Langsung ke konten utama

Tentang Noke #53

Senyaman "orang biasa"

Tbt...

Cerita ini sudah 9 tahun berlalu, ketika pertama kali Noke dicalonkan sebagai Ketua Umum Sinode GPIB.

Kala itu saya masih koass. Lalu Noke menelpon saya memberitahukan bahwa mereka mencalonkan beliau sebagai salah satu kandidat Sinode. Ketua Umum.

Tanggapan saya? Saya menolak. Saya berkeras untuk menolak beliau maju. Saya marah. Noke terdiam.

Hingga suatu hari, Noke ada pembinaan di Jakarta dan beliau mampir ke saya.

Kita duduk pada Gerobak seafood dipinggiran Taman Menteng.

Papa menjelaskan apa visi dan misinya bagi masa depan GPIB. Bagaimana beliau akan membuat A,B,C,D,F dan seterusnya. Bagaimana beliau akan membawa dan menjaga teologi GPIB agar tidak melenceng jauh.

Muka Noke begitu berseri-seri, ketika beliau membicarakan sesuatu yang dicintainya. Passionnya. Mimpinya.

Hingga ketika Noke bertanya pendapat saya.

Saya : saya ngga suka papa maju jadi sinode. Saya tidak mau papa jadi calon. Buat apa pa?

Papa menatap lurus kearah saya. Saya tau beliau kecewa dengan tanggapan saya. Saya memahami betul, papa sedih mendengar jawaban saya.

Saya : saya ngga mau kehilangan papa lebih banyak lagi. Selama ini, saya membagi papa dengan semua orang,pa. Menjadi sinode itu artinya waktu papa dengan kita ngga akan banyak. Kenapa papa ngga bisa menjadi orang biasa? Bahkan tanpa jabatan itu, papa sudah sangat disegani. Papa terkenal.

Papa : untuk membenahi segala sesuatu, papa harus menjadi pemimpin. Gereja ini harus dikembalikan pada lajurnya,non.

Saya : bisa ngga, untuk sekali aja, papa juga berpikir tentang kita.

Papa : papa mau buat kalian bangga.

Saya : apa yang kurang membanggakan menjadi anaknya ihalauw? Hm? Papa memenuhi semua kebutuhan kita, mimpi kita, tanpa menjadi seorang sinode. Pa, saya ngga mau papa maju.

Papa : mereka yang calonin papa.

Saya : papa pikir mereka mau papa naik? Ngga. Mereka tau sepintar dan sejujur apa papa. Papa tidak akan pernah menjadi sinode. Tidak nanti. Besok atau kapanpun. Gereja ini tidak butuh orang seperti papa. Mereka punya politik kepentingan masing2 pa. Mereka mendukung papa supaya papa mau bantu mereka. Setelah itu? Pa, saya tau ini kedengaran jahat, tapi saya akan minta sama Yesus, papa tidak menjadi sinode. Saya tidak mau kehilangan papa.

Malam itu diakhiri dengan ketersinggungan papa dan kejengkelan saya. Hingga saya menolak untuk pulang dengan papa.

See? Didalam rumah kami, berbeda pendapat adalah hal yang wajar. Ketika orang yang kami hormati tidak berjalan sesuai dengan apa yang kami pikirkan, kami boleh berbicara dengan cara yang sopan, dengan logika yang berimbang.

Beberapa minggu kemudian, mama menelpon saya, mama bilang papa kecewa karena saya tidak mendukungnya. Saya hanya diam. Tidak merespon apapun.

Lalu, beberapa minggu setelah itu kami bertiga ngumpul, nongkrong di sabang. Nyate bareng hingga ngopi bareng.

Kami membahas "pencalonan" papa. Kami sepakat, kami tidak ingin papa menjadi sinode. Kami berpikir, bahwa tanpa duduk menjadi pimpinanpun, papa adalah "otaknya" GPIB. (*Terdengar sombong ya?)

Jadi, bila ada yang berpikir, kami mendorong atau menyuruh papa untuk harus duduk dikursi itu, kamu salah.

Tanpa berada dikursi "panas" itu, papa sudah berkarya cukup banyak didalam jemaat, maupun penerbitan, papa menghasilkan kebijakan2, tema2, penulisan sabda2, yang hari ini kamu gunakan. Menjadi sinode, bagi kami, hanyalah sebuah "prestisius" yang papa ingin tunjukkan pada kami. Bahwa, beliau ingin kami membanggakannya.

Padahal jauh dari itu, kami selalu bangga, selalu bangga, ketika seseorang jemaat mengenal kami sebagai "anaknya ihalauw".

Saya hanya ingin hidup sebiasa orang biasa. Berkarya tanpa perlu berteriak untuk diakui. Berbuat tanpa harus diketahui. Menjalani hidup dengan cara yang benar tanpa harus terkenal.

Ayah saya, sudah menjalaninya. Hanya saja, sebagai ayah, dia menginginkan "kebanggaan" dari kami bahwa dia bisa memimpin. Namun diatas itu semua, beliau punya cita2 yang jauh lebih hebat tentang GPIB.
_________________________________________

Ketika selesai pemilihan Sinode 2010, lalu papa kalah. Saya tersenyum memeluk papa.

Walaupun dari cerita beberapa orang ada "kecurangan", ada pembelian suara, bahkan pendeta2 yang mendukung papa, mereka menangis pada papa.

Saya? Saya bersyukur, karena Yesus mendengar doa saya. Saya tau, ayah saya adalah orang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang mumpuni, beliau mampu menjalani tugas itu.

Namun, keegoisan saya sebagai anaknya, menginginka beliau selalu dekat dengan saya. Membaginya untuk orang lain adalah hal begitu sulit saya pahami.

3 minggu setelah pemilihan itu berlalu, Noke pembinaan lagi di Jakarta. Seperti biasa Noke mampir melihat saya di RS.

Papa : senengkan papa kalah?
Saya tertawa mendengarnya.

Saya : saya cuman pengen papa bisa seperti ini dengan saya,amor,eset. Papa menjadi orang biasa yabg selalu bisa saya temui, kapanpun saya mau.

Papa tertawa. "memangnya selama ini ngga?"

Saya : papa di medan saya harus di jakarta. Kita cuman ketemu pas liburan, bahkan natal aja saya di tante evelin karena koass.

Papa merangkul saya. "Maaf ya,pa. Saya ngga dukung papa."

"Nona bukan tidak dukung papa, nona cuman takut papa sakitt dan jauh dari nona"

Saya : beneran ada yang curang?

Papa : mereka datang ke papa, minta maaf. Tapi ya udahlah, udah lewat. Papa nggapapa.

Saya : awas ya, saya denger bantuin2 lagi sinode ini. Awas ya, saya tau papa sunbangin ide2 lagi! Cukup ya,pa! Janji ya? Jangan lagi tolongin orang2 itu papa! Kenapa sih papa itu goblok sekali. Papa itu dimanfaatin. Masak orang sepinter papa ngga ngerti sih pa!!!! (*Emosi)

Papa : papa ngga suka menjatuhkan teman. Papa bukan menolong mereka,non. Papa buat untuk Yesus. Untuk kalian ber4.

Saya : udahlah jangan bicarain hal bodok ini deh! Emosi lama2 saya,pa. Saya ngga suka papa selalu dijadiin keset. Saya benci,pa.

Papa : jadi, kalo ada yang salah papa harus diam? Kalo ada yang susah papa ga usah bantuin? Sejak kapan papa ajar nona jadi jahat?

Saya : tapi papa juga harus liat2 orang pa. Ngga semua orang harus papa bantu, papa bukan Yesus,pa. Mereka pas susah datang ngemis, nangis, minta tolong, begitu udah selesai masalahnya malah ngejelekkkin papa. Tai. Bangsat.

Papa diam. Papa menatap saya, tanpa berkomentar ataupun menyanggah.
________________________________________

Kenapa saya menulis ini?

Karena ada beberapa pendeta datang pada mama. Mengeluhkan beberapa hal, hingga kata itu tercetus kembali, seandainya Bung Noke masih ada, kalau saja Bung Noke jadi Ketum, mungkin smua terarah pada tempatnya.

Thats sound suck!

Ketika kamu sudah memilih dan akhirnya orang lain menjadi pemimpinmu, kamu harus menghormatinya. Sekalipun, kamu dulu tidak memilihnya. Kamu mau beteriak dibelakang bahwa sebenernya bla, bla, bla, bla, bla. Bahwa ada bla,bla,bla.

Thats no make sense!

Jalani aja apa yang ada sekarang. Jangan lagi mengungkit ayah saya. Beliau sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus dibandingkan. Ikuti aja masa kepemimpinan tiap pemimpin yang sudah dipilih.

Supaya kamu tau,
Ketika papa saya tidak terpilih,
Didalam kamar saya, saya berdoa dan mengucap syukur.

Terdengar jahat ya?

Sekalipun sekarang kamu membuka cerita tentang apa yang terjadi dibalik persidangan2 saat pemilihan itu berlangsung. Apa gunanya? Kalau kamu saat itu menutupi kebenaran yang terjadi? Apa gunanya kamu meneriakkannya hari ini, seolah-olah kamu tidak terlibat, kamu hanya ingin cuci tangan, kamu hanya ingin terlihat bersih.

Bila kamu tau bahwa kecurangan terjadi disana, bukankah seharusnya kamu bersuara?

Kenapa diam??? Karena "timbal baliknya" gede? Kenapa bungkam? Karena dulu "janjinya" sesuai?

Hahahahahahahahhahaaa...

Didalam gereja ini, segala sesuatu bisa "dikondisikan", iyakan? Bahkan yang melakukan itu adalah pendeta2. Heboh ya? Ini bukan lagi rahasia.

Kenapa? Karena kasih menutupi segala dosa. Iyakan? Politik kepentingan, politik balas budi, asal bukan si a, si b, bukan hanya "dagelan" dipemerintahan. Dalam gereja berskala nasional, GPIB-pun terjadi.

Gih tanyain, ada loh vikaris "hari ini" yang masuk tanpa rekomendasi GPIB padahal dia GPM. Aneh kan? Kenapa coba ngga kembali ke GPM? Ngapain coba harus masuk ke GPIB? Toh sama2 gereja, sama2 melayani.

Karena "gengsi"nya lah, menjadi pendeta di Gereja Nasional bukan lagi "pure" untuk melayani tapi prestisius. Padahal kalo memang niat menjadi Pendeta untuk melayani, mau di GPM, GMIT, GMIM ya seharusnya pergilah melayani. Apalagi memang dasarnya orang sana.

Sorry to say that.

Saya hidup didalam rumah yang mayoritasnya adalah pendeta. 3 generasi pendeta, Opa Ucu, Papa, mama, dan Amor (*bakal pendeta).

Saya melihat dan menjalani, bahkan hidup untuk menyaksikan apa artinya dari kata "melayani", menggumuli jemaat. Hingga ketika ada "oknum" dijemaat yang berlabelkan pendeta bermasalah, sebagai keluarga pendeta, sayapun ikut malu. Kenapa? Karena siapapun dia, dia mempermalukan jabatannya sebagai seorang hamba Tuhan.

Yaelah nyed, bokap lo? Di medan, ampe masuk google, jejak digital ngga akan dihapus. Bokap lo juga malu2in.

Gini, gih tanyain aja ke GPIB kasih karunia medan itu, bener ngga berita itu? Ada sekelompok orang disana yang menggelapkan uang gereja itu 1 Miliar. Mereka kira nenek moyangnya punya. Ketika papa masuk disana, papa membongkar itu, mereka gelisah karena tambang emasnya digoyang. Mereka tidak mungkin lagi mencuri di gereja.

Ada loh yang bahkan beli mobil baru pake uang gereja, disruh pertanggung jawabkan ngga bisa, ngeles, ngerahin masa buat keluarin papa. Ada loh, yang anaknya jelas2 gay, dibawa sama orang ke jawa tapi ngatain papa. Ada loh yang sok jagoan preman, nyatanya selingkuh besar, padahal istrinya baiknya minta ampun.

