Saya pikir, saya harus menulis ini. Karna ada sesuatu hal yang cukup meresahkan didalam pikiran saya.
Walaupun, kadang saya melakukan hal salah ini. Membuat orang lain menjadi bahan tertawaan. Saya tau ini salah. Dan, saya sedang berusaha untuk memperbaikinya. (*Serius)
Saya menonton sebuah acara TV nasional yang sdang menayangkan acara lomba menjadi "komika". Acara favorite saya. Lalu, ada sebuah moment dimana hostnya memanggil salah seorang penonton maju ke depan. Anak kuliahan, kalau tidak salah. Lalu apa yang salah,nyed?
Tidak ada yang salah dengan memanggil anak itu. Hanya saja, kondisi fisik anak itu, unik. Bahasa sederhananya ada sesuatu yang kurang bila sempurna menjadi batas penilaian tertinggi.
Matanya Strabismus. Kepalanya "peyang". Si host menarik adek ini untuk maju, dia mengikuti sambil tertawa seadanya. Dia menyembunyikan wajahnya dengan selalu menghindari sorotan kamera dan menaikkan tangan kirinya menutupi wajahnya. Dia menghidari berbicara di 6mic yang diberikan. Namun ,tetap si adek tertawa seadanya. Awalnya saya melihat gerak-gerik ini biasa saja. Namun, setelah 5 menit berlalu, saya "membaca" si adek sedang self defense. Kenapa? Secara tidak langsung, host sedang "mempertontonkan" apa yang mungkin belum bisa diterima oleh dirinya sendiri, keunikkannya. Memang, acara itu menghibur. Dan kebanyakan dari penonton tertawa.
Tapi, bisakah kamu liat dengan baik, orangnya bahkan tidak nyaman berada didalam situasi itu.
Orang yang kita jadikan objek tertawaan, belum berdamai dengan keunikkannya sendiri.
Lalu, salah seorang host membawanya menuju juri yang biasanya jadi "penderma" alias "donatur" tetap diacara itu. Si adek mengikuti namun lebih tampak setengah ditarik kearah kursi juri itu. Sambil tetap menyembunyikan wajahnya, menghalanginya dengan tangan dan menghindari mic. Lalu, si host bertanya "kamu ga mau dikasih duit sama m**?" Dengan cepat si adek menjawab "ngga mau", namun suaranya terdengar pelan dan jauh. Karna dia menjauh dari mic.
Parodi bodoh itu berlangsung 10 menit. Hiingga akhirnya, salah satu host mungkin menyadari "gesture" ketidaknyamanan si adek diatas panggung itu. Mereka menyudahi dagelan itu dan si adek pun duduk.
Stop lebai,nyed. Ga ada yang salah disitu. Lo aja yang belebihan.
Semoga saja, saya yang salah menanggapi "gesture" si adek itu. Semoga juga, adek itu memang nyaman berada di atas panggung dan dijadikan bahan untuk melucu. Adakah orang yang tahan dijadikan bahan tertawaan? Tidak ada. Mungkin ada, ketika dia sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Berdamai dengan "saya"
Saya adalah diri sendiri. Sudahkah saya bisa menerima apa yang "unik" didalam diri saya atau tubuh saya? Bisakah saya tetap terlihat normal diantara ribuan "judging" diluar sana? Bolehkah saya menjadi biasa saja, tanpa tatapan "aneh" atau bisik2 bodoh ketika saya berjalan?
Siapa yang menciptakan minder didalam diri orang lain? Siapa yang meletakkan insecurity dalam diri orang lain?
Kita. Saya, kamu, anda dan mereka.
Hanya karena dia tidak sempurna secara kasat mata dan definitif. Tidak berarti dia pantas diperlakukan beda. Tidak berarti, saya boleh menertawakannya seenaknya. Menjadikkannya bahan untuk tertawa. Menonjolkan sisi uniknya didepan banyak orang. Menjatuhkan harga dirinya karna saya berpikir bahwa setiap orang harus menerima kekurangannya.
Standar yang saya kenakan, tidak bisa dipakai untuk mengukur orang lain. Setiap manusia memiliki "situasi"nya sendiri. Melihat dia tertawa, bukan berarti dia bebas ditertawakan. Kadang, saya tidak peka dengan keberadaan dan keadaan orang lain.
Saya menganggap semua orang sama dengan saya. Saya memperlakukan orang dengan seenaknya. Saya bahkan tidak mencoba berempati pada mereka.
Lelucon konyol karena keunikkan fisik orang lain dimata kita. Tidak lantas menjadikan kita terlihat hebat. Lelucon konyol yang kita lontarkan terkait kekurangan orang lain. Justru memeteraikan "nilai" kita dimata orang lain.
Tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan dalam kesempurnaan yang diciptakan Sang Pencipta, manusia tetap memiliki ketidak sempurnaan.
Tergantung bagaimana cara kita memandang keunikkan masing-masing?
Saya menuliskan ini bukan hanya untuk semua orang yang selalu menjadikan keunikkan fisik orang lain sebagai bahan tertawaan. Tapi secara khusus untuk saya. Saya secara pribadi. Saya yang terkadang merespon secara cepat bila melihat sesuatu yang "aneh" didepan saya.
Maaf bila suatu waktu dulu, saya pernah menjadi orang yang membuat kalian minder atau rendah diri atas keunikkan kalian. Karena menjadikan kalian bahan tertawaan. Maaf.
Saya belajar memahami bahwa setiap manusia memiliki "keunikkan"nya, namun kadang reflex saya terlalu cepat untuk dihindari.
Bekerja dibidang medis, membuat saya bertemu dengan ratusan manusia tiap harinya. Mereka yang datang membawa keluh kesah, sakitnya, juga keunikkannya. Mereka yang butuh ditenangkan, mereka yang butuh uteman, mereka yang butuh dikuatkan, mereka yang butuh "dilihat".
Bagi sebagian orang, ini terlalu berlebihan. Tapi bagi saya, ini serius. Kamu mungkin tidak pernah tau, bahwa ada orang yang rela tidak keluar kamarnya baahkan rumahnya, hanya karena merasa "jelek" atau takut ditertawakan oleh orang lain. Kamu tidak tau, bahwa ada orang yang rela mengubah wajahnya dengan oplas, hanya karena "persepsi cantik" yang dipahami oleh khalayak ramai. Kamu juga tidak paham, bagaimana rasanya ketergantungan obat diet, obat penenang, dan penghilang nyeri hanya demi terlihat normal bagi orang pada umumnya.
Yang kamu lakukan hanya "melihat" mereka dari luar. Yang kamu tidak tau, bagaimana hidup dengan kondisi unik seperti itu. Yang kamu tidak rasa, susahnya bertahan dijaman ini, dimana kesempurnaan dan kesempatan hanya diberikan untuk mereka yang sesuai dengan definisi sempurna.
13 September
Hari dimana saya berkaca pada diri sendiri, sudah sesempurna apakah saya? Hingga saya bisa menilai keunikkan orang lain? Hingga saya memiliki hak untuk menertawakan hidup orang lain? Hingga saya melihat orang lain secara "berbeda"?
Manusia itu sempurna, bahkan dalam ketidaksempurnaannya, dia tetap sempurna sebagaimana penciptanya.
Terlihat sempurna dan normal adalah pikiran mayoritas dari kita. Namun seandainya saja menjadi sempurna sangat sulit, bisakah kita membiarkan mereka mensyukuri apa yang mereka miliki. Tanpa banyak intervensi yang memuakkan. Pada akhirnya, setiap manusia akan mempertanggung jawabkan apa yang dilakukannya didunia ini, bukan kenapa fisiknya tidak sempurna.
Berdamai dengan diri sendiri adalah level tertinggi dari ucapan syukur pada sang pencipta. Apapun bentukmu, apapun keunikkanmu, apapun ceritamu, pastikan satu hal kamu berharga dimata Tuhan, bukan manusia. Sebab untuk apa sempurna fisik, bila hatimu dan ibadahmu cacat?
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar