15 tahun lalu, saya bertemu dengan DIA. Seorang pemusik, setidaknya begitulah yang saya tau tentangnya. Pacaran? Hm, nope. Saya pikir, kita cuman teman dekat. Karna sampai akhirnya kita "jauh" tidak pernah ada pernyataan khusus darinya.
Walaupun, "jauh"nya kita membuat saya nelangsa. Bila kamu berpikir, cinta pertama saya adalah SMA, nope... Kamu salah, DIA, pemusik itu cinta pertama saya.
Laki-laki pertama yang mampu membuat saya salah tingkah didepannya. Hahahahahahahhahahaaa...
15 tahun. Tanpa kabarnya. Tanpa ceritanya. Tanpa pernah bertanya dia dimana.
Walau kadang rindu itu hadir, hanya ingin tau, masihkah dia bermusik? Masihkah dia memainkan saxophone nya? Masihkah dia melagukan lirik yang pernah kita tulis? Masihkah gitar tua hadiah dari ayahnya dia mainkan? Atau keyboard yamaha itu masih disana? Keyboard yang dia dapatkan dari menjual motor kesayangannya.
Kok lo tau, nyed? Karena saya ada disana, disampingnya, saat semua itu terjadi. Saya. Teman baiknya.
________________________________________
SCBD.
30 Juli.
Pada sebuah rooftop dengan live music. Kami berkumpul disana, sekedar temu kangen, sekedar bercengkrama, tujuannya satu menikmati bagaimana hidup mencadai kami.
"Inikah namanya cinta, oh inikah cinta.
Cinta pada jumpa pertama.
Inikah rasanya cinta...
Oh inikah cinta, terasa berdebar saat jumpa dengan dirinya"
Kami menyanyikan lagu itu serempak dan serentak. Seisi rooftop itu seolah paduan suara akbar yang sedang bercinta satu dengan yang lain.
Saat suasana menjadi hening. Mbul berceloteh "first love? Thats sweet?"
"Lo panji kan, tong? Si cowo tinggi tegap itukan, anak PL ya?"
Nita tertawa geli mendengar tembakan Cipta.
"Temen basket gue tuh." tambah cipta
"Lo nyed?"
"Boneka dufan" jawab saya sekenannya.
Mbul langsung menyambar dan menunjuk saya.
"Heeey, lo bukan boneka dufan. Bukan. Lo sama si keybordist itu, yang jago saxophone itu...."
Saya tertawa mendengarnya.
"Siapa kang?" tanya nita
"Gue tau duluan, lo blom kenal, tong. Cowo itu gimana kabarnya?" mbul
Saya menggeleng.
"Anak mana?"
"Pskd, kan??"
"Loh gebetan gue dulu pskd juga, nyed. Namanya sapa?" Nita semangat
"Gue lupa. Dah lama banget, tong."
Cipta tertawa tiba-tiba. "Cowo yang cungkring itukan? Yang dulu sering nongkrong di Tamsur kan? Eh apa ikj ya?"
"Bener-bener. Kok lo tau sih?" Mbul
"Siapa yang ngga tau, sepatah hati apa yedijah ketika mereka bener-bener pisah."
Hahahahahahahahahahahahaha...
Cipta kampret. But, wait... Saya? Pernah sepatah hati itu? Pas masih kicil2? Hahahahahahahahahahhahahaaa....
"Gue ga pacaran sama dia. Gue cuman temenan."
"Trus? Temen apaan sih yang selalu nemenin dia latihan? Dan lo, lo paling seneng ngeliat dia main saxophonenya. Entah apa bagusnya."
Saya tertawa semakin geli.
"Mbul, dengerin ya, cowo yang jago main saxophone, kharismanya, kegantengannya, bakalan naik 10000 kali lipat. Bener kan, kang?"
tambah Donna tiba-tiba
Kami ber-highfive.
"I love you, nut" teriakku
"Seenggaknya first lovenya kita ngga seironis lo, mbul." tambah Rasta
Mbul menimpuknya dengan rokok.
Kami tergelak puas. 1-1. Kita seri, mbul. Hahahahahahahhaahaa
"Kalo rasta mah ngga usah di tanyain. Dia ngga pernah ada first love. First ml aja udah pasti ngga ingat " celetuk Donna si nyablak
Mbul : "thanks nut. 1-1 taaa"
Rasta mencibir mendengar celetukkan Donna.
"Kalo bapak cipta apa kabar? Siapa first love nya?" tanyaku
"Agak susah ya jawabnya, karena saat itu gue jadi rebutan. Jadi hmm...
"Eh cumi, ngga usah sok kecakepan deh, lo dulu jeleknya kebangetan taaaaaaaa" teriak Nita
"Lo lupa ditolak mentah-mentah sama si ******* pas diangkot? Karena mau nganterin pulang?"
"Ngapain lo anterin pulang? Kan lo dijemput Mas Melas?"
Saya tertawa melihat muka sebal cipta.
"Namanya juga es-em-pe, kelas 3, jaman suka-sukaan. Pdkt. Ya udah sih."
"Lan, lo siapa? Bokin pertama lo?"
"Ah, ilan mah autis, baca mulu, palingan juga mpo yang jualan bakwan depan sekolah." rasta
"Ssssssssssttttttttt. Jangan salah loh, gini-gini, gue cipokkan duluan loh. Sama anaknya Pak Ilyas."
"Bangggggkeekkkkkkk.... Serius lo? Anaknya Pak ilyas yang killer itu?" rasta
"Tapikan dia ESTEDe aja. Ngga wow banget." cipta
"Yang penting rasanya. Kualitasnya."
Saya menimpuk Ilan dengan kentang goreng.
________________________________________
Saya pulang bareng Mbul. Kebetulan "monalisa" udah sembuh, baru 2 hari keluar bengkel. (*Ops...monalisa itu panggilan kesayangan kami untuk mobilnya mbull)
Setiap dari kami punya nama kesayangan untuk mobil atau motor, saya? Rasco dan Bubucaca.
"Gue ngeliat dia di GI"
"Siapa?"
"iho. Dia barengan teman2nya, nyed."
"Come on, bul. Udah lama kali. Stop."
"Lo ga penasaran sesukses apa dia?"
Saya menoleh ke arahnya.
"Dia pergi. Dia ninggalin gue. So? Artinya dia ngga mau sama gue. Thats simple."
"Ekspektasi lo tentang pemain musik yang buat dia pergi."
"Oh jadi semua salah gue? Karna ekspektasi gue dia pergi?"
"Gue kenal lo, nyed. Lo ga mau pacaran dengan pemusik, lets make it sense for you. Lo selalu menilai bobot orang. Siapa yang lo mau. Bahkan ketika itu lo belom sehebat hari ini."
"Kok gue tersinggung ya, mbul?"
"He told me everything!"
"Everything? Terus lo percaya dia?"
"Karna dia ngga bisa boong ke gue, kalo dia masih rindu sama lo."
"Sosok cowo dimata gue selalu harus "lebih" dari gue. Figure yang gue dapet tentang cowo adalah noke, pekerja keras, mbul. Dia diakui dalam lingkungan kerjanya, bahkan dia menciptakan karya yang sulit dilawan. Okeh, im arrogant with that. But, im deal about it. No doubt. Dia punya mimpi besar dengan semua musikalitas yang dia punya, tapi gue ga liat dia beranjak sebagai orang dewasa yang bakalan "ngebangun hidup" bersama orang lain. .......
*Jeda
Kalo lo cinta sama seseorang, dan lo ngerasa lo mau ngabisin hidup lo dengan dia. Mimpi yang lo punya, harus juga memikirkan mimpinya dia. Bukan hanya tentang lo. Hidup bukan hanya menikmati hobby, kita ngga makan cinta, dan menimbang rindu doang, mbul. Kita hidup dikenyataan hari ini. Lo boleh idealis tentang mimpi2 hebat lo, tapi tolong realistis dengan kenyataan yang ada hari ini."
Dan jawaban Mbull menampar saya.
"Lo malukan? Karna dia cuman pemusik."
"Mbull, gue ngga malu. Tapi gue ngga mau dia "cuman" bermusik aja. Setiap orang harus berkembang. Harus. Musik boleh dijadikan nafkah, gue tau banyak yag berhasil karena itu. Tapi,...."
"Tapi apa nyed? Lo mau dia harus punya titel kan? Sedangkan dia hanya hidup karena mimpinya iyakan? Apa itu salah?"
"Ngga, gue yang ga mau untuk stay. Gue ga bisa dengan orang yang stag pada satu lajur, disaat gue tau, dia bisa jauh lebih hebat dari itu."
"Karena itu lo tinggalin dia? Setelah maksa dia masuk teknik? Hanya karena dia jago gambar?"
"Gue mau dia jadi orang. Orang yang berhasil bukan cuman buat gue. Tapi buat om dan tante. Buat orang yang nantinya memiliki dia, mbul. I love him. I do. Gue cuman mau dia bisa seimbangin antara harapan dan kenyataan. Thats it. Apa gue berlebihan?"
"Kita ngga boleh ngedikter orang ngikutin mimpi kita, nyed. Sekalipun bagi kita itu yang terbaik. Dia sukses kok sekarang, dia diminta hadir dalam musik-musik festival bahkan sampe keluar negeri. Apa itu bisa dibilang berbobot versi lo?"
"Ngga. Karna untuk masuk dalam terasnya noke, syarat pertama adalah pintar, dan bila diasumsikan artinya bertitel. Fak, gue kedengeran sombong banget ya? Bangke! I hate myself for being ash"
"Lo tau, dari semua cowo yang pernah deket sama lo, semua cowo yang gue kebal deket sama lo, cuma dia yang bisa "merubah" lo. Gue ga tau, tapi waktu itu, gue ngeliat kukang yang gue kenal, dengan cara yang berbeda. Lo ga kaku, ga jaim, ga "angkuh", lo menjadi lo yang selalu gue liat. Dia sekolah musik, nyed. Dia bukan ngga bertitit, eh maap... Bertitel. Hahahahahahahhaahahhaaa"
Kita tertawa geli untuk candaan bego yang receh itu.
"Padahal gue dengan dia ngga lama loh, cuman 2 tahun deh. But, he got me. Kadang gue pikir, ga ada lagi yang bakalan inget tentang dia. Cinta pertama gue. Gue pikir kalian bakalan inget cuman boneka dufan. Tapi lo tau, mbul? Tiap kali gue mengenang my first love, thats him. I know for sure. It's him. Norak ya gue? Jijik ya?"
"Gue kasih nomor lo ke dia."
"Dia ngga akan berani hubungin gue lagi, mbul. Ngga. Dia tau, kita udah selesai."
"Nope, lo masih cinta sama dia, nyed. Stop nipu deh. Terakhir kali lo gereja disitu kan, kalian ketemu kan? Cuman dia ngga mau nyamperin lo. Dia bilang kok, dia main saxophone dan lo senyum ngeliat dia."
"Eh gilak, situ BIN? Atau sepupunya spidey? Bisa loh situ tau sedetail itu. Hahaahahahahahahahaahah...
Gue selalu jatuh hati ngeliat cowo yag jago saxophone, mbul. Lo tau kan?"
Mbull itu tau segala hal tentang saya, sama seperti rasta, tom2, nita, rara, cipta. Mbull ada disaat saya "bingung" tentang bagaimana menyikapi segala masalah.
Mbul, adalah kebijaksana yang disediakan semesta untuk menemani kegamangan dan kesoktauan "saya".
"Karna dia ambon?"
"Maybe, mbul. Gue ngga mau ambon. Pacaran sama cowo ambon, kebanyakkan "elus dada"nya."
"Lo ambon, nyed. Ambon! Ambon tulen. Ambon."
"Ya makanya. Gue tau gitu, ambon itu kayak gimana."
"Dia telat dateng ke pemakaman Om Noke. Delay."
"Ngga dateng juga ngga papa. Dia bukan orang yang gue tunggu, mbul."
"Jadi siapa yang lo tunggu?"
"Noke."
.....gue nungguin keajaiban datang dimana papa bangun dan semua cuman mimpi. Gue nunggu itu. Gue ngga berharap siapapun dateng.
"I know, nyed. I know. "
"Sampe hari ini, mbul. Gue ga bisa ngilangin rasa bersalah itu. Setiap kali gue menghadapi kasus yang sama dengan papa. Setiap itu juga, gue bakalan hancur. Gue ga tau, sampe kapan. Bahwa perlahan gue mulai bisa berdamai dengan keadaan, tapi tidak dengan diri gue. Sedih ya?"
"Lo taukan, gue selalu bisa lo andalin. Jangan sedih sendirian, nyed. Gue sebel banget liat lo butuh psikiater. Lo ngga butuh. Lo kuat, i know you, yedijah. Lo pikir, kita ga sedih liat lo. Hm? Gue ga mau kehilangan kegilaan lo, nyed. Ngga."
"Sorry, mbul. Ngerepotin lo."
"Eh, kampret. Kita tuh bukan temenan,tapi sodara! Keluarga! Percuma deh temenan belasan tahun kalo lo nangisnya cuman sendrian. Ga paham deh sama lo!"
Saya menatap mbul. Melihat dan mendengarnya mengomel. Mbul, itu seperti kakak, teman, layaknya amor, eset, melf, nan, berisik dan bawelnya ngangenin. Dan saya rela dibawelin oleh mbul, bila dengan itu saya bisa tetap menjadi saya.
________________________________________
Belokan terakhir menuju rumah...
"Kenapa lo ngga coba lagi, nyed?"
"Coba?"
"iho nunggu lo.. oke, gue ralat, dia ngga nunggu lo. Tapi dia ngga nyari cewe. Sejak 10 tahun terakhir."
"Lo lagi nulis novel? Hm? Ngga ada cowo sebego itu. Dude, plis. Iho itu "cowo banget", cowo yang susah ditolak. Dan lo bilang dia ngga nyari cewe? Trus? Nyari apa? Cowo?"
Mbul menjewer telinga saya.
"Seriusan nyed. Gih. Kalo ampe dia nelpon, awas kalo ngga lo jawab."
Saya menoleh ke arah mbull.
"Kalo gue bilang udah selesai, artinya selesai. Gue pikir, lo kenal gue, mbul. Jadi mau dia nelpon kek, apa kek. Ngga. Lagian di gereja kemaren itu, ya udah. Kita cuman 2 orang asing yang pernah dekat, lalu diam-diam pergi."
"Kalo dia serius?"
"Mbul, stop. Gue ngga mau debat. Gue ga mau bicara tentang ini. Serius atau ngga. Ini udah selesai."
"Rendra? Hmmm... Karena si rendra?"
"Rendra? Cuman temen. Gue lagi ngga fokus kemanapun, kecuali study gue."
"Eh, hidup lo bukan cuman rumah sakit, nyong! Hidup lo juga ada diluar pasien dan case2 lo. Lo ga takut apa hidup sendiri?"
"Selama ada lo, gue tenang. Kecuali kalo lo tiba2 married. Baru tuh gue panik. Selama kalian stay singel and gorgeous, im in."
Kita tertawa.
________________________________________
03.30 GPIB SION
Mbul menemani saya masuk ke rumah.
"Ga usah, biar gue masuk ndiri. Pulang gih."
" Berisik amat sih!"
"Kalo lo nganterin (*padahal udah jalan masuk pagar) ntar dikira gue bookingan. Tiap pulang pagi beda yang nganter..." Bisik saya diikuti ledakan tawa kita.
*Ya bagus dong, bookingan lo semanis gue??"
"Mbul? Pernah di amplas ngga muka depan lo?"
"Dempul pernah, amplas blom nyoba" ucapnya geli
"Bubucaca cat baru?"
"Hm. Keren ya?"
"Pasti lo, ngga mungkin ada ide gila lain selain lo."
"Makasih."
Dia diam sejenak. Saya menunggunya berjalan balik ke mobil.
"Dia liat lo di gereja. Dia gugup karena itu. Dia bahkan salah nada katanya. Dia ngga konsen karena lo... Nyed, lo udah ngelewatin banyak orang.
Sampe kapan lo mau gini? Kenapa lo ngga bisa menerima dengan baik, bahwa mungkin aja, temen hidup lo sebenernya dia yang selama ini deket sama lo, atau didekatkan lagi sama lo. People change, nyong. Kalian berteman dulu, pas jaman putih biru, cinta monyet yang bahkan noke ngga tau, cinta? Nope, gue pikir, itu sayang, karena gue liat, gue tauu.... Lo selalu jadi lebih "manis" ketika kita bicara dengan tentang dia.
Sama seperti noke yang selalu hidup dalam cerita sinsi, mungkin dia juga gitu.
Dia selamanya tinggal ditempat itu, lo selalu nulisnya gitukan?
Dia akan selamanya memiliki tempat khusus dihati lo. Tempat yang hanya bisa dimiliki oleh dia, yang kemudian, hanya menempati tempat yang cukup untuk seorang pendatang.
Hei, nona yedy...
Stop beralasan lagi. Dia udah pulang. Lo, rumah yang dia tunggu. Pemberhentian terakhirnya, nyed.
Masih hobby buat dia nunggu? Atau pembalasan untuk ego lama lo? Karena dia satu2nya cowo yang berani mematahkan hati lo tanpa ampun. Dia ninggalin lo, disaat lo tau, itu cinta.
Gue bener?"
"Dah subuh, gih pulang. Sebelom mobil lo dibobol lagi."
"Could i love you anymore? Could i love you anymore?"
Saya berjalan masuk rumah sambil melambaikan jari tengah kearahnya.
04.05
Its love?
Bila itu cinta, kenapa saya susah sekali untuk kembali.
Bila ini cinta, kenapa saya asing terhadap rasanya.
Its ego.
Yup, dia meninggalkan saya.
Kekerasan kepalanya. Keangkuhan inginya.
Dulu, saya hanya ingin dia dibanggakan oleh orang disekitarnya bukan hanya karena mimpinya namun juga kepintarannya.
Sekarang?
Dia sukses dengan caranya, dengan minpinya, dengan semua yang dulu saya ragukan.
Masih pantaskah saya, masuk kembali untuk ikut membanggakannya?
________________________________________
16 tahun lalu,
Papa sedang di kantor penerbitan,
Saya mengetuk pintu.
"Pa, saya sama iho pergi bentar ya?"
Papa menatap tajam ke arah saya.
"Naik apa?"
"Naik bajaj oom. Papa tadi kasih uang jajan lebih." jawabnya takut2
"Mau kemana kalian?"
"Mau beli keyboard, oom. Saya abis jual motor."
Papa menatapnya kemmbali.
"Nih ambil, buat tambahin uang bajaj. Ingat, yedijah harus masuk rumah sebelum jam 6 sore!"
Kita pergi membeli keyboard itu ditoko yamaha. Pulangnya kita singgah makan es cendol.
Hingga hari itu, ketika saya menyinggung mimpinya menjadi pemusik. Ego saya menginginkan dia menjadi lebih hebat dari seorang pemusik.
Saya lupa, setiap orang berhak memiliki mimpi, sesederhana apapun mimpi itu.
Bilapun, kita bertemu kembali, tempat saya hanyalah seorang sahabat lama.
Seorang teman baik yang bangga akan keberhasilan temannya.
Lebih dari itu?
Tidak, saya tidak pantas menerimanya.
Ego saya, tidak bisa memaafkannya.
Benyada Remals "dyzcabz"
Berbahagialah dengan apa yang kamu miliki.
Komentar
Posting Komentar