang mengawasi. Sedangkan Om Unu, sibuk cerita dan bernostalgia. Jadi, saya pikir Om Unu ga akan fokuslah ke latihan ini. Paling engga beliau ga akan terlalu aware pada kesalahan-kesalahan "tawar" dalam latihan ini.

Saya memperhatikan pemeran utamanya. Menurut penjelasan Opa Papi, mereka sudah biasa bahkan terlatih memainkan drama. Pokoknya top-lah. Tapi, jujur nih ya... saat pemeran utamanya bermain, saya ngga dapat "feel"nya. Seriusan loh. Bahkan pada beberapa dialog antara pemeran utama I dan II ini, yang seharusnya menjadi kalimat kunci pada scene ini (*gokil gue pinter banget yak?), terasa "tawar" seolah biasa banget. Ga ada emosi disana. Ga ada sesuatu yang bisa buat sayapun, "merasakan" adegan pada scene ini. Padahal menurut saya, kata2 diskrip ini menyentuh banget. Okeh, saya mulai tidak puas. Scene ini diulang berkali2 oleh Opa Papi. Benerkan, ada yang "lost" disitu?

Setelah berupaya dan berlatih dengan keras, akhirnya mereka lanjut di Scene selanjutnya. Kali ini, pemeran utamanya ganti. Pemeran utama 3 dan 5, dengan latar sebuah mall, ngerumpi, bergosip, pokoknya emosi yang harus didapat adalah lancang dan kenes. Tapi, sama juga. Terlihat sangat datar. Okeh maaf2 kata ya, saya juga sering bermain drama dan teater. Melihat latihan drama dan teater. Jadi, sedikit banyak saya paham tentang emosi yang harus digali dalam sebuah scene. Apalagi, kalo dalam scene itu terdapat benang merah yang akan menyambung beberapa peristiwa hingga scene terakhir.

Ditengah latian yang saya pikir mulai "membosankan" karna datar2 aja. Biasa banget. Tiba2 Om Unu teriak "Stop! Kamu main bagemana ini! Semua macam mati. Kamu kira saya tuli? Kamu main kayak kamu patung. Robot. Baca saja. Hapal saja."
Deg! Ternyata beliau mendengar setiap perkataan, beliau membaca emosi setiap kali diulang. Saya melihat beberapa pemain cukup terkejut kemudian cemberut. Om Unu maju kedepan panggung bayangan dan mulai ceramah. Mulai menilai setiap kalimat skrip yang beliau rasa "ngga dapat feelnya", saya mengamati satu persatu pemain yang ditegur. Mereka terlihat ngedumel, sebel, kesel, bahkan ada ekspresi yang kalo saya bisa lukiskan "ngegampangin". Setelah mengarahkan panjang lebar, kali ini mereka akan mulai lagi.

Scene I diulangi lagi. Damn! Ga berubah sedikitpun intonasinya, emosinya, temponya, jujur ya semuanya terasa tawar. Saya mulai merasakan "atmosfer tegang" didalam ruangan. Karna Om Unu, langsung meng-cut, dan meminta mereka baris sambil memainkan mimik wajah, dengan berbagai emosi.

Beberapa pemeran menunjukkan ekspresi tidak suka dan tidak respect. Ada yang tertawa dan masih sempat ngobrol juga. Padahal, ini sedang dilatih untuk mimik muka loh. Senam wajah. Biar ekspresinya ga kaku.

Kembali lagi ke latian skrip. Scene I berjalan dengan lumayan. Walaupun jujur ya, gregetnya blom dapat. Scene II mulai hancur total. Om unu, meninggalkan kita untuk fokus pada mereka. Bahkan per-kata loh diulangi sama Om Unu. Setiap kata yang ditelinganya beliau terasa "tidak bernyawa", pas diikuti teriakan "Stop,ulang! Sebut kata dengan penuh emosi"

Sampai kita pamit pulangpun, masih sama. Masih sibuk latian. Masih sibuk dimarahin dan ditegur. Malah, beberapa saat sebelum kita pulang, ada pemeran yang dengan lantang bilang "Ini drama natal, uda kayak mau ikut lomba dimana aja!"

Saya ngga tau apa yang terjadi selanjutnya. Karna saya udah menuju mobil. Jujur loh, agak miris denger kalimat itu.

Whats the point is...?

Emang, kalo drama natal, ga perlu latian dengan bnar? Emang kalo "hanya drama natal" ga perlu ada penjiwaan. Asal aja bacanya. Bahkan seolah-olah ngegampangin, begitu?

Rong2 selalu bilang, apa yang dikerjakan dengan hati, akan sampai ke hati. Ga peduli, itu drama buat natal, paskah, 17 agustusan, atau bahkan pementasan seni yang "biasa banget", yang namanya kita "berakting", kita harus menaruh "jiwa" didalam karakter yang kita mainin. Biar jadinya bukan hanya sebuah naskah hafalan yang membosankan, tapi pesan yang tersirat maupun tersurat bisa dinikmati dengan baik

Apalah arti sebuah teknik yang baik dengan latar belakang sekolah akting yang mumpuni, kalo saat kita "berakting" hanya bentuk formalitas aja. Bagi saya pribadi, "memerankan sebuah tokoh" adalah melepaskan karakter saya untuk menjadi dia. Sesulit apapun, bahkan sebiasa apapun. Karna setiap kita, pasti memiliki kemampuan akting yang alamiah, contoh deh kalo bohong..bukannya kita berakting? Samakan? Kalo kita bohong aja bisa "dipercaya", masak akting jujur meranin sebuah tokoh ga bisa.

Saya menghargai mereka yang belajar disebuah sekolah atau universitas jurusan seni "berakting", tapi bagi saya pribadi "mengerjakan seni" apapun itu bentuknya kita harus "menjiwainya"‎, supaya berasa "nyawa"nya dalam setiap gerakan yang kita mainkan.

Jadi, walaupun drama yang dibuat hanyalah untuk kalangan sendiri, tetap saja lakukanlah dengan baik. Segala hal yang dipersiapkan dengan baik, hasilnya pasti memuaskan.

Untuk menjadi pro, kita harus mengalami banyak hal.
Jam terbang adalah penentu sehebat apa dia memerankan sebuah lakon.
Bukan seberapa pintar teknik yang kamu punya, tapi sberapa cerdas kamu memaknai sebuah alur cerita serta menjiwai setiap tokoh yang kamu mainkan.

Drama adalah tulisan yang dimainkan. Tujuan yang sama seperti sebuah tulisan, menyampaikan pesan untuk penonton. Bila pesan itu sampai dengan baik, artinya aktrisnya berhasil.

Aktris adalah pena yang hidup, bila pena adalah pembuat cerita sang konseptor. Aktris adalah mulut dari sang konseptor. Sebagian orang terlahir menjadi konseptor hebat, tapi bukan narator handal.

Benyada Remals "dyzcabz"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...