cerita yang akan saya tulis, bukan sebuah cerita yang membanggakan tentang saya.
Tentang kenangan saya dan papa.
Ketika saya bilang, He's mine. Its absolutely mine. Saya tidak mau membagi papa dengan siapapun. Kecuali, mereka ber 5, mama, goel, amor, eset, dan si kecil astrid.
TIDAK DENGAN SIAPAPUN.
Kejadian ini sudah sangat lama. Kejadian ini, di Bahtera Kasih, Makassar.
Disana, papa punya anak angkat, saya lupa nama kaka itu. Seingat saya, saat itu dia sekolah SMP. Setiap bulan, papa akan memanggil dia kerumah untuk mendapat uang sekolahnya, dan uang jajan. Papa selalu melakukan ini, pada anak-anak yatim piatu di jemaat. DIa selalu membantu mereka.
sebenarnya ngga ada yang salah, hanya saja saya, saya terlalu egois. Saya tidak bisa membagi papa saya, untuk siapapun.
Jadi, di suatu hari minggu yang cerah, seusai ibadah minggu jam 09.00. Kaka itu mampir ke rumah, saya sedang nonton TV di ruang tamu. Dia datang dengan sopan dan berkata "mau bertemu dengan pak pendeta." Papa baru selesai pimpin dan sedang menulis di depan komputernya.
Saya menatap tajam kearah kaka itu. Menatapnya dari atas sampai bawah. Tatapan saya jelas, tatapan tidak suka. Apalagi saat, dia memanggil papa, bukannya pak pendeta. Papa tersenyum mendengarnya. Papa bertanya tentang sekolahnya, mengobrol sama seperti yang biasa kita lakukan dengan papa. Saya lupa untuk apa tepatnya dia datang ke rumah hari itu. Keperluan sekolah kali ya?
Setelah itu, papa menyuruh dia makan dirumah. Selesai makan, papa memberikan keperluannya dan kaka itu pulang. Tau ngga apa yang saya lakukan? Saya mengejarnya sampai kedepan pintu gereja yang bagian depan, dan dengan lantang saya teriak "dia papa saya, ko ngga boleh panggil dia papa. Dia itu papanya saya. Ko bukan anaknya"
Damn, nyed! Lo jahat banget!
yup, dan.... sorenya, omanya datang ke rumah dan meminta maaf dari papa. Karna, kaka itu ngadu ke omanya. Dia ngga mau menerima uangnya papa, karna kata2nya saya. Tau apa yang papa lakukan setelah mereka pulang? Papa menampar saya. Papa ngamuk dengan saya. Pokoknya, papa marah besar. Terakhir, saya hanya melihat papa sambil menangis dan bilang "dia bukan anak papa, dia ngga boleh panggil papa!"
Yup, saya, benyada kecilnya papa. Yedijahnya NOKE.
saya dan papa ngga saling bertegur selama 1 minggu lebih. Tidak ada pembicaraan apapun. Papa menghukum saya, tidak boleh ikut jalan-jalan kemanapun mereka pergi. Saya? Ya udah. Bodo amat. Sedari kecil, watak saya memang keras. Papa tau itu. Saya tidak akan minta maaf, saat saya tau, saya benar.
Saat itu, saya masih kelas 6 SD di SD PUNDARIKA dekatnya Gedung Mandala. Dulu, supir gereja itu namanya PAk Latif pendek hahahhahhahaa... Baik bangeeeet. Kita selalu panggil dia, om latip. Tugas dia adalah menjemput kita.
Hari itu, saya pulang cepat. Jadi, saya telpon ke mama bilang om latip jemput. Telponnya dari telpon kantor sekolahan. Mana ada HP dan mana boleh papa kasih kita HP. Papa dan saya masih diam2an. Ive told you, saya ngga akan minta maaf.
Ternyata papa yang jemput saya. Didalam mobil, saya dan papa diam.
papa : nona, masih marah?
Saya diam.
papa : eh, kita dua beli nasi unti kah? di gunung nona ya? nona pu kesukaan toh?
saya diam.
Mampir di gunung nona, beli nasi unti. Saya suka banget makan nasi unti. Lalu, kita berdua jalan-jalan, liat saya punya keperluan. Seingat saya, saya beli tas baru. Tas gambar sesame street warna hijau. dan, apa ya? Adalah beberapa yang saya beli. Tapi, saya tetap ngga bicara dengan papa.
Selesai dari situ, kalo saya ngga salah ingat ya, kita mampir beli nasi goreng merahnya bamboden. Papa beli beberapa bungkus, dan lalu... beberapa lauk. Trus, kita berdua pulang.
Ternyata, papa tidak membawa saya pulang. Papa membawa saya ke rumah kaka itu. Rumah sederhana di arah mana ya, sektornya Bahtera Kasih yang jauh. Aduh, saya lupa. Rumah itu masih beratapkan seng dan dindingnya batu bata merah. Sangat sederhana. Disampingnya ada kandang ayam dan beberapa drum tempat mereka menampung air bersih. Dulu, air pam masih susah masuknya.
Oma itu berlari menyambut kita. Saya terkejut melihat rumah itu. Kaka itu memiliki 2 adik kecil, mereka tinggal bersama omanya. Oma itu merangkul saya dan membawa kita masuk di ruang tamunya yang sederhana. Sofa panjang dan 2 kursi. Sofanyapun sudah jebol bagian tengahnya.
papa masuk sampai ke dapurnya, menaruh makanan yang tadi kita beli. Ada seorang ibu yang biasanya membantu si oma.
Papa : "Oma, ayok kita makan siang. Ayok semua duduk."
si kaka itu, ibu yang bantu, oma dan 2 anak kecil itu duduk. Saya menatap mereka bergantian. Sesuatu dalam hati saya "terenyuh", sebegitu jahatnya saya, hingga saya tidak bisa membagi papa untuk mereka. Anak-anak yatim piatu, yang memang butuh sosok seorang papa.
Selesai makan, saya meminta kunci mobil dari papa. Saya memberikan jajanan yang papa beli untuk kita bertiga dirumah. Mereka lebih perlu. Mereka lebih butuh.
Oma : "nona manis, maaf e... soal hari itu"
saya mengangguk. Papa "yedijah yang harus minta maaf, oma. yedijah sudah kurang ajar, karna saya terbiasa manjain." Ucap papa sambil menggenggam tangan saya.
Saya menatap si kaka itu dan tersenyum. "Maaf ya"
Perjalanan pulang...
papa : "Nona, harus belajar berbagi. Sampai dimanapun, papa pergi, saya tetap papanya nona. Apa salahnya, kalo kaka itu panggil papa juga? Papa bukan papanya, namun papa ada, sebagai bapa imannya. Dia jemaat papa, papa harus melayani mereka. Tuhan Yesus memberkati pelayanan papa, karena doa yang mereka naikkan. Papa tidak ajar nona, jadi egois. Papa ini punya nona, amor, eset dan mama. Tapi, nona harus ingat, diatas semua itu... Papa milik Yesus, papa milik jemaat. Papa harus membagi diri untuk mereka.
Papa mau nona mengerti. Nona memiliki semua yang mereka tidak punya. Nona punya papa, mama, nona hidup cukup. Apa salahnya, nona berbagi? Papa menolong dia, supaya dia punya masa depan, untuk adik-adiknya dan omanya.
Belajar untuk mengasihi orang yang tidak terlihat, nona. Mereka yang tidak terlihat dan diabaikan. Saat nona menolong mereka, Tuhan Yesus dimuliakan melalui nona."
Saya menatap papa. Mengangguk pelan. "udah dikasih kok jajanannya." (*mon maap, saya tidak bisa dikalahkan) hahahhaahhahahahahhaaaa...
Papa : "iya, nanti papa beli ganti buat nona"
Saya mengangguk.
Papa : "kenapa nona marah, dia panggil papa, papanya?"
saya menatap papa. "Karna papakan papanya saya, bukan dia."
Papa tertawa. "papanya ngga boleh dibagi ya? Gimana kalo nona ada adek perempuan?"
Saya : "goel? ya ngga papa."
Papa : "Maaf ya, papa marahinnya keras banget ya."
Saya mengangguk.
dan sejak hari itu,
saya belajar satu hal...
Papa, tidak pernah benar-benar saya miliki. Saya membaginya dengan semua orang yang harus dia layani. Saya tidak bisa memonopoli waktunya. Saya tidak bisa menuntutnya harus bersama saya. Saya tidak boleh marah, saat orang lain juga menyebutnya papa.
Dia, papa saya, Noke namanya,
Dia menunjukkan pada saya, seperti apa menjadi Pelayan Yesus yang benar.
Seperti apa mengasihi tanpa pamrih. Memberi tanpa berhitung. Memperhatikan dan turut prihatin tanpa perlu dipertontonkan.
Kalo ingat, cerita itu, rasanya saya kok bangsat bener ya.
iyakan pa?
Untuk kamu, siapapun kamu, yang pernah dilayani oleh papa saya,
pernah menjadi jemaatnya, pernah menjadi bagian dalam cerita pelayanannya,
Terima kasih, sudah berbagi papa saya.
Terima kasih masih mengingat cerita tentang papa saya.
Benyada Remals "dyzcabz"
Untuk kaka itu,
siapapun namanya, dimanapun dia berada,
Semoga Yesus menjagamu selalu,
memberkatimu senantiasa dan cerita hidupmu telah memberkati orang lain.
Maaf ya, atas kelancangan saya dulu.
Saya tidak perlu takut untuk berbagi papa dengan jemaatnya.
Karna pada akhirnya, papa bukan milik siapapun, selain YESUS.
saya hanya ingin menulis kisah bodoh ini, pa.
Kebaikan yang papa contohkan, selamanya hidup dan menggerakan kami.
Komentar
Posting Komentar