Selamat pagi,juni...
Senang rasanya melihat matahari pagi bersinar begitu cerah dan terang.
Walaupun masih tersisah kantuk sehabis jaga igd semalam.
Terima kasih Yesus,
Kami masih bisa dan tetap mampu melewati MEI dengan cukup baik.
Walaupun ada banyak peristiwa dan cerita yang terjadi di MEI,
Ketakutan, kejengkelan, kemarahan, ketidakpuasan,
Namun pada akhirnya...
Segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan kehendakMU.
Selalu ada ucap syukur yang naik dalam sebuah kemalangan,
Setidaknya ada hal baik yang kami pelajari dari musibah ini.
Bahwa Tuhan yang kami percaya dan imani, TIDAK PERNAH GAGAL.
Hai,Mei...
Rasanya begitu enggan menyapamu. Ketakutanku terlihat jelas disana. Bukan, diakhir april. Lama aku berdiam, rasanya masih terlalu takut dan kaku, untuk membayangkan apa yang terjadi dimalam itu...
29 april 2015, jam setngah 3 pagi.
Saat hp saya berbunyi, dan suara amor memecah keheningan malam dengan taangisannya "kakaaaaaaak eseeeet kecelakaaaaan,kak!" Amor tidak berhenti menangis dan histeris. Diantara kami bertiga, amorlah yang paling penakut bila sesuatu terjadi dengan kami.
Saya berusaha mengontrol emosi dan tetap tenang. Bagaimana caranya tenang? Tolong ajari saya... ini bukan menghadapi pasien saya, tapi keluarga saya. Tolong beritahu saya, bagaimana caranya tetap kuat.
saya membangunkan mama. Ditengah malam, kami ber2 keluar untuk mencari taksi. Namun terlalu malam untuk berharap taksi lewat. Jalanan sunyi dan sepi. Mama menangis dipinggir jalan. Saya hanya diam dan berpikir segala kemungkinan. Amor menelepon lagi. Teriakkannya kian nyaring dan menggema. Dia sudah bersama eset. Amor bilang leher eset berdarah. Eset koma.
Saya masih berusaha menenangkan diri saya. Menghela nafas panjang berkali-kali. Dan mengajukan permintaan pada Yesus "yang terbaik terjadilah untuk eset, Ya Yesus. Apapun yang Yesus mau, terjadilah"
Akhirnya, salah seorang teman sekaligus anggota jemaat mama datang. Tante Ina Apono dan suami. Mereka segera mengantar kita ke rumah sakit. Papa langsung dari Bogor. Menurut amor, rumah sakit yang pertama menangani eset, akan melakukan rujukan ke PUSAT RUJUKAN NASIONAL. Perlukah saya sebutkan, rumah sakit mana yang saya maksud?
Saya tidak menulis ini, untuk mencari siapa yang salah. Saya juga tidak ingin menyebabkan perselisihan. Itu tidak benar. Saya hanya ingin menulis sedikit memory tentang hari itu. Hari dimana saya merasa tidak berguna sebagai seorang dokter.
Hari dimana saya hanya bisa diam dan berdiri melihat adik kesayangan saya menahan rasa sakitnya. Hari dimana, saya rela menukar apapun milik saya, bahkan hidup saya, untuk eset. Hari dimana, saya mengadakan perjanjian dengan Tuhan Yesus. Hari dimana, saya merasa setengah mati untuk hidup. Hari dimana, sebagai seorang kaka, saya gagal untuk menjadi kuat didepan banyak orang. Hari dimana, saya yakini MUJIZAT ITU NYATA. hari dimana, ketakutan terbesar saya nampak jelas, bahwa kemungkinan untuk kehilangan selalu ada.
Saya tiba di Rumah Sakit besar itu. Eset ditaruh dibrankar diselasar. Dekat dengan tempat rontgen. Amor berlari kearah saya. Dia menangis. Saya melihat eset terkapar, merintih, menggeletar, gaduh gelisah dengan seluruh tubuh penuh darah. Dilehernya terpasang penyangga leher. Saya melihat pupilnya, masih bagus. Masih ada refleks cahaya. Masih sama ukuran pupilnya. Sama melihat bahuhya bengkak dan memar. Kulitnya tercabik. Saya pikir, tulang selangkanya pasti patah. Jari tengah kirinya terkikis habis sampai terlihat tulang. Haruskah diamputasi? Saya pikir tidak. Luka robek di punggung tangan. Jempol kanannya juga robek dan dqrah segar mengalir secara aktif dari luka-luka itu. Ada luka robek juga dibawah lutut, serta beberapa luka lecet disamping-sampingnya. Semuanya membuat eset mandi darah. Belum lagi, dadanya ada luka lecet dan memar. Untungnya, pernafasannya stabil. Tidak ada tanda-tanda adanya udara dalam paru. Ataupun darah yang tertinggal, akibat patahan rusuknya. Eset masih melenguh dan merintih. Selama menunggu tindakan oleh para dokter. Saya tetap mencubit eset. Saya tetap mengusahakannya berada dalam fase STUPOR. Memang belum koma yg dalam, atau lebih tepatnya masih pada fase koma ringan. Tapi perjalanan dan kemungkinan untuk kearah sana semakin besar bila penanganan terlalu lama.
Beberapa jam kemudian, saya memeriksa lagi mata eset. Kali ini reaksi tidak begitu bagus, salah satu matanya tidak bereaksi dengan cahaya. Ukuran pupilnyapun berbeda. Jantung saya mulai berdetak keras, Cedera Kepala Berat dengan GCS 5-6. Kemungkinan terburuk adalah Oedem Serebri,kan? Saya tidak menemukan jejas dikepalanya, fraktur dan tanda krepitasipun tidak. Tapi, orang yang melihat eset ditabrak itu. Mereka bilang eset terlempar kebelakang. Jadi, mungkin sajakan benturan itu ada.
Waktu berjalan begitu lama. Eset diintubasi, tekanan darahnya tinggi, nadi dalam atas normal,pernafasan juga. Semua tindakan pertolongan lengkap diberikan jam 3 sore. Entahlah, mau dibilang terlalu lama atau mungkin memang harus begitu. Saya tidak mau mendebat apapun.
JAM 15.OO 29 APRIL,
saya berdiri dan menatap eset. Lukanya sudah dibersihkan walaupu tidak dijahit. Saya juga tidak tau kenapa tidak dijahit, padahal itu luka robek. Sekali lagi, saya tidak mau mendebat. Saya membelai rambutnya dan berbisik pelan " yang saya tau, ko adalah orang paling kuat. Ade harus bertahan untuk lewatin ini ya. Ade harus kuat ya! Jangan kalah. Jangan nyerah set.. eset kuat. Eset harus bertahan." Eset merintih. Eset gaduh gelisah. Saya yakin eset berkuat dan menguatkan dirinya untuk tetap bertahan.
JAM 15.30 29 APRIL,
Tekanan daran eset menurun, 90/70, denyut nadinya mulai meningkat, pernafasannya tetap dalam batas normal. Saya tidak sanggup untuk melihat eset. Saya merasa begitu bodoh. Saya memutuskan untuk keluar dari ruangan igd. Dilobi rumah sakit, saya menangis. Disana ada mama, papa, amor dan beberapa teman mama dan papa.
Ketika mama bertanya "gimana kondisi eset?" Saya tertunduk, saya tidak mampu menjawab. Airmata saya mengalir deras. Ketakutan saya terlihat begitu nyata. Bukankah saya seorang dokter? Menghadapi pasien seperti eset,bukankah sudah biasa? Lalu? Yang tergeletak dibrankar itu adek kesayangan saya. Bagian dwri hidup saya. Orang yang sangat saya sayangi. Saya tidak mau kehilangan lagi. Cukup,Yesus. Cukup sudah. Sampe sudah. Dalam waktu 5 bulan ini, saya sudah banyak kehilangan orang yang saya cintai. Jangan lagi...
Mama berlari masuk kedalam IGD. Kami seperti orang gila. Papa memutari Rumah Sakit besar itu, masuk IGD berlutut dan berdoa dikaki eset. Amor dan saya duduk mematung dilobi rumah sakit. Pikiran saya kalut dan bingung. Segala kemungkinan bermunculan disana. Tangisan saya semakin deras. Astaga, saya begitu merasa bodoh dan tolol. Bagaimana bisa saya menyebut diri saya dokter, sedangkan eset disana dalam keadaan meregang nyawa. Tapi, saya belajar memahami bahwa ada kuasa yang tak terbatas dan tak terlihat. ada kuasa yang ajaib. Ada kuasa yang mampu menghadirkan mujizat. MASIH ADA YESUS...
JAM 18.15 29 APRIL,
Dokter memanggil kami dan mengatakan bahwa ICU semuanya penuh. Eset harus dipindah, diruangan yang lebih intensive sehingga bisa dipantau dengan baik. Saya pasrah. Terlalu lama keputusannya? Iya! Saya dan papa pergi mencari ICU yang lengkap dengan ventilatornya. di beberapa RS didekat situ, semuanya penuh. Saya terduduk lemas diparkiran samping lobby. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya masuk keruang UGD. Kondisi eset menurun drastis, tekanan darahnya 96/53, denyut jantungnya meningkat 134, pernapasannya mulai terlihat satu-satu dan memanjang. Syok? Saya hanya tertunduk lemas. Saya bahkan tidak mampu berkata apapun juga. Akhirnya, dibagian reseptionis bilang ada yang kosong, namun dokter ahli disana maunya harus langsung operasi. Saya mencoba berbicara dengan tenang, apa tidak bisa diobservasi dulu? Toh, perdarahan yang eset alami, tidak sehebat yang dibayangkan. Memang perdarahan imi sedikit, namun menekan pada pusat kesadarannya. Tapi, perlukah sampai dioperasi? Sementara di CT Scan yang nampak hanya bercak kecil, bila bisa dibahasakan secara sederhana ini memar didalam otaknya.
Saya begitu takut. Tapi tiap ahli punya dasar teori dan pengalamannya masing-masing. Saya berdiskusi dengan papa, saya tau ini keadaaan sulit, kita butuh cepat untuk menangani eset. Bagaimanapun eset tidak boleh sampai jatuh dalam syok dan koma. Karna bila sampai jatuh dalam keadaan itu, mungkin saja eset tidak kembali. Otak adalah kotak ajaib, dia mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Akhirnya, kami membawa eset kesalah satu rumah sakit di jakarta utara.
Oh ya, saya belum menjelaskan tentang luka-luka yang dibiarkan dan tidak dijahitkan? Ketika akhirnya eset akan dibawa untuk pindah, entah ada roh kudus darimana, mereka berniat untuk menjahit luka itu. Pertanyaan saya, untuk apa luka yang sudah 18 jam lebih, harus dijahit? Kulitnya udah memble, lukanya udah mengering, yang ada anda justru membuat infeksi baru. Apa anda tau, jika itu terjadi artinya untuk menjahit luka-luka itu anda perlu membuat luka baru dengan menggunting tepi luka itu! Apa anda benar-benar tau tentang itu?
Miris rasanya, melihat mereka tetap menjahit luka itu, dengan sedikit memaksa kulit yang sudah memble itu untuk sejajar. Hanya supaya terlihat bahwa pelayanan anda bagus? Toh akhirnya, ketika tiba dirumah sakit lain, semuanya di buka kembali. Dan dibuat luka baru agar semuanya kembali baik lalu dijahit lagi.
Jam 11.00 30 APRIL,
dokter bedah saraf datang dan berbicara pada mama dan papa, dia akan melakukan pengobatan khusus untuk otaknya dulu, selama 24 jam ini. Dia meminta kami berdoa. Supaya eset bisa berjuang dan bertahan, disamping pengobatan medis yang dia lakukan. Kalian tau, apa yang dikatakan oleh beliau? "Terlalu lama dan lambat penanganannya. Otaknya sudah bengkak. Tapi saya coba untuk obati dulu, kita lihat perkembangannya 24 jam kedepan ya."
Terlalu lama dan lambat? saya terdiam mendengarnya. Bagaimanapun kerasnya kita marah dan kecewa tentang pelayanan tenaga m3dis disalah satu rumah sakit terkenal itu, tetap saja eset masih tergeletak dan butuh pertolongan. Satu hal yang saya doakan, semoga saja suatu saat keluarga mereka tidak diperlakukan dalam situasi yang sama dengan eset, Amin!
JAM 11.00 SIANG, 1 MEI.
kami dipanggil karna eset akan dibawa keruang radiologi untuk CT Scan. Kami mengantarnya, eset sudah membuka matanya. Namun kesadarannya masih tetap berkabut. Ketika dipintu lift, amor memanggil eset, eset berbalik kearah amor. Dan saya tau, semua masa kritis itu sudah berlalu. Pertanyaan saya selanjutnya, mungkinkah ada gejala sisanya?
JAM 1 SIANG, 2 MEI.
dokter bedah saraf visit dan memanggil kami, kebetulan yang ada saat itu hanya saya. Saya menemui beliau dan mendengarkan penjelasaannya.
"Dalam pengalaman saya menjadi dokter, kalo pada hari 3 perdarahannya yg bertambah sedikit sekali, itu pertanda baik sekali. Sudah, adikmu sudah selamat. Ini prognosisnya baik. Hanya dia masih harus terus dipantau ya. Jadi masih di ICU dulu."
Saya menjabat tangannya dan berterima kasih.
Cerita Mei dibulan juni, masih banyak...
Setidaknya, sampai disini, saya mengucap syukur untuk Yesus.
Karna, Yesus masih mengijinkan eset kembali untuk kami...
1 juni
bagian I tentang cerita mei dibulan juni.
Komentar
Posting Komentar