Apa papa saya mundur? Ngga! Dia berdiri dengan Tuhannya disana. Ive told you, i hate that city. Kota yang tidak akan pernah saya injak. Karena dikota itu, papa saya disakiti sehebat dan segila itu.

Papa diludahi, diteriaki, dimaki, ditarik2, ketika beliau berdoa digereja. Papa, adalah oldtestament, saat masalah merundung, tempatnya adalah berlutut didalam gereja. Dia bergumu dengan Yesusnya, meminta keadilan untuknya. Dia tidak pernah memiliki hati yang jahat untuk orang lain, dia datang untuk memberitakan firman.

Nyatanya, yang beliau temukan hal yang memalukan. Segelintir ibu2 PKP mengahsut media disana untuk menuliskan berita itu. Papa melakukan tindakan asusila. Papa dilapor ke Polisi, iya. Polisi menemukan bukti? Tidak. Mereka justru menyembunyikan orang yang dituduh bersama papa. Anehkan?

Suatu malam, setelah perusuh2 itu demo, saya menelpon mama. Lalu papa mengambil telpon. Saat itu, saya bertanya bagaimana papa. Dan saya menangis. Papa tertawa dan menenangkan saya.

"Papa kua kalo kalian ber4 dengan papa. Yesus tidak akan tinggalkan papa. Yesus tau papa tidak salah."

Setiap kali, saya mengingat atau berxerita tentang GPIB kasih karunia medan, hati saya selalu sakit, kemarahaan saya tidak pernah padam.

Kamu tau? Waktu itu, disaat papa kesulitan disana, tidak ada satupun teman pendeta yang membelanya. Tidak ada satupun teman pendeta yang mendukungnya. See? Papa sendirian. Hanya Yesus, papa dan kami. Bahkan sebagian dari pendeta2 yang kenal dengan papa dan pernah dibantu, menjauh bahkan ikut membumbui. Bangsat ya?

Jadi kalo ada yang bilang mempertahankan kebenaran itu susahlah, bginilah, begitulah, eh kentut... Ga usah beralasan! Bilang aja kamu ngga berani berjalan melawan arus.

Saya pernah mengatakan ini untuk Amor.

Menjadi Pendeta adalah pekerjaan paling sulit untuk saya. Saya harus sabar, tabah, kuat, tetap berteman, bersyukur bahkan pada saat saya tidak ingin melakukannya. Saya harus siap dihina, dicaci, direndahkan, difitnah, dijatuhkan, dan saya? Saya harus tetap berteman dengan mereka. Saya harus siap melayani dikala suka maupun duka. Saya harus mau merangkul musuh dan berkawan dengan lawan. Saya harus bisa bijak menyikapi keinginan banyak pihak tanpa mengistimewakan salah satu.

Menjadi pendeta adalah pekerjaan terhebat sekaligus tersulit. Saya pikir, saya tidak mampu menjalani itu, makanya saya memilih dokter.

Saya tidak bisa menjadi seperti papa. Dan tidak mampu menjadi setengah dari mama.

Jadi kalo ko nanti menjadi Pendeta, jangan pernah lupa, papa dan mama sudah menaruh standar dan contoh terbaik untuk ko ikuti. Ko boleh menjadi dirimu sendiri, tapi jangan lupa, pengalaman hidup menjadi anak pendeta, adalah bekal dan tuntunan nyata, bagaimana kependetaan harus tetap dijaga integritasnya.

Papamu, menjadi tolak ukur dan Yesus menjadi alasan paling benar kenapa ko melakukan ini.

Amor ketawa. Saya menatapnya saya bahkan ndak habis pikir, kenapa orang mau menjadi pendeta. Melayani dan mengasihi musuhmu bahkan berdoa baginya bukan perkara mudah. Menjaring jiwa, menegakkan aturan, mendudukan pemahaman teologi pada tempatnya, sehingga imanmu bukan cuman cerita anak sekolah minggu, itu bukan hal mudah.

Itulah kenapa saya selalu marah, ketika ada orang yang "menyepelekan" makna "pendeta", atau seenaknya "menjadi pendeta" hanya dengan sekolah 3 bulan, les alkitab 3 bulan.

Pendeta tidak semurah itu. Tidak juga sesepele itu. Menjadi pendeta artinya kamu memimpin umat Tuhan, kamu menjadi penjaga kemurnian ajarann gerejawi yang dianut, kamu menempatkan Firman Tuhan sebagai alasanmu berpikir dan betindak.

Bukan hanya asal ngecap lalu, lo diangkat. Ngga brur, ngga semurah itu.

Tulisan ini sudah terlalu panjang. Curhatan ini juga mulai membosankan. Emosi sayapun ikut meningkat.

Bercerita tentang Noke, tidak akan ada habisnya.

Salut saya untuk semua orang yang memilih menjadi pendeta.
Yesus memberkati pilihan dan panggilan hidupmu.
Biarlah Roh Kudusnya menuntunmu agar setiap tindakan yang kamu perbuat semuanya untuk kemuliaan NamaNYA.

Dan untuk orang2 yang masih saja menyangkut pautkan papa, atau berandai2 tentang keberadaan papa.

Noke sudah istirahat.
Jangan lagi kamu sebut dia. Bila karyanya yang kamu butuhkan, ambillah dan gunakanlah dengan bijak.
Jadilah pintar seperti beliau, ambillah segala contoh yang baik darinya.

Tapi jangan lagi ungkit masalah yang telah lalu. Berjalanlah sesuai dengan apa yang pilih hari ini. Jangan menoleh kebelakang hanya untuk "menceritakan" kisah lalu.

Bergeraklah maju, jadikanlah GPIB sebagai gereja bermartabat, berdedikasi, hingga dari dalamnya, GPIB bisa menjadi terang yang memeluk setiap manusia dan darinya Yesus dimuliakan baik oleh orang percaya maupun keberagaman disekitar kita.

Bersinarlah keluar bukan hanya didalam.
Jadilah terang dan nyatakanlah kebenaran disetiap tempat dimana kamu berkarya.

Ada amin?

Benyada Remals "dyzcabz"

Dari medan, Papa pindah ke Petra.

Saya menelpon papa, "papa di?"
"Mau ke sinode"
"Ngapain sih! Sibuk sekali! Stop ya,pa...!"

Papa memberikan telpon ke mama. Mama tertawa mendengar saya marah.

"Jangan non. Mereka butuh papa,non."
"Papa itu goblok. Tolol. Ngapain sih. Heran deh, buat apa papa bantuin."
"Ingat ini gereja. Nona boleh marah, tapi harus tetap mengasihi"
"Kasih juga mengajar, bukan hanya mengampuni"

Klik. Saya memutus sambungan.

Now, i know...
Kebaikkan hati saya, yang kadang mengejutkan saya, berasal dari ayah saya.

Noke,namanya. Beliau yang tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan.
Beliau yang bisa duduk tertawa bersama lawan debatnya maupun orang yang menjatuhkannya.

Beliau, yang bahkan dalam keadaan marah sekalipun, tangannya tetap memberkati dan berdoa bagi mereka yang melukainya.

Saya selalu bermimpi memiliki orang tua yang biasa saja, nyatanya saya diletakkan ditengah orang tua yang memiliki nama dalam pengabdiannya sebagai pelayan Tuhan.

Seandainya saja, papa adalah "orang biasa", mungkin hari ini saya masih bisa memeluknya disini. Bersama saya.

Terkadang hal termewah bagi saya adalah menjadi senyaman orang biasa, tidak dikenal, tidak perlu juga untuk harus dikenal, menjadi sebiasa orang-orang yang lalu lalang.

Hingga saya menyadari satu hal, Yesus memanggil papa, untuk menjadi Hamba Tuhan.

Dan itulah pengabdian Papa seumur hidupnya, melayani Yesus dengan segenap jiwanya, segenap akal budinya dan dengan segenap hatinya.

I adore you, My old man.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...