Story about being lonely
Suatu senja dirumah sakit.
Jam berkunjung sudah dimulai. Semua teman, kerabat, kenalan, mulai berdatangan. Saya memilih menghindar. Turun ke kafetaria dilantai satu.
Masuk lalu memilih pojok kanan yang teehindar dari keramaian. Saya menepi. Dan mengendurkan urat syaraf serta ketegangan otot tubuh saya
Chococino. Chocolava. Perpaduan komplit!
Saya menikmati 2 dessert istimewa ini dengan tenang.
Sampai dia tegak didepan saya. Melepas earphone saya. Mengambil cangkir saya. Menegak setengahnya. Lalu tanpa pwrmisi duduk dengan santai didepan saya.
Gerald. Seseorang yang dulu "mungkin" saya abaikan...
Papa dan mamanya berteman baik dengan papa. Cukuplah untuk membuktikan bahwa KAMI akrab, pada waktu itu.
Saya tersenyum menatapnya.
Senyumnya seringan biasa. Dia terlihat lebih rapi. Dewasa mungkin ya? Katakanlah begitu. Saya memanggilnya Gege. Agak aneh sih, untuk sebutan seorang cowok. Namun, dia tidak pernah memprotesnya.
"Ngapain disini,non?"
Dari dulu, panggilan NON ini selalu untuknya. Berkali-kali ditegur, diprotes, tetep ga mau dia ubah. Bahkan saat didepan papa pun, dia begitu. Tapi, KITA tidak pernah lebih dari sekedar KITA dalam arti PERTEMANAN. Tidak sejauh KITA untuk NANTI.
"Duduk aja. Males.diatas." jawab saya sekenannya
"Kenapa sendiri?" jawabnya sambil melihat sekeliling
"...."
"Blom ada yang nemenin? Atau...nona lagi tunggu yang mau nemenin?"
Seperti biasa. Nadanya selalu tegas. Kaku. Dia bukan tom-tom yang ceplas ceplos. Atau Rasta yang cool2 gimana gitu. Atau gorce yang sok deket. Atau bems yang pencicilan ga jelas. Atau melf yang sangar bin galak. Bukan. Nada dan cara bicaranya, masih sama seperti pertama saya tau dia. Seadanya. Afek datar. Senyum yang terlalu minimalis. Gege memang seperti ini.
"Ga ada. Lagi ga nunggu sapapun,ge. Lalu lo dateng.thats it. Dateng sama sapa?"
"Mama. Eset parah juga ya?"
Saya mengangguk. "Setidaknya, eset sudah lewat dari masa kritisnya"
"Maaf,non. Baru datang. Kemaren, saya ke balikpapan ada tugas. Mama dan papa juga ada acara"
"Ga ada keharusan,ge. Doain aja. Gue pikir, eset selamat bukan hanyabkarena tenaga medis, upaya medis, karena DOA yang dinaikkan oleh seluruh orang yang mengenal dia"
Gege mengusap punggung tangan saya. Sambil mengangguk. Perhatian yang sama.
"Trus nona sibuk apa sekarang?"
"Kerja aja."
Dia memesan minuman yang sama. Untuk mencairkan suasana dan menghilangkan kekakuan. Saya menceritakan kembali kronologi kejadian eset. Setidaknya adalah bahan obrolan. Walaupun, saat itu saya sedang ingin sendiri.
"Jadi masih sendiri?"
Saya kembali menatapnya. Kali ini pertaanyaan yang butuh pernyataan. Bukan hanya sekedar bertanya.
"Menurut lo, kenapa orang masih sendiri?" tanyaku balik
Dia menganggkat alisnya dan bahunya serempak. Menongkat dagunya, lalu menatap lurus kearahku. Menantibpertanyaan yang saya TANYAKAN sendiri.
"Gue nanya lo. Menurut lo?"
"Ga tau. Udah lama ga pernah mikirin hal yang bener-bener harus dipikirin. Seperti jawaban dari pertanyaan kenapa?"
Saya tunduk sambil mengaduk Chococino saya yang tinggal seperempat.
Kenapa (*orang) masih sendiri...?
Karena, dia mengembalikan hak pada pemiliknya. Menyudahi sebuah hubungan, yang dia tau tidak mampu dia jalani.
Karena, dia pernah berjuang sebegitu hebatnya untuk mempertahankan, lalu akhirnya dia sadaf bahwa hanya dia yang mencoba untuk bertahan. Bukankah itu tidak sehat!
Karena, dia pernah mencintai sebegitu hebatnya, memberikan pengertian sebegitu besarnya nyatanya orang itu berkhianat. Memecahkan hatinya, menghancurkan percayanya lalu menghempaskan dia pada pusara sakit hati yang susah untuk dilupakan.
Karena, dia pernah kehilangan. Orang yang dia cintai, pergi menemui sang penciptanya. Meninggalkan sebuah memory twrdalam, yang belum bisa diganti walaupun banyak yang singgah.
Karena, mimpinya masih terlalu besar tentang cita-citanya, sehingga dia memlih untuk fokus pada sebuah prioritas yang dia pilih. Menggeser dan melengserkan semua hal yang mengaburkan tujuannya.
Karena, dia belum menemukan seseorang yang tepat, bukan seseorang yang sempurna. Tapi seseorang yang tidak akan mengubah hatinya sekalipun dia mampu untuk melakukan itu. Seseorang yang tetap disini saat terburuk dan terbaik.
Karena, dia merasa nyaman dengan kesendirian. Sehingga dia lupa tentang hal memiliki dan dimiliki.
Karena, trauma tentang sebuah pengkhianatan. Ketakuatan bahwa mungkin saja, orang lain akan membuat hal itu lagi.
Karena, dia terlalu pemilih.
Karena, dia begitu egois, kekanakan, keras kepala, manja.
Karena, dia merasa jelek, gendut, itam, jerawat.
Karena, dia merasa terlalu sempurna.
Jawaban itu hanya berputar dikepala saya. Bahkan tidak ada satupun yang saya muntahkan ke mulut saya. Saya hanya diam. Bukankah tadi saya ke kafetaria untuk ME TIME kan?
Saya mendengar HPnya bunyi, sepertinya Mamanya menelpon. Setelah berbicara singkat. Dia kembali menatap saya.
"Masih tetap seperti dulu. Waktu ga nunggu,non. Entah apa yang masih nona kejar. Setidaknya, mulailah untuk belajar serius tentang masa depan."
Saya masih memainkan Chococino itu. Tidak menatapnya.
"Belajar untuk memilih orang yang tepat. Tempat nona bergantung dan berlabuh. Keluarga, tidak selamanya menjadi tempat nona berlindung. Nona butuh seseorang selain Om Noke, Tante Sin, Amor, eset untuk berbagi dalam hal yang lain."
Saya mengangkat muka, menatapnya. Menghentikan permainan sendok kecil yang membentur cangkir sehingga terdengar bunyi nyaring.
"Kenapa masih sendiri?... karena saya belum menemukan orang untuk membagi dan menjalani masa depan bersama. Butuh kesabaran untuk menemukan orang itu. Lalu lo?"
"Ini bukan tentang kesabaran non. Tapi tentang prioritas yang selalu nona katakan pada setiap orang."
"...."
"Kadang, dicintai itu membuat seseorang lupa bahwa mereka memiliki kewajiban yang sama untuk memikirkan keberadaan seseorang. Bukan hanya selalu tentang nona."
"Ge, nanti tante kelamaan nunggu lo"
"Bermimpilah dengan bebas,non. Tentuin prioritas nona..tapi bisakan melakukan itu dengan tetap disamping seseorang?"
"...."
Dia mengambil kunci mobilnya, hpnya, lalu berdiri. Saya kembali mengaduk-aduk Chococino ini.
"Bahagia selalu punya versi sendiri-sendiri. Ini versi gue" celetukku
Dia mengangguk. Belum beranjak.
"Ini belum selesai. Kita belum selesai,non. Kapan-kapan saya datang lagi. By the way, masih ingat janji nemenin nonton dulukan?"
Saya menggeleng. Saya mengalihkan tatapan dari cangkir ke wajahnya. Dia tersenyum. Sedikit memang, namun saya rasa cukup untuk tau, bahwa disuatu masa dulu... saya, ya...saya... pernah menjadi perempuan tidak berhati karena mengabaikan dia. Membuat dia berpikir bahwa saya sangat sombong. Mengacuhkan dia.
"Gue maunya ice cream."
Dia mengacak rambut saya.
"Ga pernah mikir, bahwa mungkin aja saya adalah orang yang terlewatkan?"
Kemudian, dia berlalu kekasir. Lalu melambai kearah saya.
Sayaa memasang ear phone. Kembali menikmati Me Time saya.
Menebak-nebak kejutan yang disediakan oleh waktu. Mungkinkah dia yang terlewatkan? Saya sengaja melewatkan dia? Menyimpannya sebagai hadiah dipenghujung? Benarkah dulu ada rasa? Bukan hanya sekedar pertemanan anak ingusan yang beranjak remaja? Benarkah dia? Sosok yang selalu ketus, pemalu, cerdas, skeptis, malah twrkadang sangat apatis. Tidak pandai basa basi. Apa adanya. Tidak jago untuk gombal. Cenderung tertutup. Dia yang tidak pernah bisa terima saat saya pakai celana pendek ke Mcd. Namun, tidak protes saat saya bawa muka bantal ke Mall. Yang menemani saya pergi memindahkan buku-buku papa. Dia yang selalu berusaha melucu disaat tidak lucu, untuk membuat saya merasa lebih baik, saat papa marah.
Benarkah dia?
Saya tertawa dalam hati. Saya menyudahi Me Time saya. Ketika dikasir, mbaknya bilang bahwa sudah dilunasi sama PACALnya. Saya tidak terkejut. Gege memang selalu begitu.
Saya naik ke tempat ruang tunggu ICU. Mama dan papa sedang duduk ngobrol. Papa memanggil saya, lalu membisikkan sesuatu.
"Gerald bilang, kalian serius"
Saya tidak membantah. Saya hanya diam. Terlalu banyak pernyataan yang tidak butuh didebat. Cukup didengarkan. Bagaimana cerita selanjutnya? Rasanya saya masih terlalu fokus untuk hal lain.
Bila memang dia, Yesus akan menentukan jalannya.
Bila benar dia, cerita ini akan berakhir dengannya.
Bila mungkin dia, akan ada rasa dan rindu yang terbit untuk namanya,
Bila harusnya dia, saya akan mengikuti aturan main yang direstui semesta.
Bila akhirnya dia, saya harus bersyukur atas peristiwa ini, karena saya dipertemukan kembali dengan seseorang yang benar diwaktu yang tepat.
Mei
Entah tanggal berapa. Entah hari apa. Entah jam berapa...
Hanya saja waktu itu terasa begitu tenang dan nikmat, saat dia datang.
Saya tidak ingin berandai-andai, karena hidup adalah realita bukan khayalan.
Jalani, temukan dan nikmati, apa saja yang semesta sediakan. Mungkin ada kejutan didepan sana?
Untuk ge, makasih sudah menemani sore saya.
Makasih untuk kalimat yang diucapkan pada papa, semoga mampu dibuktikan...
Bila tidakpun, tidak ada yang akan menuntut.
Karena KAMU,
Mungkin terlewati sekali lagi,
Bisa jadi dilewatkan kali ini lagi,
Atau dizinkan untuk tinggal dan menetap tanpa boleh pergi...
Semesta selalu punya keajaiban untuk penghuninya,
Mengembalikan, mempertemukan, memperbaiki,
Hingga meninggalkan, melepaskan, lalu merelakan.
Semesta selalu punya cerita indah tentang 2 anak manusia,
Terangkai indah dalam sebuah catatan bernama Cinta,
Diletakkan pada kedalaman tak terukur yang dinamakan Hati.
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar