Surabaya. 13 Maret.
Semalam, mama meminta tolong. Untuk pertama kalinya, mama benar2 serius tentang hal itu. Jarang mama minta tolong tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan "teman2 pendetanya".
Pdt. Herty Lewakabessy - Da costa telah dimuliakan oleh Yesus. Entah sakitnya apa dan bagaimana, saya tidak terlalu paham. Hanya saja, begitu tiba2 beliau pulang. Banyak yang mengatakan beliaau serangan jantung. Ada juga yang bilang bahwa sejak konven itu beliau sudah mulai mengeluhkan sesak.
Sms mama masuk PK 21.00, tanggal 12 Maret 2019. "Kak mama punya teman baik meninggal. Mama boleh minta tolong, kaka melayat kesana, sebagai wakilnya papa dan mama. Mama kenal baik dengan Pdt. Herty."
Lalu mama menelpon dengan segudang cerita nostalgia tentang beliau dengan Tante Pdt. Herty.
Sekedar Flashback, ketika konven di Bali, saya sempat bertemu beliau ditangga menuju lift. Beliau bertanya "ini anaknya Bung Noke ya?" Saya mengangguk.
Hanya itu, kenangan yang saya punya. Dan itu sekitar 2 mggu yang lalu. Hingga berita meninggalnya beliau terdengar.
Saya, sebenarnya adalah tipikal manusia yang malas mendatangi dan ikut dalam "sebuah keramaian" apalagi dalam hal pelayanan. Serius. Saya ngga tau, harus mulai dari mana kalau itu tentang hal2 rohani atau ibadah2. Hupfh.... (*Orang tua lo pendeta gituloh,nyed.)
Akhirnya, saya bilang sama Yesus, semalaman "Tuhan Yesus, besok saya mau ke Ibadah Pelepasan Tante Herty, saya ngga tau alamat pastinya, hanya berdasarkan gojek, dan informasi bahwa beliau KMJ GPIB GALILEA Surabaya. Tolong temani saya kesana, biarkan saya bisa ikut ibadah dan sampein turut berduka dari mama."
I deal with that!
Paginya, saya berangkat jam 10.20. dengan harapan tinggi, pesan gojek, duduk manis, sampe lalu ya udah selesai. Ikuti aja acaranya.
Nyatanya? Saya kesasar doooong! Ah gilaaaaak, saya pernah tinggal di Surabaya tapi itu 20 tahun lalu. Mana saya "tau" seluk beluk surabaya masa kini. Haduuuuuh.... Kesasarnya malah ke GPIB PNIEL Surabya. Untungnya, bapak gojek itu orang GKJ. Jadi, beliau dengan sabar mau bantuin nyari gerejanya. Kita ikutin petunjuk WAZE (*terima kasih ya untuk yang menciptakan waze dan mempermudah manusia2 sejenis saya yang suka ilang jalan hahahahahahahahahaaa)
Ternyata, gereja itu harus masuk dari satu pintu aja, karna itu kompleks TNI AL dan letaknya diujung surbaya, Perak. Pelabuhan. Dan puanaaseeee poooollll reeeeek. (*Dan saya jalan jam 11 siang tanpa jaket. Pinter ga tuh?)
Okeeeeh, setelah sampe (*sujud syukur) saya melihat situasinya hening. Pintu gerejanya udah ditutup. Dan ada beberapa orang yang berjaga didepan. Saya mengikuti beberapa ibu2 yang mau masuk juga dan ternyata ibadah sudah mulai. Saya duduk dan tiba2.... Kak elis memanggil saya. Kak elis ini guru sekolah minggu saya di eben haezer dulu, dan beliau sangat amat akrab dengan kita. Kita besar dengan beliau. Ketika papa meninggal, beliau datang mengungjungi kita.
Thank, Jesus. I know, its you.
Akhirnya saya pindah duduk dengan Kak Elis. Seenggaknya, saya ada temannya, punya teman ngobrolnya dan saya ngga canggung sendirian. Hupfh...
And, the time...
Ketika, selesai ibadah. Saya pikir, pasti ada penghormatan terakhir. Ada sih, hanya saja, keluarganya terutama anak2nya langsung menghampiri petinya. Anaknya memeluknya dan menangis histeris disana. Bahkan saat mau menutup peti, anak perempuannya menahan peti tu.
Dan keetika dia meneriakkan "mamaaaaaaaaaaaaa...." Airmata saya jatuh bersama dengan teriakan itu. I know how its feel. I know it so well. Saya tertunduk diantara kerumunan orang. Saya menangis. Bagaimanapun, berat rasanya melepaskan orang begitu kita cintai. Hal terberat bukan ketika jenazahnya masih ada, atau ketika ibadah penguatan maupun penghiburan, namun saat kamu rindu dan kamu tidak bisa memeluknya. Itu menyakitkan. Sangat.
Saya berjalan pelan kearah peti. Namun sepertinya saya tidak bisa melihat jenazah Tante herty. Saya hanya mengamati dari jauh. Ketika, lagu kerumah tempat yang senang dikumandangkan, lalu peti jenazah dipikul oleh para pendeta. Saya dejavu. Sayya merasa berdiri kembali ditengah ruang petra. Mengiringi papa keluar dari tempat tugasnya yang terakhir.
Sementara anak perempuannya dipapah oleh papanya menuju ambulance.
Kak elis menoleh ke saya, "wis, pas papamu, kalian ndak nangis seheboh itu yo,kak?" Saya mengangguk. "Kan udah diancam sama papa duluan."
"Kalo saya meninggal, saya tidak mau
liat kamu menangis batariak2 dipinggir peti saya, kalo sampe saya dengar, saya bangun dari peti lalu saya tampar. Kamu kayak tidak beriman, papa sudah dengan Yesus. Kamu tidak perlu merasa sedih."
How can I,dad?
Saya tertegun menatap peti yang dipikul itu dan iring2an pendeta yang mengikuti, lalu keluarga besar. Ada kesesakkan disana, ada airmata yang menyeruak dibalik kekuatan yang berusaha ditunjukkan.
Mau tau bagian yang paling menyakitkan?
Pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Pergi tanpa memeluk dan membicarakan sesuatu.
Pergi, dan tidak kembali.
Tuhan menguatkan keluarga yang berduka dan ditinggalkan. Damai sejahteranya melingkupi keluarga agar penghiburan terus dialami sampai keluarga kuat untuk menerima bahwa ini adalah bagian dari rencana Tuhan.
Tuhan yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah Tuhan.
Rest in love, Tante Pdt. Herty Hilda Lewakabessy Da costa.
Benyada Remals "dyzcabz"
Inilah pertama kalinya, saya mewakili mama dan papa untuk menghadari dukacita dari rekan sejawat mereka. Untuk pertama kalinya, saya tidak beralasan untuk mengelak.
Kehilangan ayah itu sama dengan kehilangan martabat, kehilangan ibu itu sama dengan kehilangan kasih sayang.
Home without moms, isnt home.
Papa selalu bilang "saya berdoa supaya Yesus panggil saya pulang duluan, karna saya tidak sanggup hidup tanpa Nona."
Setiap orang dibawah langit memiliki waktunya sendiri2, waktu adalah kedaulatan semesta, dan dalam kedaulatannya itu kamu dan saya berserah serta menyerahkan nafas hidup dari setiap orang yang kita cintai.
Komentar
Posting Komentar