Pagi ini, saya jaga UGD dan Bangsal. Setelah selesai operan. Saya bersiap untuk visit.
Lumayan banyak, pasien yang harus saya visit. Mungkin disinilah awal kekaguman saya akan profesi Jas Putih ini. Terlihat menarik. Wibawa. Keren. Jalan diikuti suster. Nenteng stetoskop. Menjelaskan beberapa hal ke pasien. Intinya, inilah yang dulu saya kagumi dari seorang dokter.
Pasien terakhir yang saya visit, seorang bapak, umur 57 thn, dengan Stroke Haemoragik. Sederhananya pecah pembuluh darah otak. Beliau masuk kemaren sore, karena salah tidak ada ruangan di rumah sakit besar disekitar depok.
Feeling! Intuisi! Saya memang bukan tipe orang yang percaya akan sesuatu hal yang terdengar abstrak! Tapi, terkadang feeling saya sangat tepat tentang beberapa hal.
Saya memeriksa si bapak, Kesadaran Apatis. GCS E3V2M4 (sebelah kiri aja) karna tubuh kanan si bapak memang ga bisa gerak. (*Hemiparese Dextra) Tensinya 100/70. Nadinya 76, Pernapasannya 24 x/menit. Matanya Pupil isokor, Tapi refleks cahayanya negatif!!!
Dari mulut si bapak keluar lagi makanan yang dimakan. Semacam gumoh. Dan itu banyak banget. Parunya Ronki basah kasar. Jantung normal, tidak ireguler.
Selesai visit, saya kembali ke nurse station. Dalam perjalanan kembali itu, saya bergumam "pasien ini jelek! Harus rujuk!" Di nurse station, saya mengatakan itu lagi. Lalu beberapa perawat bilang nunggu dokter sarafnya aja,dok. Okeh baiklah. Kita harus ikut prosedurnya kan?
Menjelang sore, pukul 16.30. Saya ditelpon dari ruangan, si bapak sudah ngorok. Bahasa kerennya Stridor! Responnya jelek, kesadaran bapak jatuh dalam somnolen - soporo. GCS : E mata terbuka spontan, V stridor, M 4. Mata Pupil Isokor, Refleks Cahaya tidak ada. Pupilnya tidak membesar. Ukuran 2mm. Tapi, rfleks cahaya ga ada sama sekali. Paru terdengar ronki basah kasar nyaring diseluruh paru. Jantung masih normal. Tidak ada detakan abnormal. Atau iregular.
Saya memanggil keluarga dan menjelaskan bahwa ini harus segera dirujuk. Hal yang saya lakukan hanya pertolongan pertama. Pasang Guedel, untuk menjaga jalan nafasnya, Masker Rebreathing untuk masukan O2nya, NGT dan Kateter. Selebihnya adalah terapi yang diberikan lewat konsul dari ahli saraf.
Firasat itu datang lagi. Seolah-olah ada yang berbisik pada saya, pasien ini ga bisa lama. Ga mungkin lama. Lama saya terdiam dalam nurse station. Saya mencoba untuk optimis. Walau kemungkinan hanya 10%.
Jam-jam berlalu. Saya mengontrol dan mengecek keadaan si bapak. Tidak ada kemajuan berarti. Yang lebih sedih lagi, keluarganya tidak dapat kamar ICU. Sudah semua rumah sakit disekitar sini dicari, tapi semuanya penuh!
Saya termenung. Dejavu akan kejadian beberapa bulan lalu. Saya pernah berada diposisi mereka. Saya ikut membantu mencari rs. Mulai dari RS negeri sampai swasta. Tetap nihil. Semua penuh. Sudah ada yang mau masuk juga. Pokoknya ga bisa. Ga ada ICU.
Saya pasrah. Apa yang mampu saya buat? Saya hanya bisa mengusahakan dari sisi medisnya.
Saya melihat anak-anaknya menangis didepan ruangan. Saya tau bagaimana rasanya kehilangan. Saya pernah merasakannya. Sakit. Sulit rasanya tetap berada dalam situasi yang tenang. Bila ini tentang orang terkasih kita. Mereka bukan pergi lalu nanti kembali. Tapi mereka meninggalkan kita.
Jam 00.30.
Firasat saya. Semakin kuat. Entah kalian akan berpikir ini sebuah ketidak warasan. Namun, saya mendengar seseorang berbisik "bapaknya udah mau pergi"
Kali ini saya gagal lagikan? Saya gagal jadi dokter.
Telpon dikamar jaga berdering dan suster meminta saya memastikan bahwa.si bapak sudah almarhum. Dengan langkah gontai, saya berjalan kekamarnya. Diluar keluarganya sudah menangis histeris. Saya bahkan tidak berani menatap wajah mereka. Wajah penuh harapan. Wajah memohon. Agar orang pintar yang disebut dokter ini, bisa mencegah apa yang digariskan semesta.
Saya meraba nadinya kosong. Nafasnya apneu. Satu-satu. 30 detik 1 tarikan. Pupilnya sudah tidak bereaksi. Bunyi jantung tidak terdengar. Saya merasa arteri karotisnya, tidak teraba pulse disana. Saya EKG, dan hasilnya FLAT. Sudah selesai. Si bapak sudah menghadap penciptanya. Sudah selesai cerita hidupnya didunia ini.
Berat rasanya menghadapi keluarganya. Berat rasanya menyatakan bahwa saya gagal memperjuangkannya. Berat rasanya berdiri dan mengatakan bahwa ayah kalian sudah tidak ada. Berat rasanya mengatakan saat kematian seseorang.
"Bapak sudah tidak ada. Saya minta maaf, saya sudah mengusaha hal yang paling mampu saya buat. Tapi, beginilah. Saya minta maaf"
Saya berjalan dengan kepala tertunduk keluar ruangan. Saya menyembunyikan hal yang paling saya benci. Saya kalah. Saya gagal. Jangan membela saya, dengan mengatakan hal2 baik. Saya gagal.
Saya terdiam lama dinurse station. Sayup2 saya mendengar jeritan kehilangan itu. Mendengar itu saya merasa tertampar. Sudahkah saya menjadi dokter yang baik? Saya tertunduk lemas. Sambil mengisi surat kematian.
Anak perempuannya datang untuk menyelesaikan administrasi. Sambil menandatangani surat kematian. Saya meminta maaf sekali lagi. Bahkan kalau bisa hanya maaf yang saya keluarkan dari mulut saya. Dia menjabat tangan saya.
"Bukan salah dokter. Kami semua mengerti dok. Apa boleh buat, kalau ternyata ruangan ICU itu penuh semua. Saya berterima kasih karna dokter sudah melayani ayah saya dengan baik. Ini sudah jalannya,dok"
Saya mengangguk. Bahkan kata2 itu semakin membuat saya merasa sangat bodoh!
Lama setelah dia pergi, saya masih termenung dinurse station. Mendengar sirine mobil jenazah sudah menyala, saya tau bapak itu segera diantar pulang.
Hari ini, saya merasa gagal. Gagal menjadi dokter. Gagal menyelamatkan orang. Gagal menolong orang. Saya merasa bodoh dan tolol. Goblok! Saya berusaha semampu yang bisa saya buat untuk mengembalikan beliau. Tapi, apa daya kalau sarana RS ini belum lengkap. Apa daya, bila semua RS disekitar sini penuh ICUnya.
Dan malam ini...
Saya mempelajari hal baru.
Intuisi seorang dokter, mungkin meleset tapi tidak pernah salah. Banyak orang mencoba menjadi dokter, bertindak seperti dokter, namun...hanya seorang dokter yang mampu melihat dan menilai sebuah prognosis. Berdasarkan keilmuan yang kami pelajari, kami mengusahakan yang terbaik. Namun, bila dalam usaha terbaik itu juga, tidak mampu membuat yang terbaik bagi pasien, kami minta maaf.
Bahwa ada kuasa yang jauh lebih hebat dari ilmu yang kami punya.
Iyah, akhirnya saya merasakan untuk pertama kalinya...
Berdiri didepan pasien dan keluarganya sambil menyatakan waktu kematian. Meminta maaf pada mereka. Menyaksikan hancurnya hati mereka. Melihat kekecewaan dan tangis putus asa.
Saya tau, pasien yang saya hadapi begitu banyak. Saya tidak bisa memilih pasien, apa yang saya suka dan menolak yang saya tidak suka. Semua pasien adalah sama. Mereka dilayani sesuai tingkat kegawat daruratan penyakitnya.
Saya tidak akan melupakan hari ini. Saya tidak akan mengabaikan perasaan yang saya rasa saat ini.
Hari ini, akan selamanya saya kenang didalam hidup saya. Sebagai hari bersejarah, bahwa untuk pertama kalinya...
Saya mengumumkan waktu kematian. Walau dengan berat, saya harus katakan, berdiri dan membuat pernyataan tentang kematian lebih sulit daripada parkir mundur. Analogi yang kacau? Iya. Saya sedang kacau.
Selamat jalan,bapak. Semoga amal ibadahmu diterima disisinya. Jalanmu dilapangkan. Dan diberikan tempat yang indah bersama sang pencipta. Tersenyumlah,pak...karna segala sakit sudah selesai.
Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan dan ketabahan untuk merelakan Si Bapak. Tuhan memberkati kita.
7 September 2015, 02.15
Saya masih termenung dengan perasaan bersalah.
Merutuki diri saya yang gagal.
Saya harus lebih baik dari ini. Saya bisa lebih baik dari ini.
Lalu saya teringat lagu itu "ku utus kau mengabdi tanpa pamrih, berkarya trus dengan hati tulus. Meski dihina dan menanggung luka, ku utua kau mengabdi bagiku"
Cerita tentang kehilangan adalah sebuah bait terpahit dalam kisah kehidupan. Kehilangan artinya tidak akan menemui lagi, tidak lagi bertemu, tidak lagi saling menyentuh, tidak lagi saling berbincang. Kehilangan artinya sampai bertemu pada saat nanti. Kehilangan lalu meninggalkan dan ditinggalkan.
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar