Langsung ke konten utama

Tentang Noke #44 (*the elusive of me)

I miss you so bad, Nok.

Can you hear me?

Pa, saya memang serandom ini. Im not okay,pa. Seriously, im not. Better than yesterday? Nope.

Saya pergi dari kejenuhan ibukota ke pulau dewata untuk "mengaburkan" kecengengan saya tentang papa. Untuk mengembalikan apa yang hilang dalam diri saya, yang seharusnya ada,pa.

Nyatanya ditempat ini, saya justru semakin merindukan papa. Dalam sayup-sayup deburan ombak yang saya temui, papa adalah alasan terbesar sampai disini. I still miss you,pa. No one can made me feels better. No one can comfort me, nok. I repeated to you, im not okay, nok!

Diantara hijaunya desa dan pemandangan yang saya temui untuk menepi sejenak, nyatanya saya menemukan dirii saya semakin hilang dalam kerinduan tentang papa.

Dipinggiran tebing tinggi dengan deru ombak yang mengamuk, ditutup keemasan sunset didepan saya, segelas wine, tidak juga merampas ketidak-berdayaan saya tanpa papa. Sekeras apapun saya berteriak, menangis, marah, papa adalah segala hal yang terbaik didalam saya, segala yang terburuk yang selalu menjadi paradox saya, papa adalah bagian terpenting dari setiap hal yang saya tuju.

Saya mengikuti saran bijak dari orang pintar untuk "lari" dari rutinitas pada jakarta, menjauh dari "rumah", refreshing di alam terbuka, berteriak lepas, menangis sepuasnya, nyatanya... Im stuck,dad!

Bukan,pa. Saya tidak perlu menjauh dari semuanya, saya hanya perlu "ikhlas" melepaskan apa yang bukan lagi milik saya. Saya seharusnya "legowo" bahwa papa adalah berkat yang dipinjam.

Pa, sebagian diri saya belum bisa menerima itu. Sebagian yang hilang itu, dia sedang "menyembuhkan" lukanya yang paling dalam,pa. Saya berusaha,pa. Saya berusaha sekuat saya untuk bisa keluar dari ini, tapi bagaimanapun kuatnya saya, kesedihan ini tidak bisa dihilangkan dengan semudah itu.

Bukan kamu yang terluka,yed. Tapi jiwamu, karna kepergiaan papa, adalah ketidakmungkinan yang selama ini kamu pertahankan dan pamerkan. Papamu. Papamu dengan semua kekuatan, kebisaannya, kepintarannya, kehebatannya, semua hal yang membuatmu begitu mencintainya. Bagian itu, harus kamu kembalikan dengan pelan, perlahan, kamu tidak bisa memaksa "jiwa"mu untuk sembuh secepatnya. Jiwamu yang hilang itu adalah bagian terlemah yang selama ini hidup didalammu, bagian dimana semua kekuatan besarmu untuk bermimpi ada disana, dia sakit, bersama dengan hilangnya idolanya. Orang yang selalu menjadi tujuanmu untuk bekerja dua kali lebih keras dari biasanya. Kamu pintar, namun sayang.....dalam hal ini, kepintaran dan logikamu tidak dibutuhkan. Kamu harus belajar menghadapi bagian dirimu yang lain. Bagian yang kamu hilangkan setiap kali kamu berhadapan dengan kenyataan hidup saat ini. Bagian dimana ayahmu menjadi role modelnya disana. Menutupi bagian itu, bukan membuatmu kuat, kamu justru memperlihatkan betapa lemahnya kamu. Bahhkan untuk menyembuhkan bagian dirimu saja, kamu ragu untuk melakukannya.

Pa, i feel so lonesome.

Disaat2 dimana papa selalu ada dan biasanya ada, adalah hal terberat yang harus saya lalui.

Belajar untuk ujian ACLS lalu laper, biasanya papa akan masuk kamar, nanya mau makan apa. Walaupun ada masakan mama dan banyak makanan dimeja. Papa akan menawarkan saya, apa yang saya inginkan untuk menemani belajar saya. Namun ketika saya mendapati kekosongan, semuanya terasa nyeri,pa. Sangat nyeri. Bagaimana saya bisa menguatkan saya, bila dalam hal2 sesederhana itu saja, saya masih merindukan papa.

Wiper bubucaca ngeheng, nyebelin kan? Biasanya papa ada untuk memperbaiki segalanya. Selalu.

Mau pergi ujian pagi2, papa bakalan udah bangun! Nganterin ke tempat ujian. (*Nyeeeed, lo bukan anak kecil!!!!!) Lalu, berdoa untuk saya. Seeeeee, pa? Terlalu banyak hal yang membuat saya begitu sulit "mengikhlaskan" papa. Terlalu banyak cerita tentang papa yang sulit untuk saya "legowo",pa.

Dismenorhea, biasanya membuat papa selalu panik. Padahal hanya sakit biasa, yang saya lebai-lebaiin. Selalukan,pa? Tapi,papa tidak pernah mengeluhkan itu. Papa selalu siap untuk saya. "Mau makan apa ya, biar nona punya perut enak?", "Mau papa buat gimana ya?", "Kak, apa yang masih sakit? Bilang supaya papa buat apa buat nona."

Dan, selamanya, saya akan selalu kehilangan orang yang menomor-satukan saya, memanjakan saya, mencintai saya, mengerti kelebaian saya. Selamanya, selamanya... Saya kehilangan, orang yang selalu menempatkan kepentingan saya dalam prioritasnya. He's my dad.

I lost in word,pa. Dont ask why. I just cant hold on. Im lost. Maybe became a losser.

Mengembalikan saya, menjadi saya, nyatanya PR yang sangat berat,pa.

Bila kamu bertanya, apa yang membuatmu begitu berat?

Memaafkan sebagian dari diri saya untuk semua hal yang saya pikirkan tentang papa. Kemarahan saya tentang betapa baiknya dan bodohnya seorang ihalauw. Ketidaksukaan saya tentang betapa solidaritasnya ihaalauw. Kegeraman saya melihat kebesaran hati papa untuk selalu mau membantu orang. Kesombongan saya tentang betapa berpengaruhnya papa saya dalam lingkungan kerjanya. Kebodohan saya tidak benar2 memaksa papa untuk berobat dengan teratur. Kesedihan saya, bahwa seumur hidup saya, saya belum mengucapkan kata itu, "i love you,Nok", begitu banyak waktu yang terbuang dengannya, tapi kepongahan saya bahwa beliau selamanya disisi saya, membuat saya selalu melewatkan kata itu. Saya memeluknya, menciumnya, merangkulnya, menggandengnya, tapi tidak pernah terbeesit sedikitpun, bahwa suatu hari beliau akan pergi tanpa pamit. Beliau akan meninggalkan saya tanpa peringatan. Dan, saya? Sekalipun,saya tidak pernah meminta maafnya untuk setiap kenakalan, kekurang-ajaran, kesombongan, kemarahan, bentakkan, perdebatan yang saya ciptakan dengannya. Karna bagi saya, papa selalu menyediakan maaf. Papa selalu memaklumi saya, karna kami seperti cermin. Didalam saya ada papa yang hidup disana. Beliau menciptakan saya, untuk mewariskan karakternya, wataknya dan sifatnya. Sehingga setiap kali, kita beradu argument, papa selalu mengalah untuk saya.

Terakhir kali, beberapa bulan sebelum beliau pergi, kita berdebat panjang tentang sesuatu. Kebiasaan kita dirumah, bagaimanapun hebat debatnya, setelah itu semua harus kembali baik. Karna berbeda argumen bukan sebuah dosa. Beliau mendidik kami untuk mampu mempertangggung jawabkan "ego" kami dengan logika yang berimbang. Bukan hanya racauan anak manja. Hingga kami selalu mampu berbicara secara dewasa denganNya. Jangan naikkan suaramu, tapi keluarkan argumen yang mendukung. Papa selalu bilang begitu.

Selesai perdebatan panjang, kita berdua duduk nonton TV. Lalu papa bilang, "kak, yok temani papa beli kemeja dulu. Kemeja papa udah ga bagus" dan saya akan ikut bersamanya. Menemaninya, kadang malah saya yang belanja lebih banyak. He knows for sure, i adore him!

Bagi kita, papa adalah paradox! Sesuatu yang harus bisa kita kalahkan. Sesuatu yang menjadi tujuan kita untuk "lebih hebat dari dia". Sesuatu yang menggerakan "ego" kita untuk bisa membuat dia "mengakui" isi kepala kita.

Bila kamu bertanya, kenapa anak2nya Ihalauw kok sekolah terus ya, bukannya married?

Karena didalam rumah kita, papa tidak pernah bertanya, "kapan nikah?", Punya pacar ngga? Hanya itu. Tapi beliau lebih sering bertanya "jadi, gimana kapan sekolah lanjut? Kamu harus lebih hebat dari papa. Supaya dari kamu, orang mengenal saya."

Pa, im not okay. Really not okay. Everythings not fine. I just telling you. Im not okay!

Papa mau tau apa yang terjadi di Bali?

Im going with the flow. I did that. Im follow the direction whose the psychiatris gave me. But, litteraly, isnt helping! Im just me, the half of mine. I dont know how to deal with the fucking situation,dad! I just cant. Everypeople just came for an option but theres no answer. I lost me,dad. I tried so hard, seriously, ive tried. Ive tried forgiving my self, ive tried to be human, crying whenever indeed. Ive pray a lot of time, dozen time for Jesus, but i always be the same,dad.

Ive lost my self because ive tried to safe you. Ive tried so hard for letting you go. But, half of me, remain you to stay. They dont even let you go,dad. Ive broken, really is.

Somebody can get me out,please?

++++++++++++++++++++++++++++

dr. Tua ini menatap ramah pada saya. Mengetukkan jarinya pada meja. Membetulkan kacamatanya. Tersenyum penuh ketenangan.

"Yedijah, kamu kenapa?"

Saya menggeleng. Masih menatapnya.
"Saya butuh pertolongan,dok."

Beliau mengangguk. "Dari saya?"
"Saya butuh orang yang ahli untuk itu"
"Saya?"
"Dokter, orang yang tepat saya pikir"

"Bagian mana darikamu yang bisa saya bantu? Defensifmu? Kelemahanmu? Denialmu? Atau? Kekerasan kepalamu?"
Saya terdiam.

"Kamu butuh ruang untuk sendiri. Ruang untuk memahami hidupmu, setelah guncangan dasyat terjadi,nak. Kamu bukan butuh saya, kamu butuh dirimu. Dirimu yang kamu mampu mengakui kesedihanmu, yang harus menangisi sebuah kesedihan, itu yang kamu butuh. Kamu harus belajar untuk memaafkan. Dari mana? Maafkan dirimu sendiri untuk semua hal yang tidak bisa kamu tangisi."

Saya menatapnya dengan kaku.

"Tidak ada obat untuk membuat manusia menangis. Yang kamu butuhkan adalah keluar dari ruang pengap ini,nak. Jalan2lah, selesaikan masalahmu, berdamailah dengan sedihmu, jangan terlalu keras pada dirimu, ada kalanya airmata harus kamu jatuhkan, bukan untuk memamerkan kelemahanmu, tapi mematenkan rasiomu bahwa kamu masih manusia."

Saya mengangguk dan butiran bening itu menggenang dikedua mata saya. Saya tertunduk.

"Jangan mengeraskan egomu, menangislah untuk hal yang harus ditangisi. Sakitmu tidak akan berkurang hanya karena kamu menahan tangismu. Kepergian papamu adalah pukulan terberat. Semua orang akan mengalami itu. Kamu jauh lebih kuat karena kamu harus menguatkan ibu dan adik2mu. Tapi, kalau kamu terlalu kuat, kamu justru akan kehilangan jiwamu yang dulu. Papa akan jauh lebih sedih,nak. Beliau pergi, karna Tuhan memanggilnya. Kamu dan saya, sekalipun kita dokter, ilmu kita belum bisa menyanggah kemauan Tuhan."

Saya masih tertunduk. Kali ini, ada dua sungai kecil mengalir perlahan. Dan untuk pertama kalinya dalam 9 bulan terakhir, saya merasa dimengerti. Saya merasa "sedikit bernafas" didalam kelemahan saya .

"Ketika ibu saya meninggal. Saya menjauhi semua orang. Saya mengisolasi diri saya dan menguatkan diri saya. Saya belajar 2 kali lebih giat, saya mengabaikan kesedihan saya, hingga sampai disatu titik, saya menyadari. Saya butuh didengarkan. Saya butuh bercerita tentang sedihnya saya. Saya butuh dikuatkan. Dan, itu bukan dari orang2 yang dekat dengan saya. Saya butuh orang yang bisa mengerti posisi saya tanpa menjudge saya, tanpa mengaitkan saya dengan si A, B, C, saya hanya mau didengar semua kegalauan saya setelah mama pergi. Kamu tau saya kemana?"

Saya menggeleng.

"Saya pergi ke sebuah klenteng tua didaerah Pekan Baru. Disana ada orang tua yang kerjanya membersihkan tempat itu, banyak orang datang untuk berdoa disana, tapi saya tidak. Saya duduk semalaman dan menangis pada beliau. Beliau mendengarkan saya. Beliau tidak menyanggah, ataupun menambahkan, beliau hanya mendengarkan. Hingga fajar, saya merasa begitu ringan. Lalu saya pulang, dan hari itu, saya memutuskan, saya harus menjadi seorang Psikiater. Terapi supportif itu sangat amat dibutuhkan. Karena pada dasarnya, ego manusia itu adalah didengarkan tanpa jeda."

"Saya,...... .........tau, saya butuh dokter. Harus ke dokter. Bukan karena saya tidak bisa selesaiin ini sendiri. Saya tau, saya bisa. Hanya saja, saya butuh..... .....saya butuh orang diluar inner circle saya. Saya butuh bicara tanpa jeda, tanpa membangkitkan kesedihan orang lain, tanpa harus memikirkan bagaimana perasaan orang lain, saya ingin didengarkan,dok. Kepergian papa adalah syok terbesar dan terberat dalam hidup saya....... (*Menarik nafas panjang)

.........separuh diri saya, tidak bisa menerima ini,dok. Setiap kali saya menangisi papa, rindu papa, bagian diri saya yang lain hadir sebagai sesuatu yang membatasi bagian diri saya yang lain. Saya tidak boleh cengeng, saya harus kuat, saya tidak boleh lemas, masih ada mama, amor, eset yang harus saya liat. Tapi tiap kali, rindu itu datang, saya seperti orang gila,dok. Saya sulit mengontrol emosi saya. Saya sulit mendapatkan sisi waras saya,dok. Dan bagi saya, itu adalah kesalahan saya,dok. Saya membatasi diri saya untuk menikmati kesedihan saya ketika jenazah papa ada. Saya menghardik diri saya untuk tidak boleh menangis didepan orang. Saya enggan terlihat lemah. Dan, seumur hidup saya, saya tidak pernah diajarkan untuk menjadi lemah,dok. Saya harus bisa sendiri, berdiri sendiri, berjuang sendiri. Dan disinilah saya. Meminta tolong pada dokter untuk mengobati saya. Untuk membantu saya"

Beliau membiarkan saya menangis. Beliau diam dan memperhatikan saya.

"Sebelum kamu meminta pada saya, kamu sudah minta pada Tuhan,nak? Sudah menangis pada Dia Yang Memiliki hidup? Sudah kamu bertelut dan berserah pada Dia? Kamu harus menanggalkan keilmuanmu, ketika kamu memintanya turut bekerja untukmu. Saya hanya memiliki ilmu yang bisa memberikanmu kelegaan semu, tapi Tuhan, memiliki semua jawaban yang saya tidak mampu berikan sebagai seorang dokter. Bagi saya, kamu bukan perlu saya,nak. Kamu butuh Tuhan untuk mengobati kesedihanmu. Sekalipun, Tuhan mengambil milikmu yang paling berharga, kamu harus ingat, papa adalah kepunyaan Tuhan. Kamu hanyalah peminjam."

Saya masih mendengarkan beliau, lalu beliau mendengarkan saya. Hingga waktunya selesai.

Saya berjalan ke mobil. Langit jakarta sore itu, sangat teduh dan cantik, pudaran biru dibalut kemerahan sore, warna yang sempurna untuk goresan sebuah kanvas.

Saya naik kemobil, menghidupkan mesiin, termangu sesaat.

"Kamu tidak akan pernah memenangkan pertandingan ini,nak. Dengan kekuatanmu, kamu justru melukai dirimu lebih dalam. Mintalah pada Tuhan, agar lukamu, sedihmu, sakitmu, kepatah-hatianmu diobati dengan tuntas. Hanya kamu yang tau, kunci untuk menyembuhkan dirimu. Boleh bersedih, tapi jangan larut didalamnya. Boleh saja kaku berkuat, tapi jangan hilang didalamnya."

For how long, God?

Benyada Remals "dyzcabz"

Kelemahan terbesar saya adalah ketakutan saya menghadapi "kesedihan" saya sendiri. Menguatkan diri sendiri dengan menyembunyikan sebuah kesedihan bukan hal baik. Tidak selamanya benar dan baik.

Bila kamu bersedih, menangislah sepuasmu. Memang sedih tidak selalu harus ditangisi, namun airmata dihadirkan untuk membahasakan hal yang tidak sanggup diuraikan lewat kata. Bahasanya adalah isakkan.

(*Ini tentang saya, yang masih berduka atas kehilangan papa saya, masih tentang beliau yang selamanya saya rindukan.)

Saya pernah bilang ini ke papa, "bila papa meninggal, jemaat papa akan mendapatkan ganti pendeta baru, kehilangan mereka hanya sesaat. Tapi saya? Selamanya saya akan menangisi krpergiaan papa, karena seumur hidup, papa tidak akan bisa digantikan."

Komentar

  1. Yang dibilang dokter itu betul. Hanya Tuhan yang mampu menolong kamu keluar dari persoalan kamu. Setiap saat Mintalah kepada Tuhan untuk menolong kamu... pasti bisa karena ini hanya soal waktu aja... Waktu Tuhan bukan waktu kita... Yang penting tekun aja berdoa minta...pasti suatu saat kamu dapat. Masih hitungan bulan...belum lama kok... Semakin kamu menyendiri semakin kamu rindu...jadi mendingan kamu lakukan aja yang sebaliknya hindari kesendirian.... Cuma saran aja sih... Habis saya bingung... saya ngga bisa menolong kamu meski saya ingin...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...