Pagi ini, saya terbangun di kamar jaga. Mbak dapur membangunkan saya dan bertanya, sarapan apa yang saya mau.
Setelah beliau keluar, saya terduduk dengan langsit di tempat tidur.
Biasanya papa akan bertanya pada saya, pulang jam berapa?
Atau, udah mulai ribut dengan pertanyaan "anak perempuan saya pulang jam berapa?"
Lalu, sekarang?
Saya hanya menatap HP saya yang kosong. Tidak ada lagi "grumpy-man" saya yang biasanya reseeee' sepagi ini. Ngga ada lagi yang nanyain ada acara apa hari ini? Mau ikut papa? Bisa temani papa? Mau liat nona punya kebutuhan? Mau papa temani?
Dan, saya menangis lagi, pa...
Saya masih se-cengeng ini, papa.
Masih.
Setiap kali saya merasa kalah, dan saya sadar, papa tidak lagi dengan saya.
Saya selalu menemukan diri saya dalam isak tangis yang memilukan.
Saya tau ada Yesus, tidak perlu diulangi. Saya tau. Tapi, saya mau papa. Bahwa sampai detik ini, ketika saya merasa "hilang", seharusnya pelukan papa mengembalikan semua hal pada tempatnya.
Dewasa tidak pernah bisa melepaskan saya dari papa. Kadang, saya jauh, tapi setiap kali saya merasa bodoh, saya tau, ada papa yang selalu mengingatkan saya.
Sampai sebesar ini, saya tidak pernah keluar rumah tanpa "cium papa - mama", tanpa "interogasi mama", tanpa "izinnya papa", tanpa "suara berat papa tentang pulang bla....bla...", hingga hari itu, saya pulang tanpa pernah bisa mendengar kembali suara itu menegur dan memanggil saya.
_______________________________________
Taman Menteng.
Saya bertemu dengan sepupu saya. Sepupu dari papa. Erik. Kita memanggilnya Karik = ka erik.
Karik : papa udah senang, jang lai susah hati.
Saya : kenapa papa senang tapi ngga pikirin kita?
Karik : nyed, beta tau skali se sedih. Tapi beta lebe tau lai kal' se pu papa so banya' cerita par Tete Manis tagal ontua pu hidop. Om nok pili pulang par Tete Manis tagal ontua su cape, nonae.
Saya : hm? Capek? Semua hal capek yang papa buat, semuanya tentang gereja. Papa bahkan ngga mikirin saya.
Karik : se masi kacil? Se su basar, nonae. Jang biking diri macam deng kusu-kusu. Se bikin ontua diatas sedi. Beta lia se seng hidop2.
Saya : saya hidup, ka. Tapi, mungkin saya tidak bernyawa. Kalo syarat hidup adalah bernafas, maka saya ada. Tapi kalo ditambahin "bernyawa", saya tidak berjiwa. Sakit ya?
Karik : jang se saki, ana e. Kasian mama sin. Se mesti kuat buat dong tiga.
Saya : kenapa saya harus kuat? Kenapa saya ngga boleh lemah? Justru karna semua orang berharap saya kuat, pada akhirnya sayalah yang paling hancur, kak. Saya menyimpan semua hal sendiri. Kalo dulu, papa selalu ada sebagai paradox, bahwa setiap hal konyol yang sayya buat, ada papa sebagai penilai yang baik. Teman diskusi yang alot. Teman berantem yang konyol. Papa ada. Kata itu terlalu berat untuk diilangin sekarang.
Karna kalimat "tenang ada papa kok" sudah menjadi jimat terbaik dan terburuk saya. As i say, tidak ada yang mampu menngenal saya seperti diri saya sendiri dengan baik, seperti yang noke lakukan. Bahkan ketika kami bertiga, tidak bercerita untuk beliau, feeling dan insting seorang ayah, selalu membuat noke tau dengan jeli, "ada yang salah dengan kami".
Suatu waktu, ketika amor pulang ke rumah, lalu dia duduk nonton TV. Tiba2 papa panggil dia ke kamar. Cerita2 ke papa. Lalu amor tidur dipelukan papa. Tau ngga apa kalimat pertama papa "abang susah apa? Apa yang papa bisa bantu buat, nyong?" Lalu, amor bercerita sambil menangis tentang tesisnya di STF. Mau tau apa yang papa buat? Beliau memanggil saya dan cerita tentang amor.
Papa : non, pesen tiket buat kalian jalan2, amor butuh refreshing.
Saya : kemana? Saya ngga bisa kalo jauh, pa. Kan saya udah cuti kemaren.
Papa : terserah. Bawa adekmu jalan, dia susah dan jenuh. Papa ngga mau liat amor susah. Kalian bertiga pergilah.
Saya : bali?
Papa : ya udah.
Akhirnya, kita liburan 3 hari di Bali. Nusa penida. 2 tahun lalu. 17 desember.
Siapa yang paling cerewet dan panik, kalo kita belom pulang? Papa.
Siapa yang ribet dan rese kalo kita mau nginap atau hang out di luar kota dengan temen2? Papa.
Tapi, papa pergi, pa. Papa pergi. Papa yang ngga suka kalo rumah sepi tanpa kita. Papa yang kalo kangen, jam berapa pun beliau akan ke tempat kosan kita. Papa yang paling tau, kebutuhan kita, dan selalu bekerja lebih keras untuk memenuhi apa yang kita mau.
Lalu papa pergi, pa. Pergi, tanpa pernah bertanya, sudah siapkah kita, mengubah kalimat "ada papa", menjadi "tanpa papa".
Saya benci, ketika sebagian orang menasehati saya agar menguatkan hati beserta dengan ayat bla....blaaa.....
Saya tau, apa yang saya hadapi dan hidupi. Tidak perlu diatur. Biarkan saya dengan apa yang buat. Toh, saya tidak merugikan kamu dengan kehilangan papa. Toh saya yang kehilangan dan sakit. Saya.
Saya hanya butuh waktu untuk benar-benar legowo. Ikhlas. Kuat.
Saya tidak bisa menghadapi rindu yang menghantam rasio saya, bahwa luka saya tidak akan pernah hilang, karena sebagian saya tenggelam disana.
Saya tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa ingin saya terbentur pada kekosongan hadirnya, orang yang biasanya membuat saya utuh. Sebagian saya hilang bersama beliau yang pergi. Semua rasa dan jiwa yang menghidupkan hidup saya terkubur bersamanya.
Memanggilnya pulang, bukanlah perkara mudah.
Karna dalam bawah sadar saya, sakit itu nyata, ketakutan terbesar saya terkubur disana, terlelap bersama yang telah tertidur, memulangkannya disini membutuhkannya keberanian saya menghadapi saya.
Yang menyakitkan dari seluruh cerita ini, adalah bagian di mana saya menghidupi bagian yang paling tidak saya inginkan. Bahwa gerakan yang saya buat hanya rutinitas kosong. Semua nasehat, semua masukan, hingga paksaan saya ikuti.
Pada akhirnya, "battle" yang saya hadapi bukanlah untuk memenangkan bagian itu. Namun, untuk membiarkan saya memaafkan saya untuk menempatkan kembali kepingan itu pada tempatnya semula.
Memaafkan saya yang hilang. Memulangkannya pada saya.
Mengembalikan saya,
Menemukan kembali potongan yang hilang.
Setiap kali, bagian itu kembali,
Saya, saya tidak sanggup menghadapinya.
Karna disana, ada marah yang tidak bisa saya redakan. Ada luka yang belum berani saya hadapi. Ada sakit, yang sampai detik ini, belum mampu saya sembuhkan.
Judge me as you know.
Dan pagi ini, bagian itu menghampiri sadar saya. Membawa nelangsa yang sulit saya hindari. Mendatangkan rindu dan marah sekaligus. Karna pada kenyataannya, bagian saya yang ini, tidak menemukan caranya untuk kembali, tanpa memanggil nama papanya.
Bagian yang pergi itu, adalah saya, yedi, kukang, nyed, kakak, dan nonanya papa noke.
Bagian yang belum kembali itu, adalah cerita terpahit yang harus saya hadapi.
Mungkin nanti, bila saya siap.
Benyada Remals "dyzcabz"
I know, pa.
Ini bukan sesuatu yang baik.
Namun, kepergian papa,
Mencabut seluruh kebaikkan, keberanian, kegilaan, hingga meninggalkan saya dalam sebuah tanya yang sedang saya perjuangkan.
Seperti yang kaka bilang buat papa,
Mempelajari kembali adalah sesuatu yang sulit.
(*Noke : sulit bukan berarti berenti mencoba lalu membuatnya terdengar sebagai alasan 'kan?)
Komentar
Posting Komentar