03.30
Subuh ini, saya membuka FB papa. Setelah sekian lama, tidak dibuka. Saya membukanya hanya ketika saya ingin melihat tulisan2nya. Seperti kesepakatan kita ber4, FB papa tetap dibuka. Dibiarkan seperti sedia kala dan tidak ada yang boleh mengutak-atiknya. Itu privacy papa.
Papa sangat marah, ketika privacynya diganggu. Dan saya sangat menghormati itu. Sehingga, kami membiarkan FBnya begitu saja. Tanpa ada niat untuk menjalankannya sama sekali.
Saya cukup terkejut, melihat notifnya begitu banyak. Kiriman permintaan sebagai teman lebih dari 50 orang. (*Bahkan ketika beliau sudah meninggal, beliau masih cukup berpengaruh) Tulisan2nya yang dibagikan juga banyak. Yang masih dilike juga banyak.
Membaca tulisan di FBnya papa itu, seperti dejavu. Seperti memanggil kembali cerita lama tentang papa. Seperti kembali melihat papa duduk didepan komputernya bahkan sampe subuh. Untuk Noke, 24 Jam itu kurang. Bahkan kalo bisa 30 jam, akan dia lakukan.
Dan inbox2 berisi kerinduan sebagian jemaat akan kehadirannya. Sedih bacanya. Hanya saja, saya tidak berwenang untuk membalas apapun juga. Ataupun menambahkan apapun juga. Seperti yang saya bilang, papa paling benci barang2 pribadinya disentuh dan diubah.
Jadi, kami membiarkannya begitu.
Hanya saja, membuka dan membaca renungan papa sama seperti memeluk papa kembali. Merasakan kekuatan pikiran papa. Menghangatkan ingatan saya pada hari2 dimana saya berdebat tentang pekerjaannya yang kelewat batas. Totalitasnya tidak pernah saya ragukan. Hanya saja, kadang saya berpikir, papa lupa... Bukan hanya gereja dan umat yang membutuhkan papa, tapi kami juga sangat membutuhkan papa.
Suatu hari, saya pernah membentak papa... Ketika gulanya kambuh lalu lemas sampai hampir pingsan. Pertolongan pertama sudah diberi, saya berdiri disamping brankarnya, setengah berteriak saya berkata "Kalo papa meninggal, jemaat papa hanya bisa bilang turut berduka cita! Tapi mereka tidak akan tau rasanya kehilangan papa! Mereka akan melupakan papa hanya dalam hitungan waktu, karna akan ada pengganti papa! Tapi, saya, amor, eset, seumur hidup kita akan menangis, karna kehilangan papa! Bisa papa mengerti kenapa saya benci liat papa terlalu capek!"
Setelah itu 1 minggu lebih saya tidak berbicara dengan papa. Sama sekali tidak. Kami saling diam. Bahkan ketika duduk dimeja makanpun, saya mengabaikan papa. Saya mendiamkan papa. Saya tidak membencinya, hanya saja saya ingin papa tau, saya begitu takut kehilangan beliau. Saya marah pada papa.
Hingga 2 minggu kemudian. Mama pergi keluar kota dan kita ber2 tinggal dirumah sendiri. Itu artinya, semua obat2 papa harus saya siapkan. Dan kita ber2 harus makan diluar.
Papa pulang lebih awal dari gereja. Jam 19.00, papa udah ada dirumah. Saya sedang nonton TV.
"Non, udah makan?"
"Blom,pa. Papa udah?"
Papa duduk dikursi malasnya. Sambil menggeleng. Saya membuatkan Teh Manis Panas.
"Papa mau mandi? Saya masak air panaskah?"
"Iya,.abis itu kita makan diluar. Panggil amor dan eset"
"Sip! Obat jangan lupa!"
Sesaat saya menatap papa dan mendapati wajah ngedumel papa.
"Saya balik obat harus udah habis ya!" Ancam saya untuk papa
"Kaka ini udah lebih jahat daripada wajib militer!" Ucap papa pelan
Saya tertawa dalam hati.
Bila mengenang kejadian itu, rasanya saya tidak pernah bermimpi akan menjalani hari ini tanpa papa. Saya bahkan tidak pernah membayangkan harus belajar hidup tanpa papa.
Membuka FB papa. Melihat tulisan papa. Melihat pesan2 bergambar papa. Foto2 pelayananan papa yang di-tag oleh banyak orang. Hingga foto2 kematian papa.
Rasanya hati saya masih hancur. Papa memang mengabdikan hidupnya untuk pelayanan. Saya bangga akan hal itu. Namun, disisi lain, saya pikir, papa tidak benar2 melihat kami. Ketika papa menghabiskan waktunya untuk gereja dan pelayanan. Pernahkah papa memikirkan kesehatannya? Bilapun beliau melupakannya, bisakah beliau mengingatnya untuk kami?
Papa bilang tugasnya telah selesai dan dia ingin pulang, setelah gedung GPIB Petra Ciluar Bogor telah usai dan diresmikan. Lalu kami? Bukankah kami juga tanggung jawab papa? Bukankah kami juga harus papa perhitungkankan?
Mengantarkan kami menjadi apa yang kami cita2kan, bukan berarti papa sudah boleh kembali pada Yesus'kan,pa? Membuat kami berdiri dengan gelar yang kami inginkan, bukan berarti tugas papa pada kami selesai kan', pa?
Selamanya. Selamanya, saya akan selalu membutuhkan papa. Selamanya. Selamanya. Tidak ada waktu yang tepat untuk papa pergi. Tidak ada. Semua memang waktu Tuhan. Tuhan mengabulkan apa yang papa minta sejak lama.
Apa meninggalkan kami, terasa begitu menyenangkan',pa?
Apa kami begitu memberatkan papa?
Apa bersama kami, papa merasa jauh lebih susah, hingga pulang bersama Yesus menjadi kerinduan, papa?
Apa ketika papa menjalankan tugas papa didunia ini, papa hanya memperhitungkan gereja dan umat? Lalu kami?
Egois rasanya, bila saya mempertanyakan segala hal ini. Hanya saja, ketika saya melihat semua hal yang papa buat dan jalani. Dalam hidupnya beliau selalu mengutamakan pelayanannya. Bahkan hingga dihari2 terakhirnya, yang beliau ingat hanyalah tugas yang Yesus percayakan padanya untuk membangun gedung gereja itu. Ketika itu telah selesai, beliau meminta Yesus memanggilnya.
Boleh saya bertanya, dimana tempat kami?
Bila dalam merencanakan masa depan papa, yang papa lihat hanyalah Yesus dan pekerjaan papa demi kemuliaanNYA, lalu dimana tempat kami?
Papa bukan hanya menomorduakan kami dalam prioritas hidup, namun dalam pilihan hidup papapun. Kami menjadi tidak diperhitungkan.
Papa bilang papa akan kuat untuk kami. Papa akan melihat kami menjadi setiap cerita hidup kami. Nyatanya? Papa jauh lebih memilih kembaali pada Yesus. Hal yang bahkan tidak berani dipikirkan oleh kebanyakan orang. Kembali pada Sang Pencipta.
Jadi, papa sudah senang'kan disana?
Papa sudah tenang'kan disana?
Berbahagialah dengan Yesus yang selalu papa rindukan.
Semuanya tidak selalu baik2 saja. Namun, Yesus ada disini untuk merancangkan hal2 terbaik bagi kami
Salah satunya, mengambil kepunyaanNYA, yang dipinjamkan untuk kami. Sudah waktunya, kami mengembalikan milikNYA. Sekalipun sakit, sedih, pedih, rasanya jauh lebih baik papa berada disana. Ditempat terindah dan terbaik yang sudah Yesus sediakan.
Maaf, bila dalam proses menjadi kuat tanpa papa. Saya selalu menjadi menyebalkan. Cengeng. Sensitif. Moody parah. Bahkan skeptis.
Segalanya tidak sama,pa. Ketika saya bilang untuk papa bahwa jemaat papa hanya kehilangan pendetanya saja, itu serius. Mereka kehilangan pendeta mereka. Tapi saya, kehilangan papa saya, orang terpenting dalam hidup saya. Separuh jiwa saya. Setengah sayap saya patah.
Papa adalah paradox. Ketika papa ada, kami berbeda pendapat dalam beberapa hal. Namun,ketika beliau pergi, saya mulai memahami mengapa dia menjadi paradox bagi kami.
Papa tidak menceramahi kami tentang bagaimana menjalani hidup. Dia menjalaninya dan menunjukkan contohnya bagaimana hidup harus dijalani. Dengan berkualitas. Integritas. Loyalitas. Konsisten. Prinsipil. Tegas. Cerdas. Jujur.
Karna hidup cuman satu kali. Bila saya menjalaninya dengan baik, saya pikir satu kali sudah lebih dari cukup.
Pa, ini udah jam 05.41.
Dan saya masih menuliskan note ini, setelah membaca renungan papa. Segalanya masih sama, tidak ada yang akan kaka ubah. Semua yang papa punya, selalu mama rapikan kembaali dan taruh pada tempatnya. Seperti buku2 bacaan papa yang begitu banyak, amor bilang itu.untuk dia. Seperti yang papa mau. Bahan2 pembinaan, tulisan, bahan khotbah juga ayat2 renungan papa, semuanya sudah dirapikan. Seperti yang papa mau. Tidak dibagikan pada siapapun. Hanya dirapikan,pa.
Segala sesuatu tentang papa, selalu mengikuti apa yang papa mau.
Bila suatu hari, hidup memiliki cetakan ke 2, boleh ngga, papa mempertimbangkan kami, dalam setiap hal yang papa putuskan.
Kedewasaan kami, bukan berarti papa bisa pergi pada Yesus. Kedewasaan kami, menginginkan papa tetap ada disini untuk melihat banyak hal. Untuk menikmati banyak hal. Untuk menggenapi banyak hal.
Salah satunya, saya ingin papa ada, dihari dimana amor diteguhkan. Seperti yang papa impikan selama ini. Namun ketika papa bilang "regenerasi harus terjadi, yang tua harus pulang, supaya yang muda terbit dan menggantikan", ràsanya saya paham, bahwa jauh dilubuk hati papa, papa ingin menggenapi apa yang selama ini papa inginkan
Karna kepergiaan papa, menjawab doa papa selama ini. Amor akan menjadi seperti papa. Bila dulu, dia selalu menimbangnya, hari ini dia mantap,pa. Dia akan kembali pada cita2nya. Dia akan menjadi Noke, dalam versi yang jauh lebih baik.
Mungkin sebagian orang akan menemukan Noke dalam bentuk yang berbeda. Tapi, bagi saya...Noke adalah Noke. Papa adalah papa, orang yang bisa saya miliki dengan egois. Sedangkan Amor? Dia akan bertumbuh dan keluar, menjadi DIA yang jauh lebih hebat dari hari ini.
Semoga, ketika amor menjadi pelayan Tuhan nanti, DIA harus benar2 mengambil contoh yang benar dan baik dari para pendahulunya, Papa (*Pdt. A.R Ihalauw) dan Opa (*Pdt. Jusuf Ihalauw). Bahwa digaris keturunan Jusuf Ihalauw, pada generasi ke 3, semuanya dipersembahkan untuk menjadi Pemberita Fiman Tuhan yang hidup.
Setiap hal dibawah langit ada waktunya.
Dan Yesus akan membuat segala hal, indah pada waktunya. Iyakan, pa?
Tenang aja,pa. Saat itu akan tiba. Papa akan melihat dari atas sana. Papa akan bangga dengan Amor. Sejauh ini, segala hal yang kita lakukan untuk membanggakan papa dan memuliakan Yesus.
Kesuksessan anak adalah keberhasilan orang tua. (*A.R Ihalauw)
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar