Sejak papa pergi. Saya mulai jarang, duduk sendiri di teras. Karna teras selalu menjadi tempat kita b2, b3 atau b5 menghabiskan sore, malam atau waktu2 luang bersama.
Teras adalah tempat papa menunggu saya pulang. Tempat minum teh sore dan menikmati jajanan sore bersama. Tempat berkumpul dan bercerita tentang banyak hal dengan papa. Papa selalu menciptakan rumah yang "bercerita".
Duduk sendiri diteras itu cukup menyakitkan pa. Karna saya terbiasa memandang papa diseberang saya. Duduk dengan kaos kebangsaan, lalu mendengar papa bercerita tentang banyak hal. Lalu, tertawa tentang lelucon konyol khas papa. Bahkan hal sesederhana duduk diteras saja, mampu menerbitkan rindu yang menyakitkan.
(*Saya bukan mengulur waktu untuk menjadi biasa. Saya sedang belajar, bagaimana menjadi biasa sejak ketiadaan mengambil separuh kekuatan saya untuk memandang hidup dengan biasa kembali)
Karna sehebat apapun saya berkuat, kehilangan ini membuat saya tidak lagi biasa,pa. Untuk kembali menjadi biasa butuh waktu. Kembali menata, lalu menaruh papa sebagai kenangan, bukanlah hal yang mudah. Saya membenci sekaligus mensyukurinya.
Semua kebiasaan, keterbiasaan, selalu muncul kembali, bahkan didalam hal2 sederhana. Sesederhana, meminum segelas chocopucino, duduk diteras, duduk makan di meja makan, bahkan dalam hal sekecil makan mangga (*buah kesukaan kita b2, buah yang selalu papa bawa dan simpan untuk saya),
sms "norak" yang selalu papa kirim setiap pagi "selamat pagi nona manis papa, lagi apa". Hal2 sesederhana itu,pa, namun mampu membuat saya menjadi anak cengeng,pa.
Saya ingat, beberapa majelis mama pernah bilang "ibu pendeta teras rumahnya rame setiap sore", lalu mama bilang..."Pak pendeta selalu menciptakan teras itu untuk bercerita. Tempat anak2 kumpul setiap sore bahkan sampe pagi. Makanya, kalo papanya pulang, anak2 suka duduk disitu sambil cerita2"
Teras rumah adalah bagian rumah yang terdepan, sebelum mencapai ruang keluarga, kamu harus menemukan teras terlebih dahulu.
Dan papa selalu berfilosofi, bahwa teras adalah tempat mengenal orang lebih jauh sebelum dia dipersilahkan masuk "lebih dalam" menjadi keluarga.
Setiap orang yang datang ke rumah kita, harus melalui "terasnya papa" dulu. Karna dari "obrolan singkat" di teras, kita tau orang itu diperbolehkan melangkah masuk atau cukup sebagai "tamu" diluar.
Ajaran papa yang selamanya tinggal. Kalo papa bilang, "tamu hanya sampai diteras, tapi keluarga akan masuk sampai dapur"
Paaa, hari ini, saya duduk diteras, dengan segelas hot chocolate. Menikmati senja. Langit depok sore ini sedang indah2nya. Ditemani lagu. Menunggu mama pulang pelayanan. Rasanya ada yang hilang, saat saya tidak mendengar pertanyaan "jadi gimana jaga kemarin,non"
Iyakan,pa?
I still missing you,nok! And will always have.
2 bulan, tanpa papa. Rasanya seperti baru kemarin, saya berdiri disamping peti, dan bertanya "bagaimana Yesus bisa mengambil miliknya secepat ini?"
Saya tidak mempertanyakan keputusan Yesus. Saya hanya ingin meyakinkan diri saya, bahwa ini waktu Tuhan untuk papa.
Yesus menguatkan kita. Untuk hidup tanpa papa. Atau mungkin selama ini, kita terlalu membanggakan papa, hingga lupa bahwa yang memberi nafas adalah YESUS.
60 hari tanpa noke.
Rasanya seperti baru kemarin.
Akhirnya saya harus berbagi noke dengan Goel dan Astrid. Karna sejauh ini, papa selalu menjadi milik saya.
Seandainya, menjadi kuat dan belajar melupakan, semudah mengunci pagar, mungkin saya tidak perlu menuliskan hal2 bodoh seperti ini terus-menerus.
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar