Langsung ke konten utama

Keluarga.

Terlihat sempurna bagi orang lain bukan berarti mereka tidak memiliki "cerita"
Kesempurnaan yang terlihat adalah topeng sempurna untuk menutup hal-hal yang tidak boleh kamu ketahui.

Keluarga?

Adalah sekumpulan orang yang ditempatkan Tuhan disisimu, menemani, menjaga, mengawasi dan menyaksikan hal terburuk dalam hidupmu,
Namun tetap tinggal tanpa pernah bertanya dan membantah, sesekali mendebat tapi tidak akan meninggalkan.


Sore itu, saya dan Rasta pamit pada mama. Kita mau pergi ke rumah salah seorang guru dalam kehidupan kami. Orang yang selalu mengajarkan kami tentang segala hal yang benar walaupun belum tentu dengan cara yang baik. Sebutlah beliau Ibu Nunik. Guru PPKN pada masa kami SMA, bukan guru disekolah kami. Kami hanya mengenalnya sebagai orang yang wajib dipatuhi pada masa itu. Masa putih abu-abu.

2 hari yang lalu, Rasta mengabari saya beliau sedang sakit parah. Entah bagaimana mendefinisikan parah bila kamu berbicara dengan seorang dokter. Agak konyol sebenernya, saat mendengar saya mengiyakan untuk datang tanpa mendebat seperti biasanya. Untuk beberapa orang saya rela terlihat konyol bahkan bodoh. Nita dan Rara tidak bisa hadir. Gembul lagi diluar kota. Jadi, hanya kita yang mewakili KAMI.

Kenapa Ibu Nunik sangat berharga untuk kami?

Karna pada masa itu, hanya ibu Nunik yang mau mendengarkan keluh kesah kami. Beliau yang mejadi teman kami disekolahan. Beliau yang mau membuka pintu rumahnya untuk kami. Menerima kami sebagai anak muridnya bahkan yang sulit untuk ditangani oleh guru BP. Ibu Nunik sudah seperti orang tua bagi kami. Bahkan Noke pun mengenal beliau. Beliau tidak mengajar di sekolah kami. Beliau hanya teman dari salah satu guru disekolahan kami.

Suatu ketika, kami ketahuan MADOL disekolah. Hal bodoh yang seharusnya tidak kami lakukan. Tapi, masa SMA adalah cerita lain. Iyakan? Kami balapan. Saya tidak dipanggil, karena sekolahan saya berbeda dengan mereka. Sehingga saya tidak begitu bermasalah. Namun, RIO, RASTA, TOM2, dan NITA diapnggil. Dikenakan hukuman, karena bolosnya hampir 1 minggu. Mereka hampir dikeluarkan dari sekolah, hingga IBU NUNIK yang datang dan menjamin bahwa anak-anak nakal ini akan berubah. Seingat saya, itu kelas II, semester I akhir. awalnya, bu Nunik dan kami tidak sejalan. Kami main kucing-kucingan dengan beliau. Nakal sudah mendarah daging bagi kami. Hingga pada suatu titik, dimana beliau menangkap kami. Menempatkan kami pada titik terendah, dimana kami tidak mungkin untuk mengelak dan berkuat bahwa kami tidak butuh "penolong" seperti beliau.

Salah satu dari kami, hampir dikeluarkan dari sekolah itu. Dan, Bu Nunik sekali lagi menjamin kami. Menjamin mereka tepatnya. Kami mulai mempersiapkan diri kami dengan baik untuk ujian kenaikkan kelas. Kami mulai mengadakan deal dengan beliau. Kami boleh balapan asal nilai ujian baik. Kami boleh madol asal semua tugas kami rampung. Bahkan ada beberapa kali, kami mengajak BU Nunik nongkrong di parkit dan kemang. Setu lembang dan beberapa tempat madol lainnya. Bu Nunik adalah contoh guru yang mendidik dengan cara yang menyenangkan. Bahkan ketika, saya berangkat ke Sorong dulu, beliau menelpon mama menanyakan saya. Apa yedy ga ujian lagi di jakarta aja? Apa mau balik ke sekolahnya aja, beliau yang mengurus semuanya. Isnt she lovely?

Rumah BU Nunik adalah basecamp ke 3 setelah rumah rasta, rumah rio. Kami akan selalu mampir kesana, disaat kami tidak mengerti tentang mata pelajaran eksasta. Beliau sangat cerdas. Beliau mampu mengajari kami kimia, matematika, fisika. Entah kenapa justru beliau mengajar PPKN? Rio selalu mempertanyakan itu setiap kali kita selesai mengerjakan PR dirumahnya. Beliau hanya akan tersenyum tanpa menjawab.

Bu Nunik adalah perempuan jawa dengan aksen kental basa jawa, juga prilaku khas ningrat kejawen. Rumahnya sangat luas pada masa itu. Suaminya seorang bankir ternama. Sama-sama orang jawa. Beliau memiliki 4 anak. Semuanya laki-laki. Yang paling tua, seorang PILOT. Yang kedua, kuliah diluar negeri. Yang ke 3 dan 4, jarang beliau ceritakan. Memasuki rumah BU Nunik sama seperti masuk dalam gerbang bunga, dimana-mana bunga tertata apik dan sangat manis untuk dilihat. Beliau pintar memadu-madankan warna-warna bunga. Bahkan untuk bunga yang sekilas nampak sangat biasa saja. Seperti bunga tai ayam, ada yang tau? Yang warna-warni putih dan kuning kalo dipegang wanginya kurang sedap. Namun, bila dia ditatap berjejer dengan Bunga Vinca berwarna merah maroon, exotic orange dan ungu, rasanya kok enggan berpaling ya? Sederet bunga Cornflower Blue ditaruh melingkari bunga Nemesia Carnivall yang berwarna-warni, itu bener-bener memanjakan mata. Bu Nunik mencintai bunga. Sayangnya, anggrek hanya satu jenis dirumahnya, Anggrek Bulan putih dan ungu. Puspa pesona kala itu. Datang ke rumah BU Nunik selalu disiapkan makanan enak, biasanya kami belajar sambil menghadap taman belakangnya sambil menikmati kicau burung kolibri dan dihadiahi tatapan sangar dari ELANG. Di sudut kanannya ada burung hantu bersama sangkarnya, namanya Crawly. Bu Nunik sangat cermat, teliti dan pandai menata setiap ruang dalam rumahnya. Siapapun yang singgah, pasti akan merasa "pulang kerumah". Sayangnya, saya belum pernah mengajak Sinsi dan Noke untuk berkunjung kerumahnya.

Hanya itu yang kita tau tentang BU NUNIK. Kesempurnaannya. Baik sebagai seorang pengajar, ibu, istri dan teman yang menyenangkan.


Saya dan Rasta sampai pada rumah itu. Rumah yang dulu sangat kami banggakan. Rumah pelarian kami dari hiruk pikuk sekolah dan "kenakalan" masa remaja kami. Kembali lagi ditempat itu, namun semua hal telah berbeda. Kering. Kosong. Entah kemana bunga dan tanaman lainnya. Kami mendapati seorang satpam sedang berjaga disana.

"Mas, permisi mau cari ibu nunik?"
"dalem,mas. Ibu lagi dikamar. Mari saya antarken." ucapnya dalam nada dan gaya paling sopan yang pernah saya liat. (*untuk ukuran seorang Satpam)

Dia mengantar kita masuk, bau tua menyeruak keluar. Saya dan Rasta saling melihat tanpa berkomentar. Rumah ini seperti tidak berpenghuni. Tidak terawat lagi. Lawa-lawa dan debu memenuhi atapnya. Kursi tamu dan sofa pada ruang keluarga sudah terlihat lapuk. Ketika Rasta duduk, ada bunyi "kreeeeek" yang menyedihkan disana. Astaga 15 tahun sudah berlalu, sejak hari itu. Saya tidak pernah lagi muncul bahkan pamit pada beliau. Semua begitu terburu-buru. Rumah ini, menjadi saksi bagaimana konyolnya masa remaja kami. Senakal apa kami dulu, hingga butuh didampingi oleh beliau hhahahahahhahaaa...

Penjaga rumah ini mengetuk pelan pintu kamar BU Nunik. Terdengar ijin dengan suara amat pelan dari dalam untuk masuk. Saya dan Rasta masuk. Pemandangan yang seumur hidup tidak akan pernah saya bayangkan. Perempuan gesit dan berwibawa itu terlihat puluhan kali lebih tua dari umurnya. Beliau tersuruk masuk diantara bantal-bantal yang menimbunnya. Stroke. Hanya itu yang dibilang oleh perawat yang menjaga beliau. Badan kirinya setengah lumpuh. Bicaranya tidak sejelas dan selantang dulu. Airmata menggenang dimatanya, tatkala melihat kami tegak disamping tempat tidur beliau. Saya menggenggam tanganya. Airmata saya luruh melihatnya. Saya tidak pernah mengira akan menemukan beliau dalam keadaan seperti ini. Tidak dalam kenyataan apapun. Atau mimpi manapun. Tidak.

"Bu Nik, masih ingat saya? Bennu. Yedy." saya menggenggam tangannya kian erat. Tangan yang selalu merangkul dan mendorong maju murid-muridnya. Tangan yang mengajar dan sesekali menghajar kami bila keterlaluan tingkahnya. Tangan yang melahirkan begitu banyak murid pandai yang "jadi orang". Tangan yang selalu membimbing. Tangan hangat Bu Nunik.
Beliau meraba-raba tangan saya dan pipi saya. Matanya tidak lagi melihat, sejak serangan stroke ke 4 kalinya 2 tahun lalu. Beliau terkurung dalam rumahnya. Hanya sesekali ditengok oleh keluarganya. Suami dan anak-anaknya. Mantan suami lebih tepatnya.
"Cah Nakal. Sama siapa kamu datang?" tanya terbata dan usaha yang lebih untuk terdengar. Rasta membantunya duduk lebih tegak dengan menaruh bantal pada punggung belakangnya, sebagai sandarannnya.

"coba ibu tebak, suara siapa ini?" Rasta menyapanya. Lalu Bu Nik dengan semangat menjawab "Cah Gendeng"
"BU Nik, apa kabar?" tanya Rasta
"yoo gini ae. Ojo basa  basi kamu. Udah liat kok masi nanya."
"Bu, tinggal ditemeni sapa?"
"ponakan,cah nakal. Kamu kapan mbalek dari irian?"
Saya tertawa mendengarnya. Syukurlah, stroke tidak merengut memorynya. Suaranya, aksennya, caranya bertanya, masih seperti Bu Niknya kami yang dulu. Yang pandai membuat ketoprak. Tongseng ayam-jagung. Bakwan tempe terempuk. Sambel mangga legend. Entah kenapa ya, setiap kali kerumahnya Sambel Mangga itu makanan wajib yang ga boleh dianggurin. Makan dengan nasi panas dan ikan asin, itu udah mewah banget loh! Plecing kangkungnya juara banget. Sayur daun melinjonya juga. Seandainya, waktu bisa kembali... 

"Saya udah lama,bu. Udah dokter malah."
"Lah kok baru datenge sak iki toh? Lupa kamu sama ibu-mu?... " beliau memberi jeda yang cukup lama, sebelumnya melanjutkan,
.....saya tau, kamu dah dadi dokter. Pinter kamu. Pak Umar bilang sama saya. Kamu, cah gendeng? Kerja karo bapakmu?"
Rasta tertawa medengarnya. "Pak Umar pasti hapal banget sama lo,nyet. Lo paling males olahraga,kan?" giliran saya yang tertawa.

"tiiii, banyune mana? Murid ku loh iki." teriaknya seadanya.
"BU, kita bisa ngambil sendiri. Lagian inikan rumah kita juga."
Beliau mengangguk dan menggenggam tangan saya lagi. Saya terdiam menatapnya. Ada tanya yang ingin melompat keluar, namun setengah mati saya tahan. Tidak etis rasanya menanyakan apa yang terjadi. Disaat beliau sedang senang dikunjungi oleh kami.

Namun, nalurinya telalu tajam untuk disangkal. Atau terlalu tebal untuk dikelabui?

Lalu, bergulirnya cerita itu dengan pelan dan setengah terbata. Tentang suaminya yang diijinkannya menikah lagi, karena stroke yang dialaminya dalam 9 tahun terakhir. Anaknya sibuk, hanya sesekali datang menengok. Anak ke 4-nya meninggal karena OD. Anak ke 3-nya, hilang entah kemana. Sejak ayahnya menikah lagi dan ibunya stroke, dia seolah menolak kenyataan. Anak 1 dan 2 yang "jadi orang". Beliau bercerita tentang keputusaasannya menghadapi hidupnya. Sering kali, dia bertriak pada Tuhan agar mengambilnya. Beliau tidak lagi kuat untuk bertahan. Rumah inipun, sudah seperti gudang tua tanpa penghuni. Bunganya mati. Semua perabotannya sudah tua dan lapuk. Ponakannya bukanlah seorang yang telaten dan terlatih. Dia juga diminta dengan sangat terpaksa, karena tidak ada lagi yang bisa menemaninya disini. Kakak-kakak beliau sudah lama meninggal. Beliau hanya tinggal sebatang karan. Ponakan -ponakan yang lain berkarier diluar negeri. Tidak pernah ada yang datang dan menjenguk. Kecuali, orang suruhan suaminya untuk membawa uang santunan. Suaminya bahkan tidak pernah melihat beliau lagi sejak 5 tahun yang lalu.


Saya dan Rasta menatapnya dengan diam. Saya memeluknya. Mata saya sama basahnya dengan Rasta. Kami menunduk untuk menyembunyikan kesedihan kami. Beliau masih bertutur, rasanya seperti rusa yang menemukan sumber air. Terlepaslah semua dahaga batin yang beliau sembunyikan dengan diam. Kami tidak menyela atau membantah. Persis seperti belasan tahun lalu, saat beliau menasehati kami. Kami hanya diam dan mendengarkan sesekali saya menyeka matanya.

"aku ini sudah tua. Aku pasrah kapan Allah SWT mau memanggil. Hidupku sudah selesai,cah.
Tidak ada lagi yang aku inginkan, kecuali kembali pada Allah."

Hidupnya memang terbatas, hanya pada kamar ini. Untuk mandipun hanya diatas tempat tidur ini. Bila beliau ingin melihat taman diluar, harus menunggu Satpam itu datang. Satpam itu pun tidak selalu ada dirumah, karena memiliki kerjaan lain. Hanya 3 kali seminggu dia datang untuk melihat IBU. Dia adalah mantan murid ibu, sama seperti kami.

Kami menemani beliau hingga tertidur. Kemudian, saya dan Rasta pamit pulang pada Wati. Sepanjang jalan ke mobil, kami tidak banyak berbicara seperti biasanya. Rasta memegang tangan saya, karna jalan menuju mobil cukup jauh. Dan jalan setapak ini menantang sekali. Dibawah rindangnya pohon kamboja dan rasamala, saya dan rasta meggumamkan lagu itu, lagu yang selalu kami dengarkan bila datang ke rumah ibu, sewu kuto. Entah kenapa, lagu ini selalu diputar oleh BU Nik.

Sewu kuto uwis tak liwati, sewu ati tak takoni.
Nanging kabeh, podo  rangerteni.
Lungamu neng endi.

Sejenak saya dan Rasta menoleh menatap rumah tua itu. Begitu banyak manusia yang dimanusiakan dirumah itu. Dibentuk hingga menjadi orang, namun saat sang guru, ibu, istri, teman, jatuh sakit tidak satupun bayangan yang datang menghampirinya. Sedih ya?

Kenapa saya menuliskan kisah ini?

Saya teringat Opa dan Oma di Sorong. Begitulah mereka. Seperti BU Nik. Ketika mereka kuat dan masih "berharga", semua orang yang dibesarkan disana datang dan seolah-olah mencari muka. Semua datang mendekat dan peduli. Namun, saat Opa meninggal dan perlahan Oma juga mulai pikun. Bahkan ingatannya terlalu rapuh untuk dikembalikan, tidak ada yang datang. Hanya sesekali yang numpang lewat dan numpang makan. Selebihnya ya sudah.

Menjadi tua itu bukan sebuah pilihan, tapi kepastian. Sepasti matahari yang terbit di timur. Sudah hukum alamnya begitu. Siapa yang bisa melawan Tuhan?
Namun, menjadi tidak terlihat karena tua itu menyedihkan. Sangat memprihatinkan. Saya tidak menuliskan ini untuk menyalahkan orang lain. Atau juga membenarkan diri saya bahwa saya "sudah" berbuat banyak untuk Bu Nik. Saya juga salah, saya baru datang dan baru tau kalau kondisinya memprihatinkan sekali.

Beliau tidak butuh dikasihani, namun perhatian. Bukan dari orang luar, dari orang terdekatnya aja. Apa itu juga begitu sulit?

Jangan nge-judge,nyet!!! Itu bukan porsi lo, lo ga tau gimana ceritanya. Mungkin saja, Bu Nik yang menolak pindah dari rumahnya karena ada banyak kenangan disana? Mungkin juga anaknya selalu menawarkan untuk pindah ikut mereka, namun keadaannya tidak memungkinkan. Bisa jadi, anaknya setiap hari datang kesana, hanya kebetulan aja lagi absen dulu hari itu. Pas banget hari lo dateng. Selalu ada kemungkinan lain,nyet. Menghakimi keluarganya hanya karena mereka tidak berpikiran yang sama dengan lo, itu salah. Lo tidak hidup pada lajur yang sedang mereka alami. Jadi jangan mengatur hidup orang, menurut kacamata lo.

Keluarga.

Orang terdekat yang tidak akan meninggalkan kita, bahkan ketika dunia meragukan kita. Bahkan ketika saya meragukan "saya".
Orang yang selalu dan tetap mendukung kamu, semustahil apapun mimpimu.
Orang yang menangis bersamamu.
Orang memelukmu paling dulu ketika badai menghantammu.

Hadiah terindah yang Tuhan tempatkan untuk membentuk duniamu. Sebelum kamu menemukan masa depanmu.

Keluarga, tempatmu membangun masa kecilmu, meninggalkan masa lalumu, menjalani harimu dan memperjuangkan masa depanmu.


Bila, sebagai keluarga...
Kamu bisa mengabaikan keluargamu, layakkah kamu disebut keluarga?


Bu Nik, semoga semesta mendengar semua keluh kesah dan doa yang terlantun dalam diam.

Sebagai, anak didik yang pernah mengenal Ibu, saya mendoakan yang terbaik bagi Ibu.
Terima kasih, karena sudah bertahan selama ini, hingga saya masih bisa menemukanmu,Bu.
Saya masih sempat mengucapkan terima kasih untuk semua yang ibu buat.

Saya berharap, Ibu selalu dianugerahkan ketaban, keikhlasan juga kekuatan untuk menghadapi hidup dengan segala cobaannya.
Saya tidak berjanji,bu... Namun, saya akan menyempatkan waktu untuk kembali lagi. Lagi dan lagi.


25 September


Saya pikir hal terberat dalam hidup adalah saat kehilangan orang terkasih. Nyatanya, lebih baik kita tahu orang terkasih sudah meninggal.
Daripada hidup, namun terasa sudah meninggal.

"lo kagetkan ngeliat BU Nik?"
"gue jauh lebih kaget ngeliat kenyataan bahwa dia sendiri disana. Keluarga yang selalu dia banggakan dulu. Bahkan seorangpun tidak ada yang bisa tinggal menemani."
"setiap keluarga selalu punya "cerita" ada rahasia yang tersimpan didalamnya"
Saya menatap Rasta. Saya tidak akan mendebatnya. Dia betul, keluarga adalah tempat menyimpan segala rahasia, yang tidak terjangkau oleh orang luar.

Bila keluargamu terlihat baik-baik saja, bukan berarti suatu hari nanti cerita ini tidak bisa menimpamu'kan?
Semesta selalu punya skenario berbeda untuk setiap pemainnya. Bila hari ini mereka, bukan tidak mungkin besok adalah saya'kan?
Terlihat sempurna, bukan berarti tidak bermasalah. Dan, terlihat amburadul tidak selamanya diartikan tidak harmonis.
Kadang, kita hanya menyimpulkan apa yang mau kita percaya dan lihat. Tanpa, memberi kesempatan pada waktu untuk menjabarkannya.

Kamu tau, apa yang menakutkan dari hidup? Berhenti dicintai. Diabaikan. Dilupakan.


Benyada Remals "dyzcabz"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...