Sore ini, saya duduk dengan mama. Di dalam rumah ya. Bukan di 'kang bakso langganan kita. Ngga juga di Bakmi GM. Ngga juga di food courtnya mall. Di rumah aja.
Mama membicarakan tentang Pemilihan PHMJ yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Banyak yang bersaing untuk duduk di dalamnya, kenapa? Karna uangnya udah banyak. Udah banyak. Beda ketika mama baru pertama masuk. (*udahlah ya ngga perlu di sebut berapa)
Mama bercerita panjang lebar tentang beberapa orang yang datang pada mama dengan rancangan2 mereka. Ada juga yang datang membawa skenario mereka. Ada yang mengajukan calon2nya.
Gini ya... di dalam rumahnya Bapak Ihalauw ini, kami dibiasakan untuk diskusi tentang apa aja. Jadi, mama mengajukan beberapa nama untuk saya dan saya memberikan pendapat sesuai dengan kapasitas saya. Apa yang saya tau berdasarkan apa yang terjadi dan mama pernah cerita. Juga berdasar pada persinggungan sengaja maupun tidak orang itu dengan saya.
Walaupun akhirnya, mama bilang biarlah, Tuhan Yesus aja yang nanti pilihlah. Mama ngga mau menduga2.
Pembicaraan kami selesai. Mama pergi rekaman untuk ibadah keluarga rabu. Saya? Ngelonjor di kamar.
Dan lalu,
Saya "berdialog" dengan Tuhan Yesus...
Tuhan Yesus,
Saya ngga mau jadi majelis atau apapun yang menonjol di dalam gereja. Bukan karena saya tidak mampu, hanya saja, saya merasa tidak pantas. Serius. Saya merasa, seorang saya, tidak pantas untuk duduk dan melayani Tuhan Yesus sebagai majelis, pelkat2, phmj, atau apapun itu. Tapi, saya ingin menjadi orang yang selalu memberikan apa yang saya punya untuk membantu gereja. Donatur. Tanpa nama. Mungkin ini terlihat sebagai menyogok, tapi ini yang saya mampu Tuhan. Saya tidak ahli dalam alkitab bahkan membawakan firman Tuhan. Saya tau, Tuhan tidak mencari orang yang ahli. Hanya saja, saya selalu merasa tidak pantas untuk berada di dalam lingkup pelayanan.
Saya selalu merasa begitu tidak layak bahkan untuk duduk dalam perjamuan kudus. Saya berdosa. Sangat. Saya, tidak merasa pantas untuk mengajukan diri melayani sebagai majelis. Thats how i feel. Saya akan membantu pada pelayanan bakti sosial, di mana keilmuan saya bisa memuliakan Yesus. Dan selalu begitu. Baik, di gereja mama atau papa, saya dengan senang hati membantu.
Ngga tau ya, tapi saya, memang ngga pernah merasa layak untuk menjadi pelayan di gereja. Makanya, saya suka heran dan aneh melihat beberapa orang merasa pantas, hebat bahkan menghalalkan berbagai cara untuk bisa duduk menjadi majelis, ketua pelkat, phmj. Karna bagi saya, duduk memangku sebuah jabatan itu tanggung jawabnya besar. Bukan cuman, duduk buat nama besar dan di hormati aja. Bukan cuman buat tampil di acara2 besar aja. Bukan cuman maju di acara2 penting. I dont like be the spotlight.
Jadi, Tuhan Yesus... saya mohon kasih saya waktu yang panjang, sehat, kekuatan dan ilmu yang benar, agar saya bisa memuliakan Tuhan Yesus melalui pekerjaan saya. Menjadi alat yang Tuhan Yesus pakai untuk memanusiakan manusia. Menjadi berkat, di manapun Tuhan Yesus mengutus saya.
Maaf ya, bila permintaan ini menyakiti Tuhan Yesus. Tapi, saya memang tidak berani, Tuhan. Tidak berani untuk melayani dan memberanikan diri saya menjadi "sesuatu" di dalam RumahMU. Saya, tidak pantas Tuhan Yesus, dengan semua kelakuan saya, saya merasa tidak pantas. Siapa saya hingga merasa begitu layak untuk melayanimu, Tuhan. Maaf ya. Maaf ya, Tuhan Yesus.
Ini terdengar gila ya? Tolol. Bodoh.
Tapi, saya selalu melakukan "dialog" seperti ini dengan Tuhan Yesus. Kapanpun saya ingin. Dimanapun saya mau. Saya selalu memanggilNYA. Berbicara seperti ini, dua orang sahabat yang duduk bersama.
Dulu sekali, ketika saya baru pertama kali liburan ke jakarta setelah PTT. Saya menemani papa ke Petra. Saat itu sedang terjadi masalah dengan beberapa manusia laknat. Seperti biasa, pencurian di gereja. Berebut masuk phmj, ternyata papa mempertahankan PHMJ lama.
Dalam kantor papa yang berantakan dengan buku2. Saya mendengarkan papa bercerita tentang mereka. Cerita yang sama. Pemeran utama yang beda. Alasan yang selalu sama. Duit.
Dalam perjalanan pulang...
Saya : pa, saya ngga mau jadi apapun di dalam gereja.
Papa menoleh ke saya. Saya yang menyetir.
Papa : kenapa?
Saya : menjadi dokter, buat saya lebih dari cukup untuk melayani Tuhan Yesus. Saya pikir, saya ngga pantas, pa.
Papa terlihat kaget dengan kata2 saya.
...saya pikir, yang saya mau lakukan adalah menjadi donatur, pa. Saya akan membantu gereja2. Tanpa perlu di ketahui orang banyak. Saya mau nyumbang buat pembangunan gereja tapi tetep tanpa perlu di ketahui. Gapapa'kan?
Papa senyum. "Kenapa nona pikir nona ngga pantas?"
Saya menggeleng. "....saya ngga layak pa. Buat saya, memangku jabatan majelis itu harus benar2 layak menjadi contoh. Layak untuk di "gugu". Pantas untuk di hormati. Bukan cuman sebagai alat untuk harus di hormati, pa. Penghormatan ngga harus selalu di dapatkan dari banyaknya tampil di depan orang. Iyakan?"
Papa : Tuhan Yesus ngga panggil mereka yang merasa layak, non. Saulus? Yesus mengubah hati orang dengan caranya. Papa tanya, kalo suatu saat nanti, nona di pilih menjadi majelis gimana?
Saya : paaah, saya berdoa buat Tuhan Yesus. Jangan sampai ya. Saya hanya mau jadi jemaat biasa. Saya mau membantu di bidang yang saya memang mampu. Seperti baksos pengobatan, pa. Saya mau, pa. Tapi, kalo harus jadi majelis. Nggalah ya. Saya ngga siap.
Papa : kalo Tuhan Yesus mau pakai nona untuk melayani di dalam rumahnya, beliau akan siapin segala sesuatu yang nona rasa kurang. Percaya sama papa. Ingat Tuhan Yesus bilang apa buat Musa? Pergilah, Aku akan menyertaimu, mulutmu akan berkata apa yang kukatakan.
Saya : jadi donatur aja ngga boleh? Hm? Ketimbang liat hal2 yang ngga bener, pa.
Papa : nona harus bersuara untuk kebenaran. Itu tugas kita, sebagai pengikut Kristus. Keadaan boleh menggoncang kita, tapi ingat, kita tidak boleh di ubah karna goncangan. A ya A. Benar adalah benar, bagaimanapun susahnya di pertahankan, sekalipun nona harus berjalan sendiri. Tuhan menyertai kamu.
Saya : papa tau, jadi dokter itu hal paling mudah loh buat saya, pa. (*mulai mewek) bagi saya, menjadi pendeta itu adalah pekerjaan tersulit pa. Karna itu saya salut sama opa, papa dan mama. Saya bahkan ngga bisa bayangin saya di posisi kalian, pa. Jadi dokter, saya berhak memutuskan, tanpa di dikte. Saya tidak perlu menunggu keputusan siapapun. Mereka mendengar saya, pa. Tapi, pendeta? Adalah cerita lain, papa harus membaca situasi, berkompromi dengan orang yang bahkan menjelekkan papa. Papa harus bisa mendengarkan banyak orang. Papa menjadi penengah. Memang, sebagai KMJ keputusan papa di dengar, pertimbangan2 yang papa buat adalah titah tersirat. Tapi, menyenangkan banyak orang tidak segampang itu kan pa? Hm?
Papa ketawa. ....karna itu papa ngga mau kalian jadi pendeta, non. Papa tau itu berat.
Saya : amor?
Papa : si onosel itu udahlah. Papa ngga bisa bicara apa2. Papa udah keras buat dia. Nyatanya dia mau jadi pendeta. Biar di pukul, si usir, kemauannya ngga bisa di lawan. Papa bisa buat apa, kalo Tuhan Yesus mau dia jadi pelayannya?
Saya : bukannya kalian duplikat ya? Hm? Sama2 susah banget dibilangin.
Papa : itu genetik.
Saya dan papa tertawa.
Genetik.
Setau saya, yang diturunkan secara genetik itu penyakit bukan pekerjaan. Panggilan hidup.
Buat saya, panggilan hidup adalah pilihan. Mengapa bisa sama dengan orang tua? Kalo kata orang2 dulu, ada "warisan" yang di wariskan dari generasi ke generasi. Dia di turunkan melalui nazar2 yang di doakan pada Tuhan.
Kalo kata Opa Ucu, agar dari keturunan beta, ada yang mengikuti jejak sebagai Hamba Tuhan. Itulah janji untuk Tuhan Yesus. Biar beta hidup untuk menghidupkan orang lain, melalui keturunan beta, orang banya' dapa berkat dari DIA, Yang memanggil beta menjadi PelayanNYA.
Jadi, kita 3 generasi ya, amor memang belum sih. Akan. Nanti. Jadi Pendeta.
Pembicaraan tentang ini, bukan cuman dengan papa. Tapi dengan monet2 kecil juga.
Setiap kali ada masalah yang sama. Sama ya. Sama banget. Sok berkuasa karna punya uang. Sok ngatur karna keluarganya salah satu PHMJ. Sok main hakim sendiri karna udah lama jadi majelis, jadi nginjek pendeta. Ada ini. Ada banget. Merasa sok suci, karna udah berapa periode jadi majelis. Sering koreksi khotbah orang lain karna merasa lebih tau, paham, padahal sekolah teologi aja ngga. Sok tampil di depan acara2 besar, padahal kalo acara rutin ngga muncul.
Di teras rumah depok. 03.25
Amor : kadang saya heran loh sama majelis2 ini. Kenapa ya harus mencuri di dalam gereja?
Saya : makanya papa bilang cari aja yang kaya biar ngga cari makan di dalam gereja hahahahahahahaaaaa
Amor : kalo saya jadi pendeta, saya ngga akan biarin tikus2 rakus kayak mereka ada.
Saya : bapakmu juga gitu, tapi liat kan balasannya?
Eset : ngga nyuri, ngga asik, bos. Nyuri itu di gereja aja, biar ngga di apa2in. Kan hukumnya kasih. Iyakan?
Amor : kasih itu bukan cuman mengampuni. Tapi mengajar. Salah kalo berpikirnya karna kasihan jadi maafin. Kasih tidak seperti itu.
Saya : karna di gereja, kalian bisa berpakaian saleh bin bagus, pake ayat, tapi ngga kecium sama sekali kalo maling.
Amor : kalian kalo jadi majelis jangan bikin malu ya?
Eset : kaka mau ketua I ya? Iyakan?
Saya : saya ngga mau jadi apapun di dalam gereja. Saya mau jadi jemaat aja.
Amor : kenapa?
Saya : ngga pantes aja manusia kayak saya duduk melayani. Mulut saya kotor suka maki2 orang. Saya ini jahat mor. Saya ngga bisa memantaskan diri saya untuk duduk dan melayani di gereja. Saya takut.
Amor : apa sih. Ko ngga liat banyak yang cerai dan di ijinin buat melayani? Ada yang mabok2an tapi jadi pendeta loh. Papa? Ko tau papa juga kan? Urakan. Mulutnya kalo marah juga ngga ke kontrol.
Saya : saya takut mor. Saya pikir, memegang jabatan itu harus orang yang di layakkan. Enggak tau ya, tapi bagi saya, saya terlalu apa ya... saya ngga layak. Ada yang jauh lebih pantas.
Amor : Tuhan Yesus ngga pake orang yang suci, kak. Dia pake orang2 berdosa kayak ko.
Kita tertawa.
Eset : ko ngga pantas kak? Bukannya buah2 rohmu udah hampir sempurna ya?
Saya : iya, udah 7,5 lah dari yang di sebut itu.
Amor : ko gila ya?
Eset : sempurna dia ini, kaka ini andalan. Jadi ketua I lah ya? Hahahababahahahhaahhaahaa...
Ini tentang saya,
Yang selalu merasa takut menghadapi perjamuan kudus. Selalu.
Yang selalu merasa tidak layak untuk ikut duduk menikmati dan memperingati kematian Yesus.
Yang tidak merasa layak untuk membawakan Firman Tuhan.
Pernah suatu waktu dulu,
Saya diminta membawakan renungan di Ibadah Pagi di RS. Saya menolaknya. Dokter itu berkata ....lagian kamu bisa baca dari SBU aja. Kalo ngga tanya2lah sama papamu, kan dia ahlinya. Mama juga kan. Keluarga pendeta kok.
Saya : maaf dok. Kalo berdoa saya mau. Tapi membawa firman Tuhan bagi saya bukan sekedar baca saja. Bagi saya, membawakan Firman Tuhan itu bebannya besar, dok. Papa mama saya aja, sampe hari ini sebelum khotbah mereka selalu mempersiapkan dirinya. Jadi bukan hanya sekedar saja, dok. Ngga, maaf ya.
Ketika pulang dan saya ceritain buat papa. Papa ketawa.
Papa : bener, non. Membawa firman tidak seremeh yang dianggap orang. Bukan asal ngecap yang penting keliatan pintar. Ada suara kenabian yang harus di sampaikan. Ada perintah dan maunya Tuhan Yesus yang harus di beritakan. Jadi ngga boleh asal. Nona bener.
Saya : saya ngerasa itu bukan bidang saya, pa. Saya pikir, bertumbuh di dalam rumah di mana papa, mama, pemberita Firman Tuhan, membuat saya berkaca.
Papa : papa juga ngga layak.
Saya : pa, papa menjadikan teologi hidup papa. Tanpa papa sadari, dalam keseharian kita papa menanamkan itu, pa. Semua cara hidup yang papa dalami di PL, papa bawa untuk kita. Sehingga, saya tau, pendeta bukan lagi pekerjaan papa. Tapi jalan hidup yang papa pilih. Panggilan hidup papa. Papa hidup didalam teologi2 yang papa dalami.
Papa : jatuh cinta pada panggilan hidup itu penting, non. Mendalami, hingga mencintai apa yang kita kerjakan adalah bentuk ucapan syukur papa untuk Yesus. Beliau membuat papa melihat masa depan bersama kalian berempat. Panggilan hidup papa adalah melayani Yesus sampai papa kembali bersama DIA.
______________________________________________
Kenapa saya menulis ini?
Pengingat aja buat saya. Bahwa sampai hari ini, keputusan saya masih sama. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang membantu dalam pelayanan tanpa perlu di kenal.
Nyatanya, memang seperti itu. Saya selalu menyumbang, tanpa menyebut siapa saya. Di mulai dari perpuluhan tiap bulan. (*ini wajib ya.) Hingga membantu di pos pelkes dengan apa yang saya punya. (*sombong ngga sih?)
Saya sedih dan marah, melihat beberapa orang yang selalu memakai kepentingan pribadi di dalam gereja. Jangan bilang, di dalam gereja, ngga ada politik uang. Bullshit.
Mencuri di dalam gereja, apa kamu tidak lagi takut pada Tuhan, Sang Pemilik Hidup?
Mencari kedudukan, biar di kenal dan di hormati di dalam gereja, supaya apa? Apa kami tidak punya malu lagi untuk berdoa pada Tuhan?
Saya bukan manusia benar,
Saya berdosa dan bahkan tidak ada separuhnya dari Paulus.
Jangan merancangkan segala sesuatu yang jahat di dalam Rumah Tuhan,
Jangan bermegah dan memegahkan dirimu di dalam RumahNYA,
Sebab siapakah kamu, hai manusia,
Yang dariNYA, nafas hidupmu di tiupkan?
Benyada Remals "dyzcabz"
GPIB Bahtera Kasih Makassar.
Kita lagi duduk makan malam. Tiba2 papa masuk ke rumah, lalu turun dari kamar atas dengan amplop di tangannya.
Belakangan, kita baru tau...
Ada seorang majelis jemaat pernah kasih papa uang, ucapan syukurnya atas pelayanan papa.
500 ribu. Beliau, juga donatur. Dokter. Sekarang udah jadi pendeta, tapi bukan di GPIB.
Lalu, beliau merasa dan memaksa papa harus ikut maunya. Tentang beberapa hal.
Sayangnya, dia salah orang. Papa kembalikan uangnya. Hahahahahahahahahahaha....
Seperti yang saya selalu bilang, nokenya saya, tidak bisa kamu beli dengan uang. Yesus mencukupkan kami dalam segala hal.
Tau ngga, bapak itu terkejut ketika papa balikkin uangnya.
.....saya menghargai ketulusan anda, tapi kalau karna memberi lalu anda pikir, bisa menginjak kepala saya untuk mengatur saya. Ambil uangmu, saya dan keluarga hidup bukan dari pemberian manusia, tapi belas kasih Allah....
Dan, sampai hari ini,
Ajaran itu melekat erat dalam setiap langkah kami,
Contoh itu, mendewasakan jejak langkah kami, yang papa tinggalkan.
Bahwa dalam hidup kami,
Kami menemukan sosok yang patut menjadi contoh yang nyata untuk menjadi Pelayan Tuhan,
Beliau tidak sempurna, saya tau,
Namun, Yesus memakai ketidak-sempurnaannya sebagai alatnya,
Untuk memanusiakan manusia.
Dan, aku,
Aku menaruh namanya diatas kepalaku,
Penghomatan tertinggiku untuknya,
Aku membawa setiap percakapan kecil kami dalam setiap cerita hidup yang aku jalani.
Aku, Benyada, Anaknya Noke.
Anaknya papa noke, yang sayang papa sampe jantung hati ❤
Bagaimanapun hidup menggoyahkanku, pa.
Aku tau, Yesus berjalan bersamaku dan papa...
Memelukku dengan doa dari sana,
Dari tempat indah yang Yesus beri untuk papa.
Terima kasih, Nok.
Tuhan Yesus, maaf ya.
Dari saya, yang tidak pernah merasa layak dan pantas untuk menjadi pelayanMU, serta mengambil bagian dalam pelayanan di rumahMU.
Mama membicarakan tentang Pemilihan PHMJ yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Banyak yang bersaing untuk duduk di dalamnya, kenapa? Karna uangnya udah banyak. Udah banyak. Beda ketika mama baru pertama masuk. (*udahlah ya ngga perlu di sebut berapa)
Mama bercerita panjang lebar tentang beberapa orang yang datang pada mama dengan rancangan2 mereka. Ada juga yang datang membawa skenario mereka. Ada yang mengajukan calon2nya.
Gini ya... di dalam rumahnya Bapak Ihalauw ini, kami dibiasakan untuk diskusi tentang apa aja. Jadi, mama mengajukan beberapa nama untuk saya dan saya memberikan pendapat sesuai dengan kapasitas saya. Apa yang saya tau berdasarkan apa yang terjadi dan mama pernah cerita. Juga berdasar pada persinggungan sengaja maupun tidak orang itu dengan saya.
Walaupun akhirnya, mama bilang biarlah, Tuhan Yesus aja yang nanti pilihlah. Mama ngga mau menduga2.
Pembicaraan kami selesai. Mama pergi rekaman untuk ibadah keluarga rabu. Saya? Ngelonjor di kamar.
Dan lalu,
Saya "berdialog" dengan Tuhan Yesus...
Tuhan Yesus,
Saya ngga mau jadi majelis atau apapun yang menonjol di dalam gereja. Bukan karena saya tidak mampu, hanya saja, saya merasa tidak pantas. Serius. Saya merasa, seorang saya, tidak pantas untuk duduk dan melayani Tuhan Yesus sebagai majelis, pelkat2, phmj, atau apapun itu. Tapi, saya ingin menjadi orang yang selalu memberikan apa yang saya punya untuk membantu gereja. Donatur. Tanpa nama. Mungkin ini terlihat sebagai menyogok, tapi ini yang saya mampu Tuhan. Saya tidak ahli dalam alkitab bahkan membawakan firman Tuhan. Saya tau, Tuhan tidak mencari orang yang ahli. Hanya saja, saya selalu merasa tidak pantas untuk berada di dalam lingkup pelayanan.
Saya selalu merasa begitu tidak layak bahkan untuk duduk dalam perjamuan kudus. Saya berdosa. Sangat. Saya, tidak merasa pantas untuk mengajukan diri melayani sebagai majelis. Thats how i feel. Saya akan membantu pada pelayanan bakti sosial, di mana keilmuan saya bisa memuliakan Yesus. Dan selalu begitu. Baik, di gereja mama atau papa, saya dengan senang hati membantu.
Ngga tau ya, tapi saya, memang ngga pernah merasa layak untuk menjadi pelayan di gereja. Makanya, saya suka heran dan aneh melihat beberapa orang merasa pantas, hebat bahkan menghalalkan berbagai cara untuk bisa duduk menjadi majelis, ketua pelkat, phmj. Karna bagi saya, duduk memangku sebuah jabatan itu tanggung jawabnya besar. Bukan cuman, duduk buat nama besar dan di hormati aja. Bukan cuman buat tampil di acara2 besar aja. Bukan cuman maju di acara2 penting. I dont like be the spotlight.
Jadi, Tuhan Yesus... saya mohon kasih saya waktu yang panjang, sehat, kekuatan dan ilmu yang benar, agar saya bisa memuliakan Tuhan Yesus melalui pekerjaan saya. Menjadi alat yang Tuhan Yesus pakai untuk memanusiakan manusia. Menjadi berkat, di manapun Tuhan Yesus mengutus saya.
Maaf ya, bila permintaan ini menyakiti Tuhan Yesus. Tapi, saya memang tidak berani, Tuhan. Tidak berani untuk melayani dan memberanikan diri saya menjadi "sesuatu" di dalam RumahMU. Saya, tidak pantas Tuhan Yesus, dengan semua kelakuan saya, saya merasa tidak pantas. Siapa saya hingga merasa begitu layak untuk melayanimu, Tuhan. Maaf ya. Maaf ya, Tuhan Yesus.
Ini terdengar gila ya? Tolol. Bodoh.
Tapi, saya selalu melakukan "dialog" seperti ini dengan Tuhan Yesus. Kapanpun saya ingin. Dimanapun saya mau. Saya selalu memanggilNYA. Berbicara seperti ini, dua orang sahabat yang duduk bersama.
Dulu sekali, ketika saya baru pertama kali liburan ke jakarta setelah PTT. Saya menemani papa ke Petra. Saat itu sedang terjadi masalah dengan beberapa manusia laknat. Seperti biasa, pencurian di gereja. Berebut masuk phmj, ternyata papa mempertahankan PHMJ lama.
Dalam kantor papa yang berantakan dengan buku2. Saya mendengarkan papa bercerita tentang mereka. Cerita yang sama. Pemeran utama yang beda. Alasan yang selalu sama. Duit.
Dalam perjalanan pulang...
Saya : pa, saya ngga mau jadi apapun di dalam gereja.
Papa menoleh ke saya. Saya yang menyetir.
Papa : kenapa?
Saya : menjadi dokter, buat saya lebih dari cukup untuk melayani Tuhan Yesus. Saya pikir, saya ngga pantas, pa.
Papa terlihat kaget dengan kata2 saya.
...saya pikir, yang saya mau lakukan adalah menjadi donatur, pa. Saya akan membantu gereja2. Tanpa perlu di ketahui orang banyak. Saya mau nyumbang buat pembangunan gereja tapi tetep tanpa perlu di ketahui. Gapapa'kan?
Papa senyum. "Kenapa nona pikir nona ngga pantas?"
Saya menggeleng. "....saya ngga layak pa. Buat saya, memangku jabatan majelis itu harus benar2 layak menjadi contoh. Layak untuk di "gugu". Pantas untuk di hormati. Bukan cuman sebagai alat untuk harus di hormati, pa. Penghormatan ngga harus selalu di dapatkan dari banyaknya tampil di depan orang. Iyakan?"
Papa : Tuhan Yesus ngga panggil mereka yang merasa layak, non. Saulus? Yesus mengubah hati orang dengan caranya. Papa tanya, kalo suatu saat nanti, nona di pilih menjadi majelis gimana?
Saya : paaah, saya berdoa buat Tuhan Yesus. Jangan sampai ya. Saya hanya mau jadi jemaat biasa. Saya mau membantu di bidang yang saya memang mampu. Seperti baksos pengobatan, pa. Saya mau, pa. Tapi, kalo harus jadi majelis. Nggalah ya. Saya ngga siap.
Papa : kalo Tuhan Yesus mau pakai nona untuk melayani di dalam rumahnya, beliau akan siapin segala sesuatu yang nona rasa kurang. Percaya sama papa. Ingat Tuhan Yesus bilang apa buat Musa? Pergilah, Aku akan menyertaimu, mulutmu akan berkata apa yang kukatakan.
Saya : jadi donatur aja ngga boleh? Hm? Ketimbang liat hal2 yang ngga bener, pa.
Papa : nona harus bersuara untuk kebenaran. Itu tugas kita, sebagai pengikut Kristus. Keadaan boleh menggoncang kita, tapi ingat, kita tidak boleh di ubah karna goncangan. A ya A. Benar adalah benar, bagaimanapun susahnya di pertahankan, sekalipun nona harus berjalan sendiri. Tuhan menyertai kamu.
Saya : papa tau, jadi dokter itu hal paling mudah loh buat saya, pa. (*mulai mewek) bagi saya, menjadi pendeta itu adalah pekerjaan tersulit pa. Karna itu saya salut sama opa, papa dan mama. Saya bahkan ngga bisa bayangin saya di posisi kalian, pa. Jadi dokter, saya berhak memutuskan, tanpa di dikte. Saya tidak perlu menunggu keputusan siapapun. Mereka mendengar saya, pa. Tapi, pendeta? Adalah cerita lain, papa harus membaca situasi, berkompromi dengan orang yang bahkan menjelekkan papa. Papa harus bisa mendengarkan banyak orang. Papa menjadi penengah. Memang, sebagai KMJ keputusan papa di dengar, pertimbangan2 yang papa buat adalah titah tersirat. Tapi, menyenangkan banyak orang tidak segampang itu kan pa? Hm?
Papa ketawa. ....karna itu papa ngga mau kalian jadi pendeta, non. Papa tau itu berat.
Saya : amor?
Papa : si onosel itu udahlah. Papa ngga bisa bicara apa2. Papa udah keras buat dia. Nyatanya dia mau jadi pendeta. Biar di pukul, si usir, kemauannya ngga bisa di lawan. Papa bisa buat apa, kalo Tuhan Yesus mau dia jadi pelayannya?
Saya : bukannya kalian duplikat ya? Hm? Sama2 susah banget dibilangin.
Papa : itu genetik.
Saya dan papa tertawa.
Genetik.
Setau saya, yang diturunkan secara genetik itu penyakit bukan pekerjaan. Panggilan hidup.
Buat saya, panggilan hidup adalah pilihan. Mengapa bisa sama dengan orang tua? Kalo kata orang2 dulu, ada "warisan" yang di wariskan dari generasi ke generasi. Dia di turunkan melalui nazar2 yang di doakan pada Tuhan.
Kalo kata Opa Ucu, agar dari keturunan beta, ada yang mengikuti jejak sebagai Hamba Tuhan. Itulah janji untuk Tuhan Yesus. Biar beta hidup untuk menghidupkan orang lain, melalui keturunan beta, orang banya' dapa berkat dari DIA, Yang memanggil beta menjadi PelayanNYA.
Jadi, kita 3 generasi ya, amor memang belum sih. Akan. Nanti. Jadi Pendeta.
Pembicaraan tentang ini, bukan cuman dengan papa. Tapi dengan monet2 kecil juga.
Setiap kali ada masalah yang sama. Sama ya. Sama banget. Sok berkuasa karna punya uang. Sok ngatur karna keluarganya salah satu PHMJ. Sok main hakim sendiri karna udah lama jadi majelis, jadi nginjek pendeta. Ada ini. Ada banget. Merasa sok suci, karna udah berapa periode jadi majelis. Sering koreksi khotbah orang lain karna merasa lebih tau, paham, padahal sekolah teologi aja ngga. Sok tampil di depan acara2 besar, padahal kalo acara rutin ngga muncul.
Di teras rumah depok. 03.25
Amor : kadang saya heran loh sama majelis2 ini. Kenapa ya harus mencuri di dalam gereja?
Saya : makanya papa bilang cari aja yang kaya biar ngga cari makan di dalam gereja hahahahahahahaaaaa
Amor : kalo saya jadi pendeta, saya ngga akan biarin tikus2 rakus kayak mereka ada.
Saya : bapakmu juga gitu, tapi liat kan balasannya?
Eset : ngga nyuri, ngga asik, bos. Nyuri itu di gereja aja, biar ngga di apa2in. Kan hukumnya kasih. Iyakan?
Amor : kasih itu bukan cuman mengampuni. Tapi mengajar. Salah kalo berpikirnya karna kasihan jadi maafin. Kasih tidak seperti itu.
Saya : karna di gereja, kalian bisa berpakaian saleh bin bagus, pake ayat, tapi ngga kecium sama sekali kalo maling.
Amor : kalian kalo jadi majelis jangan bikin malu ya?
Eset : kaka mau ketua I ya? Iyakan?
Saya : saya ngga mau jadi apapun di dalam gereja. Saya mau jadi jemaat aja.
Amor : kenapa?
Saya : ngga pantes aja manusia kayak saya duduk melayani. Mulut saya kotor suka maki2 orang. Saya ini jahat mor. Saya ngga bisa memantaskan diri saya untuk duduk dan melayani di gereja. Saya takut.
Amor : apa sih. Ko ngga liat banyak yang cerai dan di ijinin buat melayani? Ada yang mabok2an tapi jadi pendeta loh. Papa? Ko tau papa juga kan? Urakan. Mulutnya kalo marah juga ngga ke kontrol.
Saya : saya takut mor. Saya pikir, memegang jabatan itu harus orang yang di layakkan. Enggak tau ya, tapi bagi saya, saya terlalu apa ya... saya ngga layak. Ada yang jauh lebih pantas.
Amor : Tuhan Yesus ngga pake orang yang suci, kak. Dia pake orang2 berdosa kayak ko.
Kita tertawa.
Eset : ko ngga pantas kak? Bukannya buah2 rohmu udah hampir sempurna ya?
Saya : iya, udah 7,5 lah dari yang di sebut itu.
Amor : ko gila ya?
Eset : sempurna dia ini, kaka ini andalan. Jadi ketua I lah ya? Hahahababahahahhaahhaahaa...
Ini tentang saya,
Yang selalu merasa takut menghadapi perjamuan kudus. Selalu.
Yang selalu merasa tidak layak untuk ikut duduk menikmati dan memperingati kematian Yesus.
Yang tidak merasa layak untuk membawakan Firman Tuhan.
Pernah suatu waktu dulu,
Saya diminta membawakan renungan di Ibadah Pagi di RS. Saya menolaknya. Dokter itu berkata ....lagian kamu bisa baca dari SBU aja. Kalo ngga tanya2lah sama papamu, kan dia ahlinya. Mama juga kan. Keluarga pendeta kok.
Saya : maaf dok. Kalo berdoa saya mau. Tapi membawa firman Tuhan bagi saya bukan sekedar baca saja. Bagi saya, membawakan Firman Tuhan itu bebannya besar, dok. Papa mama saya aja, sampe hari ini sebelum khotbah mereka selalu mempersiapkan dirinya. Jadi bukan hanya sekedar saja, dok. Ngga, maaf ya.
Ketika pulang dan saya ceritain buat papa. Papa ketawa.
Papa : bener, non. Membawa firman tidak seremeh yang dianggap orang. Bukan asal ngecap yang penting keliatan pintar. Ada suara kenabian yang harus di sampaikan. Ada perintah dan maunya Tuhan Yesus yang harus di beritakan. Jadi ngga boleh asal. Nona bener.
Saya : saya ngerasa itu bukan bidang saya, pa. Saya pikir, bertumbuh di dalam rumah di mana papa, mama, pemberita Firman Tuhan, membuat saya berkaca.
Papa : papa juga ngga layak.
Saya : pa, papa menjadikan teologi hidup papa. Tanpa papa sadari, dalam keseharian kita papa menanamkan itu, pa. Semua cara hidup yang papa dalami di PL, papa bawa untuk kita. Sehingga, saya tau, pendeta bukan lagi pekerjaan papa. Tapi jalan hidup yang papa pilih. Panggilan hidup papa. Papa hidup didalam teologi2 yang papa dalami.
Papa : jatuh cinta pada panggilan hidup itu penting, non. Mendalami, hingga mencintai apa yang kita kerjakan adalah bentuk ucapan syukur papa untuk Yesus. Beliau membuat papa melihat masa depan bersama kalian berempat. Panggilan hidup papa adalah melayani Yesus sampai papa kembali bersama DIA.
______________________________________________
Kenapa saya menulis ini?
Pengingat aja buat saya. Bahwa sampai hari ini, keputusan saya masih sama. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang membantu dalam pelayanan tanpa perlu di kenal.
Nyatanya, memang seperti itu. Saya selalu menyumbang, tanpa menyebut siapa saya. Di mulai dari perpuluhan tiap bulan. (*ini wajib ya.) Hingga membantu di pos pelkes dengan apa yang saya punya. (*sombong ngga sih?)
Saya sedih dan marah, melihat beberapa orang yang selalu memakai kepentingan pribadi di dalam gereja. Jangan bilang, di dalam gereja, ngga ada politik uang. Bullshit.
Mencuri di dalam gereja, apa kamu tidak lagi takut pada Tuhan, Sang Pemilik Hidup?
Mencari kedudukan, biar di kenal dan di hormati di dalam gereja, supaya apa? Apa kami tidak punya malu lagi untuk berdoa pada Tuhan?
Saya bukan manusia benar,
Saya berdosa dan bahkan tidak ada separuhnya dari Paulus.
Jangan merancangkan segala sesuatu yang jahat di dalam Rumah Tuhan,
Jangan bermegah dan memegahkan dirimu di dalam RumahNYA,
Sebab siapakah kamu, hai manusia,
Yang dariNYA, nafas hidupmu di tiupkan?
Benyada Remals "dyzcabz"
GPIB Bahtera Kasih Makassar.
Kita lagi duduk makan malam. Tiba2 papa masuk ke rumah, lalu turun dari kamar atas dengan amplop di tangannya.
Belakangan, kita baru tau...
Ada seorang majelis jemaat pernah kasih papa uang, ucapan syukurnya atas pelayanan papa.
500 ribu. Beliau, juga donatur. Dokter. Sekarang udah jadi pendeta, tapi bukan di GPIB.
Lalu, beliau merasa dan memaksa papa harus ikut maunya. Tentang beberapa hal.
Sayangnya, dia salah orang. Papa kembalikan uangnya. Hahahahahahahahahahaha....
Seperti yang saya selalu bilang, nokenya saya, tidak bisa kamu beli dengan uang. Yesus mencukupkan kami dalam segala hal.
Tau ngga, bapak itu terkejut ketika papa balikkin uangnya.
.....saya menghargai ketulusan anda, tapi kalau karna memberi lalu anda pikir, bisa menginjak kepala saya untuk mengatur saya. Ambil uangmu, saya dan keluarga hidup bukan dari pemberian manusia, tapi belas kasih Allah....
Dan, sampai hari ini,
Ajaran itu melekat erat dalam setiap langkah kami,
Contoh itu, mendewasakan jejak langkah kami, yang papa tinggalkan.
Bahwa dalam hidup kami,
Kami menemukan sosok yang patut menjadi contoh yang nyata untuk menjadi Pelayan Tuhan,
Beliau tidak sempurna, saya tau,
Namun, Yesus memakai ketidak-sempurnaannya sebagai alatnya,
Untuk memanusiakan manusia.
Dan, aku,
Aku menaruh namanya diatas kepalaku,
Penghomatan tertinggiku untuknya,
Aku membawa setiap percakapan kecil kami dalam setiap cerita hidup yang aku jalani.
Aku, Benyada, Anaknya Noke.
Anaknya papa noke, yang sayang papa sampe jantung hati ❤
Bagaimanapun hidup menggoyahkanku, pa.
Aku tau, Yesus berjalan bersamaku dan papa...
Memelukku dengan doa dari sana,
Dari tempat indah yang Yesus beri untuk papa.
Terima kasih, Nok.
Tuhan Yesus, maaf ya.
Dari saya, yang tidak pernah merasa layak dan pantas untuk menjadi pelayanMU, serta mengambil bagian dalam pelayanan di rumahMU.
Nb : kami sering berbicara seperti ini dengan papa dan mama. Sering sekali. Bukankah saya bilang diskusi adalah kewajiban dalam rumahnya Noke.
Komentar
Posting Komentar