Diam adalah bahasa.
Bahasa yang tidak dibahasakan. Bahasa yang tidak terkatakan.
Diam, salah satu caramu berbicara pada sekitar, kamu tidak ingin bersuara dan diganggu.
Diam, salah satu cerita yang tidak dilantunkan dengan lantang. Bahasanya adalah sepi.
Diam adalah nyanyian hati terdalam, bumi tidak perlu tau, apa yang harus dibisikkan pada langit.
Diam adalah amarah yang tersembunyi diantara gelegar tawa sumbang si empunya pesta.
Diam adalah cara tertawar untuk menata hidup dan gerakan selanjutnya. Tawar? Karna akan manis bila segala hal bisa dibicarakan dengan benar, bukan dibungkam atas nama bela rasa.
Tidak semua cerita perlu dibahasakan. Tidak juga harus diceritakan. Luka yang terbuka kembali-pun tidak pantas untuk diteriakkan kembali rasa sakitnya. Kenangan yang lalu pun tidak seharusnya digaungkan terus.
Ada waktunya, kamu diam. Menunggu. Melihat. Hingga memutuskan, kapan harus mengakhirinya? Sampai berapa lama lagi harus menunggu? Seberapa jauh lagi bertahan?
Kadang cerita yang terlihat orang, tidak semanis apa yang kamu jalani. Semua hanya mengira dan menilai. Kamu? Kamu tersesat dalam cerita ini. Kamu terlalu patuh untuk menggugatnya, hingga akhirnya kamu mendiamkannya.
Suaramu tertahan oleh tembok-tembok besi bernama belas kasihan. Tangismu terbentur atap kokoh yang kamu bentuk, kesabaran. Caci makimu, tertutup pada dasar bangunan lapuk itu, cinta.
Bila aku boleh menjadi sebodoh kamu, siapa yang ingin kamu bahagiakan disana?
Siapa yang ingin kamu pertahankan didalam kekosongan itu?
Cinta? Dia? Harga dirimu? Kisah masa lalu?
Bila aku boleh menjadi senaif kamu,
Untuk siapa kamu menguatkan dirimu, diantara kehancuran rumah impian mu?
Bila aku boleh memberi nasihat,
Diammu tidak memberikan jalan keluar apapun. Teriakan, umpatan, makian, tangisan pun tidak mengubah apapun.
Yang harus kamu lakukan, bangun dan keluar!
Diam hanya masalah waktu. Kediamanmu hanya mengulur waktu dan menambah sakit itu. Bisakah sekali saja, kamu menjadi pemberontak? Menjadi kamu yang saya kenal dulu? Bisakah kamu mengembalikan kamu yang dulu saya kagumi?
Jangan matikan dirimu yang dulu untuk tenggelam menjadi patung bodoh yang ditiupkan nafas. Kamu lebih dari itu.
Beer kita sudah habis, potato wedges pun sudah kosong. Rokokmu masih tersulut. Kita duduk terdiam ditengah sepinya cafe itu. Cafe yang belasan tahun lalu, kamu ceritakan berita bahagia itu. Hingga akhirnya kamu ceritakan bagian lain dari cerita bahagia itu.
Kita masih sama. Sama seperti dulu, 2 perempuan "gila" yang memiliki mimpi tentang menaklukkan dunia. Dengan cara yang berbeda.
Bahagia selalu punya versi sendiri-sendiri.
Entah versi mana yang kamu pilih. Ending mana yang kamu inginkan. Aku tidak tau, bahkan tidak berani memikirkannya.
Lanjutkan hidupmu, hentikan diammu.
Hidup tidak pernah sejahat ini, walaupun tidak juga sebaik itu. waktu tidak akan mengampunimu, yang coba memelankannya. Tidak ada yang salah dengan cinta. Hanya saja, kamu harus memahami dalam beberapa versi, cinta harusnya membahagiakan bukan meluluh-lantahkan.
Cinta sanggup memaafkan, kita tau itu. Tapi, mungkinkah Cinta yang dia beri, membalut luka yang dia hadirkan?
Bahkan dalam keadaan sebodoh inipun, kamu selalu ada dipihaknya.
Aku pernah melihat cinta seperti ini. Kamu tau bagaimana akhirnya? Salah satu dari mereka harus kehilangan. Pergi ketempat dimana segala hal jauh lebih baik. Cinta mereka abadi, hanya saja, dalam sebuah komitmen seumur hidup kamu membutuhkan lebih dari sekadar cinta.
Pernah dengar kalimat ini "untuk mencintai, cinta saja tidak pernah cukup"
Salah satu hari di awal oktober,
Bersama sahabat dekat saya.
Mengapa sulit sekali mencintai dengan benar, bila kamu sudah dicintai dengan sangat sempurna?
Ah, saya lupa... Bila ada cinta yang sempurna, orang ke 3 seharusnya Tuhan, bukan orang lain yang sengaja kamu hadirkan atas nama kesempurnaan cinta.
Bersyukurlah atas segala hal yang kamu miliki hari ini. Sebelum semesta mengalamatkan balasan yang setimpal atas namamu. Tidak hari ini, bukan juga saat ini, nanti... Ada waktunya, saat kamu lupa. Saat kamu merasa hidupmu sedang baik-baik saja.
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar