Langsung ke konten utama

sebuah kebetulan


Kebetulan, nyed. Hanya sebuah kebetulan. Beneran.

Kemaren, ada pasien poli. Masuk dengan Suspect Covid 19. Beliau punya komorbid, obes, HT, DM. Beliau belum di vaksin. Hasil PCR belum jadi. Beliau dateng ke IGD, ketika saya hampir lepas jaga.

Pasien dari Poli Paru. Pasien tampak sesak, keringat dingin, dadanya ampeg. What can i say? Cek EKG. Kasih cpg, miniaspi. EKG : Stemi Anterior, Ro : cardiomegaly, oedem pulmo, sepertinya ada juga RVH. Sebuah diagnosa banding yang mengaburkan.

Lapor DPJP. Pasien udah di guyur 250, tapi tensi makin turun. Okey, nyed... Syok Kardiogenik. Beliau mulai apatis. Mengeluh sangat kesakitan. Sementara, mau dimasukkan nitrat, tensinya rendah 85/57, HR 150, Akral dingin, ronki basah basal di kedua paru pada 1/2 lapangan paru.

Advice DPJP sudah dimasukkan. Tiba2 beliau penurunan kesadaran, beliau apneu dan arrest. Saya berlari kedalam, RJP dan siap untuk intubasi. Intubasi 4 kali gagal. RJP tetep dilanjutkan. Tetep. Pada intubasi yang kelima berhasil masuk. Epinefrin masuk per 3-5 menit. Ketika intubasi masuk, tetap tidak mengangkat saturasinya. RJP masih dilanjutkan. Kita berusaha mengembalikan beliau selama 40 menit.

Dan lalu, 14.08, saya menyatakan waktu kematian.

And then, i feel low. So low. Berasak gagal jadi nolong orang. Seharusnya saya jauh lebih aware. Pasien STEMI bukan hal baru yang saya hadapi. Bukan. Udah puluhan pasien stemi yang datang. Bangsaaat, nyeeeed. Lo ngapain aja.

Keluarga menerima dengan ikhlas. Bahkan saat dijelaskan untuk pemakaman sesuai protokol. Keluarga menerima. Beliau yang meninggal ini, tidak menikah, hidup sendiri. Hanya adek2 dan keponakannnya yang biasanya melihat beliau.

Biasanya, saya kan menelpon papa dan menangis. I know, its childish. Seharusnya ngga perlu cengeng. Hadapin aja. Namanya juga hidup, ya kan? Hanya saja, mendengarkan papa bilang "nona, ngga papa, nona sudah berusaha semampu nona" rasanya menenangkan sekali.

Bisa menyelamatkan orang disaat dia berada di "ujung hidupnya", adalah anugrah yang luar biasa.

Pulang sore itu, saya merasa "nelangsa". Sedih aja. Merasa bersalah. Seharusnya saya jauh lebih aware. Seharusnya saya bisa lebih siap. Seharusnya, saya lebih tanggap.

Beberapa orang berkata, seharusnya langsung icu aja. Pasiennya jelek kok. Biar langsung intub disana.

Saya? Kalo hanya mengoperkan sebuah tanggung jawab, rasanya gampang banget. Mau di IGD atai ICU sama aja. Yang beliau butuhkan adalah penanganan yang cepat. Masalahnya disini belum ada SpJP. Masalah lainnya, beliau suspect covid, dengan komorbid yang rentan menjadi sakit berat dan belum divaksin.

Saya pernah mendengar seorang prof bilang gini, ketika saya koass ....kamu tau pasien itu jelek. Kamu tidak mau menangani dia, karna tau kemungkinan nya hanya 5% untuk bertahan. Lalu, kamu mengoperkan dia pada orang lain dan membuat alasan pembenaran. Hanya karena kamu tidak mau dia meninggal ditanganmu. Kamu, bukan dokter. Kalo kamu dokter, gunain kemampuanmu, ilmumu digunain, supaya pasien itu tau, sekalipun tidak bisa diselamatkan. Tapi, kamu sudah "menghadapinya" dengan benar. Bukan lari dan lepas tanggung jawab. Hanya supaya, kamu terlihat benar. Tau ngga, dalam pertarungan hidup dan mati seorang pasien dan dokternya, disana ada Tuhan yang melihat.....

Dan sampai pagi ini, saya masih sedih. Masih juga ngerasa salah dan tolol. Masih juga ngerasa "lo kemaren ngapain aja, sampe skip sih".

Dari saya, yang tidak diajar untuk menyalahkan siapapun. Tidak juga diajar untuk lepas tanggung jawab. Saya menjalaninya karna tau saya mampu menyelesaikan nya. Walaupun, akhirnya bukan kemenangan yang baik.

Karna saya tau, pasien itu adalah keluarga dari seseorang. Bagian dari hidup sesorang. Setiap kali, saya tidak bisa menyelamatkannya, saya pikir saya gagal. Then, i feel so exhausted.

Papa. 🥺😞

Dan lalu, dia upload story. Hanya aja, kan udah janji ngga bakalan ngeliat. Ngga bakalan. Kebetulan yang menyenangkan kan?

Mungkin dia lagi bosen juga kali disana. Atau mgkin, entahlah. Setiap kali, saya ngerasa sebel, kesel, marah, annoyed, down atau semua hal yang ngejengkelin. Selalu, bertepatan dengan storynya. Isnt jt funny rite?

BISA KEBETULAN GITU.

Semoga aja, harinya menyenangkan disana. (*Loh)

Hahahahahahhaahahaaa... Mendoakan yang terbaik untuk orang lain, bukan sebuah dosa kan?


Benyada Remals "dyzcabz"


Ini kebetulan yang menyenangkan. Sangat menenangkan. Menemukanmu disana. Berada ditempat yang jauh, dan semoga baik2 saja disana.

Tenang, saya ngga akan ganggu kok. Seumur hidup saya, saya dilatih untuk mandiri oleh papa. Saya tidak pernah menggunakan pundak siapapun untuk bersandar dan menangis. Kecuali bahu ayah dan ibu saya.

Menjadi manja setelah marah pada diri sendiri, bukan lagi sebuah hobby yang saya jalani. Karna tempat saya manja, udah tidur dengan nyaman bersama Yesus.

Keberadaan mu, adalah cerita lain. Cerita tentang bagaimana anaknya noke, bisa begitu antusias untuk hal absurd. Padahal biasanya dia tidak begitu. Kamu adalah anomali. Stranger.


Have a good day, nyed.


Terima kasih sudah berjuang sampai terakhir. Terima kasih sudah bertahan. Ngga papa sedih. Manusia harus memiliki kepekaan. Empati.

Nyed, i love you. I do. Gimana kalo kita jalan2 ke jogja? Semarang? Atau longdrive kemanapun? 

Bersenang-senang lah, nyed. Dengan cara apapun, asalkan jangan buka storynya hahahahahahahahhaaaa.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...