Langsung ke konten utama

Tentang Kehilangan.


Kehilangan menciptakan luka yang harus dikalahkan dan diredam gejolaknya.
Tapi haruskah, sebuah kehilangan membuat kita mengacaukan tanggung jawab kita?

Tadi pagi, oh sorry... Kemaren pagi lebih tepatnya. Saya datang untuk melihat pasien yang saya masukkan kemarin. Follow up informal. Ada hal yang ingin saya tanyakan.

Ketika saya kembali, saya mampir sebentar ke UGD. Duduk menunggu gojek saya. Disana beredar kabar bahwa Perawat X, diberi SP I. Saya cukup terkejut mendengarnya. Beliau adalah salah satu perawat terbaik dan cekatan yang saya kenal. Selama 3 tahun saya disana, tidak sekalipun beliau membuat sebuah kesalahan konyol. Syukurnya, kesalahan itu tidak fatal dan menghilangkan nyawa. Walaupun cukup meresahkan pasien.

UGD hectic, seperti biasanya. ketika ada panggilan "gawat darurat" dari ranap, dr.jaga meminta tolong saya melihat ke belakang, karna sedang ada pasien di UGD. Saya segera kebelakang. Melihat pasien.

Dalam perjalanan balik dari ranap, saya melihat si X berjalan gontai kearah pintu keluar. Saya sudah mendengar desas-desusnya, saya tidak akan lagi mengungkitnya. Saya hanya mensejajari langkahnya.

Dia menoleh dengan terkejut.
"Dokter tugas?"
Saya menggeleng. "Sok sibuk aja kesini."
Ucap saya santai. Dia masih terdiam bahkan menanggapipun tidak.
"Ibu saya baru meninggal 3 mggu lalu,dok"
Saya mengangguk. Saya menepuk bahunya. Kami masih berjalan disepanjang koridor.

"Kehilangan memang sebrengsek itu. Saya ngerti gimana rasanya."
"Makasih,dok. Saya ngga fokus,dok. Ibu saya adalah semua untuk saya. Bapak sudah pergi 5 tahun lalu."
Saya mengangguk lagi.
"Ambil cuti aja dulu. Tenangin semua hal yang mengganggu. Kamu harus selesai dengan kesedihanmu dulu sebelum kamu menghadapi orang lain. Karna yang kita hadapi adalah hidup orang. Nyawa orang. Kita tidak bisa memilih kesedihan kita dan mengabaikan nyawa orang. Mereka tidak akan mengerti apalagi memahami. Nyawa yang kita hadapi adalah keluarga orang lain."
Dia menatap saya lama. Saya masih terus berjalan.

"Maaf dok. Kalo selama ini saya nyusahin selama jam jaga."
Saya menggeleng santai.
"Saya sangat mengerti. Tapi tidak mentolelrir. Lo orang baik, hanya aja kondisi mental lo sedang tidak baik sekarang. Pulang gih, istirahat. Ambil cuti dulu. Jangan sok kuat."

Sok kuat,nyed? Bukankah kata itu sangat familiar untuk lo sendiri? Sok kuat? Lo sebenernya sedang meneriakki diri lo sendiri,nyet! Sok kuat, lo bilang. Jangaan sok kuat? Lalu lo? Apa yang lo buat 1 minggu setelah Noke meninggal? Lo kembali kerja. Lo jaga UGD. Dan sekarang lo nasehatin orang lain, jangan sok kuat? Helooowwwwww....yedijah! Justru dia mampu menghadapi rasa sedihnya tanpa mengelak. Dia berani jujur. Lo? Lo menutup rapat semua pintu untuk terlihat "sok kuat", bahkan ketika orang akan mengerti kenapa lo cuti dulu. Kenapa lo memilih untuk tenang dulu. Lo? Lo berkuat dan sok kuat untuk jaga UGD. Bahkan mama, amor dan eset saja, mereka memakai waktu "bersedih" mereka untuk mundur sejenak.

Dasar sombong!

"Iya,dok. Dokter ngapain ke Mawar?"
"Pasien gawat. Soalnya ugd rame jadi saya disuruh ke ranap dulu."
Dia mengangguk. Jeda yang cukup akward. Hati dan otak saya bergolak. Memunculkan alasan2 saya. Mementahkan "ke-anomali-an" saya.

"Dok, waktu papa dokter meninggal. Dokter juga langsung masuk kan. Ga ada cuti malah. Dokter gapapa?"
Saya menoleh kearahnya. Orang tidak berhak tau apa yang kamu rasa. Orang tidak boleh masuk terlalu jauh tanpa ijinmu.

"Jangan diikuti. Anggap aja saya lagi bego." Lalu kita berdua tertawa.

Anggap saja saya lagi khilaf. Bego. Bodoh. Tolol. Goblok. Anggap saja saat itu saya, iya saya sedang ah...sudahlah.

1 mggu setelah Noke meninggal...

Saya sedang siap2 untuk jaga. Mama bangun pagi dan terkejut melihat saya sedang siap-siap.

"Kaka mau kemana? Masih jam 7 kok."
"Jaga,ma."
"Udah masuk? Kenapa ga minta cuti dulu?"
"Ngga papa,ma. Ngga ada yang bisa gantiin,ma." Ucap saya pelan, karena alasan paling tolol ini.
"Walaupun ga ada yang gantiin'kan, mereka harus tau kita lagi berduka."
"Ma, sekalipun kita berduka. Bukan berarti pasien ga boleh sakit'kan?"
Mama menatap jengkel kearah saya. "Nanti mama sama siapa dan? Mama sendiri?"
"Ada amor sama eset. Ada misel. Mama ngga sendiri. Ada mbak. Saya cuma pergi sebentar,ma."

Dan saya pergi jaga hari itu. Memang suster yang bertugas dengan saya saat itu cukup terkejut melihat saya datang. Namun, semuanya diam dan berusaha sewajar mungkin.

Ketika jam jaga 21.00, seorang dokter jaga yang senior tiba2 datang. Dokter yang selalu saya gantiin jaga, kalo ada urusan mendadak.

"Yed, kamu bisa jaga? Kamu gapapa? Pulang gih, biar saya yang jaga."
"Saya gapapa,dok. Beneran. Saya datang karena saya mau jaga."
"Yed, saya ngerti kalo kamu mau pulang. Gapapa. Saya gantiin. Saya kasihan karna kamu pasti masih sedih tentang papamu"

Dan point ini adalah hal yang sangat saya benci! Saya benci di kasihani. Saya tidak semenyedihkan itu. Saya tidak butuh tatapan kasihan atau tepukan bahu tanda simpati. Hey, dude... Just be normal,ok?

Saya benci saat orang mengatakan "kasihan papa udah ngga ada." Atau "mereka pasti butuh papanya." Thats suck! Saya benci cara itu, kalimat itu dan suasana akward dimana semua orang menempatkan diri bahwa saya pantas dikasihan. Mungkin "in a good way" tapi saya, bukan orang yang suka menerima simpati dan empati orang lain.

Bila simpati itu datang di 3 hari itu, saya akan menghormati kalian. Saya akan menerima itu karena "sedang dalam suasana"-nya, namun bila itu terjadi setelah lewat dari masa itu. Saya menilainya dari sudut pandang yang berbeda.

Mereka bukan ngasihanin lo,nyed. Meereka berempati sama lo. Kehilangan bokap lo, yang mereka hormati juga!

Apapun itu, saya benci tatapan "kasihan", situasi empati dan simpati yang keluar pada lajurnya! Have i told you, i'm the exception.

Jadi saya cukup memahami kenapa si X itu berusaha untuk tetap bekerja. Bila ada yang bertanya, alasan lo ngga minta cuti apa?

Saya butuh ruang untuk keluar dari kesedihan ini. Saya butuh ruang untuk bernafas sebentar diluar rumah. Saya ingin mengalihkan pikiran saya dari kehilangan papa. Dan menyibukkan diri di UGD adalah salah satunya. Yang kebetulan setiap kali saya jaga, pasiennya kayak stasiun kereta pas mudik.

Lo ga takut, kesedihan lo membuat lo "salah" mengambil keputusan secara jernih? Lo adalah dokter,nyed.

Ngga. Saya ngga takut, karena Yesus ada dengan saya. Saya cukup waras untuk memaknai kehilangan. Kesedihan saya tidak mengaburkan profesionalitas saya sebagai seorang dokter. Saya tau, apa yang saya harus hadapi di UGD. Saya tau, apa yang harus saya lakukan disana. Sehingga, kesedihan saya tentang papa tidak bisa melunturkan dan mengaburkan, sumpah jabatan saya.

Ada berapa banyak dokter yang harus melawan kesedihannya karena tuntutan tugasnya? Tidak ada excused untuk itu. Dihari kamu disumpahi menjadi dokter, dan sepanjang hidupmu, kamu harus siap bertanggung jawab untuk sumpah itu, bahkan saat harus mengorbankan perasaanmu.

Orang tidak mengerti bahwa yang paling menyakitkan dari sebuah kehilangan adalah menemukan diri kita, terperangkap dalam suasana canggung yang aneh. Karena hilangnya dia yang biasanya ada.

Kamu harus keluar sejenak dari sana, sebelum terjebak dalam suasana melow yang tidak terbantahkan. Kamu harus pergi sejenak, untuk menemukan hal lain diluar itu. Kamu harus undur sejenak, bukan untuk lari tapi berpaling dan menjadi kamu yamg lain.

Pulang dari RS, saya duduk diteras. Ditemani segela ice chocolate dan sepiring salad buah. Menatap keseberang sana, ditempat papa biasa duduk.

Pa, sama seperti papa, saya benci menjadi lemah. Saya benci dikasihani. Saya tidak suka dengan tatapan mengasihani orang lain. Kematian adalah bagian dari hidup yang harus kita temui dan jalani. Kematian bukan hanya merengut, namun memisahkan papa dari kita. Tapi bisakah kematian papa, membuat segala yang berjalan terhenti? Bolehkah kepergian papa, menghentikan mimpi2 besar kita,pa? Mimpi papa untuk kita? Rencana2 besar papa untuk masa depan kita?

Airmata saya mengambang, memenuhi setiap sudut mata saya. Jelas kehilangan itu mempengaruhi saya. Sangat. Namun, sebanyak apapun saya menangis, merutuk, mendebat bahkan menolak kenyataan, pada akhirnya saya tetap sadar ini bukanlah yang papa mau. Iyakan,pa?

Bila ada yang pernah kehilangan orang terkasih mereka, kalian akan tau, bagaimana rasanya kangen tapi tidak bisa lagi tersentuh. Rasanya kangen namun suaranya adalah ilusi. Senyumnya hanya halusinasi belaka.

Satu2nya yang hidup adalah kenangannya. Kenangan tentang papa.

Untuk suster X,
Beristirahatlah sejenak dari rutinitasmu. Kami semua memahami situasimu. Datanglah dalam keadaan yang jauh lebih siap. Waktu tidak menunggu. Hidup tidak akan memelankan langkahnya. Kamu diijinkan bersedih, tapi jangan sampai lupa, bahwa hidup harus tetap dijalani. Jangan sampai airmatamu mengaburkan pandangmu, pada tanggung jawab didepanmu. Kita berhadapan dengan nyawa manusia setiap harinya. Keteledoran kecil bisa berimbas fatal. Perlakukanlah mereka, seperti keluarga kita.

Saya mengatakan ini, bukan sok tua atau sok kuat. Saya menjalaninya. Mungkin, saya jauh lebih bisa "mengatur rasa" saya. Saya jauh lebih bisa mengontrol kesedihan saya. Bila kamu mengira, saya sudah berhasil melewatinya? Justru saya sedang menghadapi bagian terberatnya, mengatasi kehilangan. Merayakan kehilangan dengan cara saya. Cara yang bagi sebagian orang "sok kuat", tapi sangat normal bagi seorang saya.

Jangan mengikuti cara saya. Menangislah bila itu diperlukan, jangan menahannya. Jangan menundanya. Jangan menyimpannya. Sebab, alam bawah sadar kita memiliki "memory sakitnya" sndiri. Saat kamu menahan tangismu, bukan berarti kamu sudah kuat. Akan ada moment dimana "memory sakit" dari alam bawah sadarmu bangkit, dan kamu akan menangis jauh lebih hebat dan jauh lebih gila.

Kenapa?

Karena, menahan airmata yang jatuh bukan sebuah bentuk ketegaran. Namun kekerasan untuk mengakui bahwa sebagai manusia kamu memiliki kelemahan. Sebagai manusia, kamu wajar menjadi lemah.

3 October

As I told you, tidak menangis bukan berarti tidak bersedih.

Ada banyak cara manusia merefleksikan kesedihannya, salah satunya dengan mendiamkannya, menutupnya rapat dari sekitarnya lalu meluapkannya pada saat2 tertentu dimana dia mengijinkan dirinya menjadi lemah hanya untuk dirinya sendiri.

Dan, satu hal penting...
Jangan menyalahkan kesedihanmu untuk lalainya tanggung jawabmu sebagai seorang tenaga profesional. Pekerjaan adalah tanggung jawab. Bahkan ketika kamu menangis, jam tidak berhenti bekerja.

Dan, untuk orang yang menanyakan "apa rasanya melihat papamu di RJP didepan matamu? Kamu tidak trauma?"

RJP adalah bagian dari tindakan penyelamatan yang harus dilakukan saat itu. Semua dokter pasti melakukan itu. Mengapa saya menghentikannya? Karna harapannya sangat kecil setelah 15 menit lebih di RJP. Trauma? Tidak, saya tidak sepengecut itu. Trauma dan tidak mau lagi menjadi dokter? Tidak. Itu bukan saya. Tidak ada tempat untuk rasa trauma, bila tujuanmu menjadi dokter untuk bersyukur atas anugerah yang Yesus berikan untukmu.

Benyada Remals "dyzcabz"

Kamu lahir sendiri, kamu berjuang sendiri, kamu bergumul sendiri, kamu matipun sendiri. Satu-satunya yang tidak meninggalkanmu, hanyalah Yesus. (*Noke Ihalauw.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...