Aku berdiri memandangmu. Lelah rasanya menghadapi ini. Aku seolah tidak lagi, mengenalmu. Kamu, laki-laki yang ku cintai setengah gila dalam 8 tahun terakhir ini. Kamu tegak dengan pongah didepanku, menunjukkan foto dia.
Seseorang yang kamu bilang, lebih bisa mengerti keberadaan kamu, dibanding aku. Aku, perempuan yang melahirkan anak-anakmu. Perempuan yang kamu minta dengan hormat dari ayahnya. Perempuan yang kamu kejar setengah mati, dulu.
Aku menghapus airmata yang luruh. Tersenyum sedih. Aku menghargai keputusanmu. Aku selalu seperti ini, entah itu dulu, hari ini, besok hingga nanti. Aku selalu memahamimu. Aku selalu, menghormati semua hal yang kamu inginkan. Aku selalu memaklumimu.
Bahkan ketika kamu bilang .....aku, pikir, aku lebih bahagia dengan dia, non. Kamu, laki-laki yang biasanya menutupi hatimu, laki2 yang biasanya gagap bila mengutarakan rasamu, kini berdiri tegap menatapku tanpa menunduk. Kamu, menyombongkan rasamu didepanku. Melafalkan cintamu untuknya, didepan perempuan yang untuknya, kamu berjanji setia hingga maut memisahkan.
Aku tidak menyanggahmu. Aku mendengarkanmu. Seperti biasanya. Mencerna setiap kata yang kamu keluarkan, dan menguatkan hatiku untuk tidak mengemis. Tidak juga menjatuhkan harga diriku untuk memohon padamu.
Suatu waktu dulu....
Saat menjelang pernikahan kita. Aku pernah mengajukan permintaan untukmu.
....bila suatu hari nanti, ada orang lain yang membuatmu jatuh cinta, lebih dari aku. Dan bersamanya, kamu bahagia. Kamu harus jujur. Aku tidak akan menahanmu tinggal denganku. Cinta harus diperjuangkan, aku memahami itu. Namun, cinta yang telah tertinggal disuatu tempat, sulit dibawa kembali pada hati yang sama. Dan aku tidak mau, kamu tinggal dengaanku, hanya untuk sebuah keharusan.
Kamu ingat, apa yang kamu katakan?
Kamu menertawakan aku dan perkataanku itu. Katamu, tidak ada yang bisa membelokkan cintamu untukku. Katamu, cintamu telah berhenti di aku. Aku adalah rumah tempatmu kembali.
Namun hari ini, aku mendapati matamu berbinar dengan alasan lain. Matamu berbinar senang saat mengucapkan kata yang menghancurkanku. Kamu, mencintainya. Dia mampu membahagiakanmu.
Kita terdiam. Kamu mematung didepan ku. Kita berjarak. Kita tidak sedang bertengkar seperti biasanya. Kita, sedang saling mengingkari. Mengabaikan. Atau sudah mulaikah, rasa cinta itu memudar?
Aku menundukkan kepalaku. Mencari kekuatan, untuk bisa tetap menatapmu dengan tenang. Kamu tau, aku mencintaimu dengan semua hal menyebalkan yang ada padamu. Kamu tau, aku tidak menyerah sekalipun jalannya terasa sulit. Kamu tau, aku tidak pernah membiarkanmu sendirian.
Apa sesulit itu, untuk tetap setia pada janji kita?
"Jadi, kamu bahagia dengan dia?" Ucapku sebiasa mungkin
Kamu mengangguk. Aku menatapmu, mengamati wajah yang biasa kucium saat bangun pagi. Aku ingin menemukan sebuah kebohongan tentang yang kamu katakan ini.
Aku menghela nafas, .....aku kalah, gumamku pada diriku. Aku mengangguk2. "Okay. So?"
Dengan satu tarikan nafas, kamu mengucapkan hal yang begitu aku benci. "Aku mau kita pisah. Anak2 bisa ikut dengan kamu. Kita ngga perlu meributkan hal2 ini. Kamu bisa tetap tinggal disini. Nan...."
Aku memang mengizinkan mu, menghancurkan ku. Namun, kamu tidak berhak menginjak harga diriku. "Aku akan bawa anak2 keluar dari rumah ini. Jual aja rumah ini. Berada disini, membuatku sakit."
"Tapi, ini rumah impianmu, kamu bi...."
"Rumah impian kita. KITA. Kamu lupa?"
Dan aku, berlalu darimu. Rasanya tidak ada yang perlu kita bahas lagi. Perpisahan ini menghancurkan ku. Apa yang harus kukatakan pada anak-anak, ibu, ayah? Penjelasan paling masuk akal mana yang bisa memaklumkan pasangan yang berpacaran hampir setengah umur mereka, tiba2 pisah ditengah jalan. Bagaimana bisa, aku mengangkat mukaku, dihadapan begitu banyak orang yang menjadikanku idola?
Hari-hari setelah percakapan itu, waktu terasa melambat. Entahlah, setiap kali aku pulang ke rumah, terasa sakit dan sesak. Setelah menimbang dengan matang. Aku harus keluar dari rumah ini. Membawa diriku, untuk rehat sejenak. Keluar dari kejutan tidak menyenangkan ini.
Sore itu, kamu sedang nonton di ruang TV. Aku mengacuhkanmu. Toh, sebentar lagi, kita akan pisah. Kamu penyebabnya. Kamu. Aku sedang memanggil Pak Den, untuk menganggkat koper terakhir ku. Anak2 sudah berada di rumah ibu, untuk sementara waktu.
"Kamu mau kemana?"
"Aku pikir, kamu ngga punya hak untuk tau'kan? Hal2 tentang perceraian kita, nanti di urus sama Frai aja."
Kamu bergeming dan menatapku. Tatapan ini, sama seperti pertama kali, kita bertemu di pertandingan basket. Kamu menatapku, dengan gugup, mengalihkan tatapannya yang canggung namun aku suka. Sayangnya, tatapan itu bukan lagi untukku.
Aku melewatimu menuju pintu depan. Rasanya berat, meninggalkan KITA dan rumah ini. Berat, membayangkan suatu hari nanti, kamu akan bahagia dan bukan aku, wanita yang disisimu. Rasanya berat, melepaskan mu.
Kamu adalah doa yang aku lantunkan dalam diam, pada setiap malam2 panjang yang ku lewati sendiri. Kamu adalah jawab, pada tanya yang ku berikan pada semesta, setiap kali mereka meragukan kita. Kamu. Kamu, orang itu.
"Kamu, nyerah untuk KITA?"
"Nyerah? Aku ngga bisa bertahan, dengan orang yang ngga menginginkan ku lagi, Rold. Ngga. Di hari kamu tau, kamu jatuh cinta dengan perempuan itu, kamu ngga lagi pantas untuk aku perjuangkan. Karna, kamu ngga menghargai pernikahan kita."
Aku menatapmu, aku membencimu setengah mati, namun jauh lebih dari itu, aku tidak akan menahanmu bila kamu menginginkan dia. Kamu mengenalku dengan baik, aku akan memperjuangkan milikku. Aku benci kalah. Kamu tau kan? Namun, jika itu tentang cinta, aku tidak bisa memaksa rasa yang sudah pudar.
Memintamu tinggal, agar terlihat utuh, bukankah melukaiku? Bukankah menyakiti anak2? Bukankah mengkhianati KITA? Aku melepasmu, bukan karna tidak mencintaimu. Namun, aku mencintaimu, karna itu aku menginginkan yang terbaik untukmu.
"Rold, bahagia ya dengan dia."
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar