Langsung ke konten utama

Tentang Noke #13

#flasback

Sore itu, saya sedang dikamar seperti biasa, mendengarkan music sambil menghabiskan novel baru.

Papa memanggil saya. Beliau baru pulang dari dokter langganannya. Papa menunjukkan. Obat2annya untuk saya. Saya melihatnya satu2. Jantung saya berdetak tidak karuan.

Kamu tau itu. Kamu tau benar, prognosisnya. Hanya saja, kamu tidak punya kekuatan untuk menghentikannya. Kamu menyayanginya. Kamu menginginkannya hidup disini untukmu. Hanya saja, Noke terlalu "keras" untuk dilunakkan.

Papa melihat perubahan muka saya.

"Parah ya? Papa udah parah ya?"
Saya menatapnya lekat, sambil tertawa kecil, menutupi ketakutan saya. Entahlah mungkin Noke menangkap getar takut dalam penjelasan saya.
"Iya,pa."
"Ginjal papa udah ga baguskan?"
"Papa masih mau dengar penjelasan saya?"

Papa malah tertawa. "Pada waktunya semua juga mati kok"

Seeee? Saya bahkan tidak perlu repot menjelaskan untuk kesekian kalinya. Bila pada akhirnya, papa akan mengakhirnya dengan kalimat itu.

Sore itu, papa membawa pulang 8 obaat. Furosemid. Valsartan. Amlodipin. KSR. Vitamin ginjal. Ascardia. Episan syrup. Novorapid Insulin. Dan satu lagi, Omega 3. Jadi 9 obat lah ya.

Setelah itu papa kembali ke Petra, untuk persiapan majelis jemaat. Saya duduk di teras depan. Menunggu beliau pulang. Saya berusaha menenangkan kegelisahan saya. Saya meredam kepanikan saya.

Gula menghancurkan ginjal papa. Melumpuhkan mata papa. Meruntuhkan langkah kaki papa. Bagaimana caranya menghentikan papa dari sakit gulanya? Bila dalam aliran darahnya sendiri, gulanya terlalu kuat untuk dihentikan.

Itu 9 bulan yang lalu, ketika pertama kali, saya memaksa papa, saya ngamuk untuk papa, saya menyuruh papa harus ke dokter. Lalu ternyata, fungsi ginjal papa tinggal 30%. Jantung baik. Paru baik. Mata kanan papa mulai buram. Bukan katarak, tapi pecahnya pembuluh darah mata. Akibat apa? Gula.

Semuanya karna gula. Penyakit yang diturunkan oleh genetik, namun dipicu oleh cara makan papa yang luar biasa keterlaluan. Teh Manis. Coca cola.

Sore hari lainnya. Kita ber 3 duduk di teras depan. Papa bercerita tentang keadaannya yang mulai membaik. Beliau bercerita tentang matanya yang bla....bla...bla... Tentang dokter Sp.PDnya yang ramah dan bersahabat. Tentang kakinya yang sudah tidak keram. Perutnya yang kembung sudah berkurang. Pada bulan2 itu, papa begtu patuh makan sagu, ikan bakar, dan semua hal yang rebus2an. Mama bahkan membuat semua masakan tidak memakai penyedap. Hasilnya? Fungsi ginjal papa, membaik!!!!

Papa menelpon saya, papa bercerita dengan girang, bahwa hasilnya baik. Namun, feeling saya mengatakan lain. Saya mengenal papa. Papa tidak bisa dilarang. Dan, bulan selanjutnya, papa mulai bosan dengan makanan rebus. Papa hanya makan rebusann kalo saya ada dirumah. Papa ga pake teh manis dan mau minum air putih, kalo saya ada. Kalo ngga, papa bahkan lebih galak dari dokternya! Papa menentukan dosis insulinya sendiri. (*Ngeyel kan?)

Papa selalu bilang "saya mengenal tubuh saya", sehingga papa tau, kapan dia butuh disuntik dan tidak. Papa bisa "rasa", ketika gulanya mulai naik. Walaupun gula papa, tidak pernah rendah dari 250. Kalo dibawah itu, beliau langsung lemas. Dan beberapa kali jatuh dari mimbar.

Di suatu sore yang lain, 7 bulan yang lalu, kita ber3 duduk diteras. Menikmati sore. Mama bercerita ttg jemaatnya yang menolak cuci darah. Dan tiba2 papa bilang buat saya "Papa tidak mau dicuci darahnya. Sama sekali saya tidak mau. Buat apa? Cuci darah mati, ga cuci juga mati. Jadi papa tidak mau! Kalo Tuhan Yesus mau ambil, loko ambil saja. Papa sudah siap" Mungkin, bagi sebagian orang ini sebuah candaan papa. Tapi buat saya, ini lebih terdengar seperti peringatan. Bahwa, mungkin saja waktunya sudah dekat.

Saya bilang ke papa "papa harus jelasin ke amor dan eset, kalo papa ga mau dicuci darahnya. Sebab, saya tidak mau mereka salah paham, kalo nanti saya bilang tidak cuci darah" Papa mengangguk. Pembicaraan itu selesai.

Sudah saya bilangkan, kalo papa sulit untuk dipaksa? Hari dimana papa harus kontrol papa malah pergi pimpin. Katanya itu jauh lebih penting. Dikali lain lagi, harus kontrol, papa ada pergi ke Sinode. Papa seperti menghindar. Feeling saya kian buruk. Ketakutan saya kian menjadi. Namun, bagaimana caranya memaksa, orang yang tidak bisa dipaksa? Bagaimana caranya "memperbaiki" orang, yang sudah rindu pulang?

Hingga hari itu terjadi. Mama menelpon saya, papa harus cuci darah. Seperti permintaan papa, saya menghormati papa. Namun, saya lebih mencintainya. Saya marah. Saya ngamuk ke papa. Saya menyuruh papa, harus cuci darah. Saya menginginkannya ada disini. Saya tau, harapan itu kecil. Namun, sebagai seorang dokter, saya akan tetap mengusahakannya. Keadaan papa, kritis. Papa menolak cuci darah. Saya marah! Hingga keesokkan harinya, papa melunak dan mau cuci darah. Ketika saya datang melihat papa, hati saya hancur.

Besok paginya, setelah keluar HD, papa sesak. Papa menolak oksigen. Karna bagi dia, oksigen itu bukan nafas. Beliau berkeras meminta belas kasihan Yesus, untuk nafasnya. Beliau percaya, nafas itu karna kasih Allah. Semua hanya karna belas kasihan Tuhan.

Dan, Yesus memanggilnya pulang.

Saya dokter. Saya menginginkan yang terbaik. Saya melawan keinginan papa. Papa tidak mau cuci darah. Saya memaksanya. Lalu, tubuhnya menolak. Karna tubuh memiliki "keinginann" dan "memory"nya sendirinya.

Seandainya saja, saya menyetujui untuk papa tidak di HD, bisakah papa tetap ada? Tidak. Saya hanya memperlama jarak "penantian" papa untuk pulang. Lalu, menyuruhnya HD toh beliau tetap pergi?
Ketika, harapan hidup diatas 10 %, bahkan ketika dibawah itupun, saya akan tetap memilih HD. Saya tidak akan membiarkan papa merasakan sakit yang jauh lebih panjang, dengan menunda HD, lalu racunnya sampai ke otak. Penundaan sehari saja sudah salah.

Bahkan hingga detik ini, senyum terakhir papa untuk menyambut saya datang, selalu berhasil menenangkan rasa bersalah yang hinggap karna keputusan yang saya ambil.

Bila kamu menjadi dokter, dan pasien itu bukan keluargamu, mungkin menjadi tau segalanya terlihat sangat hebat. Namun, ketika yang tergeletak disana adalah keluargamu, rasanya lebih baik tidak tau apa2. Apa hebatnya, menjadi tau, lalu tidak bisa berbuat banyak? Apa hebatnya mengetahui segalanya, namun tidak bisa membujuk semesta untuk menundanya?

Bahwa setiap hal dibawah langit ada masanya. Bahwa setiap orang memiliki waktunya.

Sama dengan Noke.

Jadi, bila ada yang bertanya "kenapa", Papa bisa pergi secepat itu?

Tidak. Papa tidak pergi dengan cepat. Beliau sudah menjalani proses demi proses dengan baik. Ini adalah stadium terminal dari Diabetes Melitus. Gagal ginjal.

Bila ada yang masih juga bertanya, kenapa Pdt. A.R Ihalauw meninggal?
Karna sakit gula yang berakhir dengan gagal ginjal.

Dan tolong, jangan lagi ada pertanyaan kenapa? Karna, segalanya sudah diatur oleh Yesus. Kenapa? Karna sudah waktu Tuhan. Bertanya Kenapa? Hanya akan memudarkan rasa syukur yang ada. Dan saya benci, pertanyaan kenapa?

Bisakah kita mempertanyakan kenapa harus papa Tuhan? Bukankah itu berarti, saya meminta orang lain yang mengganti tempat papa? Bukankah itu berarti, saya menyumpahi orang lain kehilangan miliknya?

Tidak, saya tidak senaif itu. Bahkan didalam kesedihan saya, rasa syukur saya jauh lebih besar. Didalam kehilangan, saya menemukan bagian diri saya yang hilang.

Segala peristiwa selalu bersamaan dengan hikmah.

Pesan saya, untuk semua orang yang memiliki sakit Diabetes Melitus a.k.a Kencing Manis, gula darah itu harus selalu terkontrol. Gula itu tidak sembuh, namun bisa dikontrol. Ketika Gula mu, terkontrol, tubuhmu akan jauh lebih baik. Karna sakit gula, bukan hanya tentang "nurunin gula aja", namun komplikasi yang menakutkan menanti didepan sana. Ginjal. Jantung. Mata. Pembuluh darah kecil lainnya.

Jaga gulamu, jaga makanmu, jaga pikiranmu. Maka hidupmu akan semanis gula.

Saya mengatakan ini, karna 30 tahun saya hidup dengan penderita Diabet dan 7 tahun terakhir, hidup saya melayani dan menemukan komplikasi2 dari penyakit manis itu.

Benyada Remals "dyzcabz"

Komentar

  1. Saat saya melihat papa kamu sudah tidur dengan manis dan wajah yang terlihat damai hati saya menangis karena saya tidak dapat lagi mendengar khotbahnya yang diselingi dengan lawakan lawakan yang membuat umat tertawa terbahak-bahak. Beliau pdt favorit saya karena cara khotbah beliau berbeda dengan yang lain. Umat jadi benar-benar paham dan mengerti maksud dari Firman Tuhan. Kalo pdt lain khotbahnya standar aja tapi papa kamu tidak. Lalu saya berpikir "andaikan saja beliau bukan penyuka coca cola dan teh manis" mungkin saya masih bisa mendengar khotbah beliau lebih lama lagi. Tapi apa mau dikata. Tuhan yang menentukan semuanya. Lalu saya memandang ke sekeliling gereja hati saya semakin sedih karena membayangkan betapa beratnya papa kamu mengusahakan pembangunan gereja Petra yang megah itu melawan orang orang yang tidak ingin papa kamu di Petra. Lalu saya berpikir lagi bahwa kalo bukan kekuatan doa papa dan mama kamu rasanya mustahil papa kamu bisa bertahan sampai di usia itu dengan prestasi kerja yang sangat baik dan dipuji semua orang. Saya sangat salut dengan semangat "melayani" papa kamu walaupun beliau berjalan sudah sangat lemah bahkan berkali-kali turun dari taksi hampir jatuh. Papa kamu sungguh sungguh hamba Tuhan yang diberkati. Mama kamu juga. Saya berharap mama kamu selalu sehat dan diberi panjang umur agar dapat mengantar anak anaknya sukses dalam hidup.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...