Pa, saya kangen banget sama papa.
Ada ruang kosong yang ngga bisa di gantiin oleh siapapun, seberapa besar mereka berusaha.
Sesederhana, melihat orang lain bisa menelpon papanya dan ngadu. Lalu, saya ngga bisa. Saya ngga punya papa lagi. Saya ngga bisa manja lagi. Saya ngga bisa ngadu lagi. Saya ngga bisa nelpon beliau lagi.
Dan lalu, saya bisa menangis pa.
Hampir 2 tahun ya, pa?
Dan anak perempuan papa, masih juga sama. Cengengnya.
Maaf ya, pa.
Seharusnya saya sudah jauh lebih baik. Ive tried, pa. I do it, pa.
Tapi, ada masa di mana, kangen papa, bisa muncul tiba2 lalu saya seperti "disadarkan", papa saya ngga ada.
Dan saya tidak tau bagaimana mengontrol emosi saya. Sehebat apapun saya membujuk diri saya, menenangkan hati saya, yang saya dapati hanyalah tangis yang sulit reda.
Saya tidak melakukannya di depan orang, pa. Papa tau, saya bgitu sulit mengungkapkan rasa saya. Saya tidak bisa menangis di depan orang lain.
Mungkin dulu, saya selalu menganggap keberadaan papa hanyalah sesuatu hal yang selamanya tinggal. I take it for granted.
Semua manja, perhatian, ngomel, nasehat, saya tidak benar2 mensyukurinya sebagai sebuah momen yang suatu hari, tidak lagi saya temukan dalam hidup saya. Sehebat apapun saya mengiba, memohon, Yesus tidak mengembalikan beliau pada saya.
Pa,
Menjelang 2 tahun, namun rasanya seperti baru kemaren.
Saya, tidak sesiap itu untuk melepaskan papa.
Ada masa di mana saya begitu dewasa dan kuat menghadapi sedih dan rindu yang di hantam kenyataan bahwa papa tidak lagi di sini.
Namun, ada saat di mana saya bahkan tidak mampu menghandle diri saya sendiri. Saya tidak mampu mengatakan untuk saya, bahwa semua akan baik-baik saja. Karna saya mau dengar papa yang bilang itu. Saya mau papa yang bilang itu. Saya mau papa. Saya mau liat papa senyum dan bilang buat saya, bahwa semua akan baik2 saja.
Saat saya sadar, saya tidak akan mendapatkan momen itu lagi, saya tersentak dan menangis, pa.
Berapa banyak moment yang saya lewatin pa?
Karena saya lebih sibuk dengan teman2 saya, dengan rumah sakit, dengan semua alasan saya.
Berapa banyak momen di mana saya buat papa menunggu saya untuk pulang pa?
Namun yang papa dapati hanya rengekan saya, papa cuman senyum sambil bukain pintu pagar tanpa protes.
Berapa banyak momen yang saya tinggalin?
Lalu, ketika saya melihat momen itu pada orang lain, saya begitu marah pada diri saya.
Saya tidak pernah bersyukur dengan benar ketika saya memiliki Noke.
Yang saya lakukan hanyalah, membuat beliau sebagai sesuatu yang kadang tidak terlihat dengan baik, lalu melihatnya saat saya butuh orang yang saya tau selalu menomor satukan saya.
Bagaimana bisa, saya menjadi anak sebangsat itu kan, pa?
Saya mencari papa, bila saya butuh sesuatu. Bila saya tidak menemukan siapapun disisi saya. Bila ego saya membuat saya terantuk pada masalah yang saya buat. Bila semua menolak untuk sepakat dengan saya.
Saya lari pada papa. Seperti yang saya bilang, laki-laki tua ini, yang tidak pernah menolak saya, yang merendahkan egonya untuk kekerasan kepala saya.
Untuk saya, papa melakukan banyak hal. Dan yang saya buat? Marah. Ngambek. Menyebalkan. Merintah ini itu. Memastikan papa mengikuti maunya saya.
Entah berapa banyak moment yang terlewat,
Di mana papa butuh saya ada. Tapi saya terlambat, saya tidak datang, saya mendahulukan ego saya, saya menjawab keperluan orang lain.
Namun, setiap kali saya terlambat, papa akan selalu menerima saya, tersenyum dan memeluk saya. Bahkan tanpa maaf terucap dari saya. Papa selalu memahami saya. Beliau selalu bilang "papa tau, non." Bahkan tanpa perlu saya ucapkan.
Bagaimana saya bisa seegois itu Kan pa?
Lalu, sekarang, saat papa ngga ada...
Saya melihat momen itu pada orang lain, dan saya menangis karena iri.
Iri, karena saya tidak bisa lagi menelpon papa untuk meminta sesuatu. Tidak mungkin lagi, marah2 pada papa karena kejengkelan saya akan sesuatu. Tidak mungkin meminta papa menjemput saya, menemani saya, mengantar saya dan berdoa untuk saya.
Saya tidak lagi merengek untuk papa.
Saya tidak punya papa lagi. __________________________________________
Saya, Mbul, Nita.
Pisa Kafe.
Di seberang kami, ada sekumpulan anak2 ABG mungkin SMA atau baru lulus.
Sepertinya supir yang harusnya menjemput mereka belum juga datang. Salah satu dari mereka tiba2 menelpon ayahnya dengan suara cukup kencang, setengah berteriak...
"Papa gimana sih. Kenapa mobil belom dateng sih. Nanti aku telat ke expo. Argh!"
Dan beberapa kali, dia menelpon dengan nada dan kalimat serupa.
Mbul menatapnya dengan sebal.
"Apaan sih. Ngga mau pake TOA aja? Anak sekarang ngga ada sopannya."
Nita terbahak menatapnya. Saya? Diam.
Dulu, saya juga sering bgitu ke papa. Saya merasa segala sesuatu selalu lebih mudah karena saya punya papa.
20 menit kemudian, mereka beranjak, sepertinya mobilnya sudah datang.
"Kalo itu anak gue, udeh gue pites kali."
Saya menatap Mbul. "Selama dia masi punya ayah, dia bebas ngelakuin itu, Mbul. Akan ada kok, waktunya dia kayak gue. Ketika nelpon papa, bukan lagi suaranya yang menjawab. Saat itu mungkin aja, dia sadar, bahwa ternyata ada saat di mana, papanya berhenti menjawab telponnya."
Lalu saya beranjak ke toilet.
Iyakan, pa?
Seperti dulu, saya selalu jengkel kalo papa cerewet bertanya "nona dimana", "nona udah dimana?", "nona, sampe rumah jam berapa?", "nona, pulang jam berapa, biar papa yang buka pintu", "nona, pulang ya, jangan nginap di rumah orang.", "papa sudah tunggu di rumah ya.", "nona, su masuk tol?", "nona, ati2 ya, jangan balap."
Lalu saya? Jawabannya singkat, hm, iya, pa. Okay. Hm. Nanti aja. Iya ah cerewet betul papa. Udah, pa. Iya, papa tidur aja.
Atau, saya matiin hp'kan pa? Lalu, pas sampe rumah, papa tetap bangun untuk bukain pagarnya. Tetap papa. Jangan bangunin mama, biar mama ngga marah. Lalu, masih juga sempet untuk nanya "udah makan? Papa ada beli nona punya mcd."
Maaf pa. Maaf. Maaf ya.
Seharusnya papa punya anak perempuan yang jauh lebih baik ya?
Maaf ya, pa.
_____________________________________________
Saya yang selalu pongah akan kehebatan papa. Saya yang selalu sombong dengan berpikir, manusia sekuat ayah saya, tidak akan pergi secepat itu.
Saya yang selalu terbiasa meremehkan "keberadaan papa", dengan membuatnya terlihat begitu sepele.
Lalu, Yesus mengambil miliknya. Sebuah keputusan yang membuat saya bertekuk lutut atas semua kesombongan saya.
Saya, dan ketidakbiasaan saya seolah kehilangan arah.
Tidak ada pilihan lain, selain belajar menundukkan kepala. Belajar menghormati dan menghargai sebuah kehidupan di sekitar saya. Belajar untuk tidak bergantung pada orang lain. Belajar untuk tidak merepotkan.
Papa,
Kehilangan papa, bukan hanya menundukkan ego saya. Namun, mengajarkan saya, merendahkan hati saya, meruntuhkan sombong saya, menekukkan lutut saya bahwa saya tidak punya kuasa atas apapun. Bahkan, ketika itu tentang orang2 yang saya sayangi. Mereka bukan milik saya seutuhnya. Mereka adalah milik Yesus yang di pinjamkan untuk saya.
Saya meminjam papa. Selama ini, saya tidak menyadari itu, pa.
Papa begitu gembira bersama Yesus. Papa begitu senang untuk kembali.
Papa kembali pada yang memiliki papa. Lalu, saya? Pulang tanpa pernah kembali. Saya tau, tu rumah kita, tapi tidak lagi seperti dulu. Saya pulang pada rumah yang saya kenal, sayangnya bukan kembali seperti yang saya inginkan.
Papa, tau, betapa hancurnya saya.
Beberapa orang masih bertanya pada mama, apakah nama papa masih kita sebut? Apa kalian masih sering bicarin noke?
Salah seorang kerabat dekat Kobe yang di wawancara di salah satu stasiun TV terkenal, mengatakan...
Kita semua kehilangan Kobe. Kita menyebut2 namanya, kita mengidolakan dia. Tapi, jangan kita lupa, bagi keluarganya (*vanessa, natalia, bianca dan capri), Kobe adalah orang yang hidup dengan mereka. Orang yang selalu ada dengan mereka di setiap harinya. Mereka bangun tidur melihat ayah mereka dan saudara mereka. Hingga, saat kita menyebut2 nama Kobe terus2 menerus, kita harus menghormati privacy dari orang2 terdekatnya yang jauh lebih terpukul. Bagi kita, Kobe adalah seseorang yang kita idolakan. Namun, bagi keluarganya Kobe adalah orang yang di cintai dan kebahagiaannya mereka. Jadi saya pikir, kenangan2 yang di tampilkan mengenai Kobe sebaiknya menghormati juga privacy keluarganya. Bahkan untuk bertahun2 mendatang, kehilangan ini akan selamanya meninggalkan kesedihan yang tidak bisa di hilangkan.
Jangan bertanya hal yang kamu sudah tau jelas. Bagaimana mungkin kita berhenti membicarakan seseorang yang begitu kami cintai. Bahkan dalam alam bawah sadar kami, kami begitu ingin bertemu papa, sebentar saja.
Tentang Noke, tidak akan pernah usai. Selamanya. Tidak akan. Kerinduan saya tentang papa, selamanya akan hidup. Seterusnya akan ada.
Bagi kalian, Noke mungkin hanyalah segelintir orang yang menyentuh hidup kalian dengan caranya yang berbeda. Namun, untuk kami ber4, dialah dunia kami.
Jadi, jangan menyebutnya seolah kamu jauh lebih mengenal dia. Kamu tidak hidup dengannya. Kamu hanya tau, apa yang dia ijinkan untuk kamu tau. Namun, saya adalah bagian dari dia. Saya, anaknya. Saya hidup untuk menyaksikan semua hal yang di perbuat dan bertanggung jawab untuk hal yang tidak dia buat, namun harus di pikulnya.
Saya tidak akan menyalahkan siapapun. Hanya saja, jangan lagi menyebutnya, seolah kamu begitu akrab dengannya.
Seandainya saja, waktu boleh saya ulangi, saya ingin memonopoli seluruh waktu ayah saya.
_____________________________________________
Seperti yang saya bilang,
Ketika papa pergi, jemaat papa hanya kehilangan pendetanya, tapi kami ber4 seumur hidup kami akan kehilangan papa. Selamanya, pa.
Nyatanya, saya meminjam milik Yesus dan membaginya untuk jemaat, persekutuan dan Gereja.
Benyada Remals "dyzcabz"
Hari itu, saya jalan dengan teman2. Papa bilang om Im yang akan jemput kita di Blok M. Nyatanya, sampai jam 3 sore, Om Im ngga muncul. Dengan nada marah, galak, saya menelpon papa. Ngga aktif.
Saya dengan penuh sesal malu. Akhirnya pulang naik angkot ke Penerbitan. Sampe di sana, papa ada tamu. Tau apa yang saya buat?
Saya buka pintu, masuk, tanpa ucapin salam, trus ngamuk ke papa. Ngamuk. Papa? Kaget dan melotot. Saya? Ngamuk. Saya ngga peduli. Papa janji. Janji harus di tepati.
Di kali lain, mama pergi keluat kota. Saya jalan sama teman2. Papa telp, saya reject. Papa sms, saya ngga baca. Amor dan eset, di kosan.
Saya masuk rumah jam 22.30. Papa nonton TV sambil tiduran.
"nona ngga baca papa punya pesan?"
Saya tiduran di sofa seberangnya papa. Menggeleng.
"Papa udah makan?"
"Belom"
Saya kaget. "Papa kenapa ya belom makan....bla.....bla.....bla...." (*merepet)
"Papa tungguin nona aja. Papa ngga mau makan sendiri."
"Ayo kita berdua makan." ajak saya
____________________________________________
Setelah saya kembali dari toilet, Mbul menatap saya.
"Sorry nyed."
Saya tertawa. "Dont"
"Lo kangen bokap ya?"
"Hm. Kangen nelpon beliau. Ditelpon beliau."
"Kita selalu menghargai sesuatu, ketika harganya bukan lagi tentang jarak, tapi nafas hidup."
Nita bener kita selalu menghargai keberadaan seseorang bukan ketika masih tersentuh, justru ketika sentuhan terasa mustahil, karena jarak untuk menemuinya adalah sebuah kemustahilan.
Untuk kalian yang masih bisa memanggil papa, hargailah keberadaan mereka.
Sebab suatu waktu nanti, semesta akan mengambil mereka kembali. Bila saat itu tiba, bahkan tangismu tidak akan menghentikan apapun.
Selagi nafasnya masih ada, hargailah waktu dan momen kebersamaan kalian. Ciptakanlah momen berharga sebanyak mungkin. Karena waktu tidak menunggu, kematian adalah kepastian yang dimisterikan oleh semesta, kamu dan saya tidak tau kapan.
Jadi, selagi masih bersama, hargailah keberadaannya.
Komentar
Posting Komentar