Bulan depan, pa.
Kita akan mengantarkan abu papa. Tidur di tempat yang papa mau, sesuai dengan keinginan papa. Ambon. Laut Ambon.
17 bulan tanpa papa.
Saya penghitung waktu yang baik ya, pa?
Mungkin tepatnya 16 bulan 17 hari, tanpa papa.
I miss you, noke. I do miss you. I still miss you.
I just miss you, dad.
Saya kangen, duduk makan mangga berdua papa di teras. Saya kangen, buatin teh manis papa, walaupun sambil ngedumel sebel. Saya kangen, nemenin papa beli anggrek atau tanduk rusa, atau pakis. Saya kangen, ke mcd malem2 hanya untuk beli french fries and mc sundae berdua dengan papa.
Hal-hal sekecil itu pa, membuat saya sulit untuk tidak menangisi kepergian papa. Rasanya selama papa bernafas, saya tidak menggunakan waktu dengan baik untuk menemani papa.
Papa selalu ada buat saya. Semarah apapun saya. Secapek apapun papa. Bila itu tentang saya, papa tidak pernah protes.
Saya kangen, pa. Bisa balik sebentar aja ngga disini? Sebentar aja. Sebentar.
Beberapa hari yang lalu, saya mampir ke McD Sarinah, sepi. Saya hanya membeli "pesanan wajib" kita, pa. Lalu duduk pada sudut itu. Menatap lalu lintas jakarta yang mulai lengang.
Lalu, saya sadar, terakhir kita berdua duduk disini, sudah sangat lama, ketika papa pulang dari Kantor Sinode, lalu saya menjemput beliau, "papa lapar, non."
Saya "ke mcd dulu lah ya?"
Papa "mama masak di rumah?"
Saya "pastilah"
Papa "kalo gitu kita makan kentang aja. Biar nanti makan lagi di rumah"
Saya tertawa "alesaaaan banget, pa! Bilang aja mau makan lagi. Kenapa ngga sekalian aja sih makan disini."
Papa "jangan, mama udah masak. Kasian. Papa lebih suka makan di rumah"
Itu terakhir kali pa. Sudah lama sekali, kita tidak lagi jalan berdua. Papa jauh lebih sibuk, saya jauh lebih banyak di RS.
Hanya rutinitas Teh sore di teras kita, yang jarang terlewatkan.
Ah, papa...
Rasanya, setiap kali saya masuk rumah, saya ingin melihat papa duduk di sana, di tempat biasa itu, di terasnya papa...
Menemukan kembali apa yang telah pergi, sama dengan memaafkan kembali diri saya yang lain.
Karna yang telah pergi bersama laki-laki tua yang sangat saya cintai itu,
Bukan hanya diri saya yang separuh itu,
Namun semua kebaikkan, keramah-tamahan, kegilaan, dan semua hal terbaik yang pernah saya miliki bersama Noke.
Kehilangan noke bukan hanya menampar jatuh keangkuhan saya, namun mematikan sistem limbik saya, membuat amigdala saya membeku, hingga menjadi penumbra yang sulit untuk dikembalikan.
Mungkin ini terdengar mengerikan bagi beberapa orang, mungkin juga terlalu berlebihan bagi sebagian,
Bukankah kematian sebuah kepastian dalam penantian dan perjalanan hidup?
Lalu, mengapa kematian bisa merengut hidup yang masih layak di jalani? Mengapa kehilangan seolah meruntuhkan jiwa yang seharusnya bernyawa?
Bila tanyamu dapat kujawab dengan mudah. Aku tidak mungkin ada pada sebuah cerita yang memilukan ini.
Kehilangan tidak pernah semudah itu.
Meninggalkan lalu merelakan, mengikhlas dan bersyukur, tabah dan kuat, melepaskan, karena tau bahwa beliau pergi ke tempat yang senang, tidak segampang itu.
Anggaplah saya, selalu mencari alasan untuk menjadi cengeng, atau mengulur waktu untuk menemukan yang hilang.
Nyatanya, setiap kali, saya menemukan diri saya kembali, pada saat yang sama, saya menemukan diri saya dalam histeria yang tidak pernah berujung.
Katakanlah saya sakit, kesakitan terbesar saya adalah kegagalan saya menyelamatkan ayah saya.
Dan untuk sakit yang sebesar itu, hanya maaf dari noke yang bisa mengembalikan saya.
Bukankah saya pernah bilang, bahkan ketika saya menyelamatkan orang lain, justru saya semakin hilang dalam lautan penyesalan.
Bila hidup harus di jalani, saya sudah dan akan terus melakukannya. Bila hidup harus dimaknai, tolong beri saya waktu.
Meminta ampun pada Yesus, atas kelalaian saya atas papa, selalu saya lakukan.
Namun, yedynya papa yang dulu, terlalu keras untuk dipanggil pulang.
Baik2 diatas sana, pa.
Selamanya papa akan selalu dirindukan.
Seperti janji saya untuk papa,
Semua akan selalu baik-baik saja.
(*kecuali saya, pa)
Benyada Remals "dyzcabz"
Saya ke RS naik taxi, setelah turun di depan UGD, saya berjalan masuk. Ada dua orang bidan memanggil saya.
Bidan 1: dok, jaga sore?
Saya mengangguk.
Bidan 2 : dianter sama Oomnya ya?
Saya menggeleng. "Oom? Oom yang mana?"
Bidan 1 : yang duduk didepan tadi.
Bidan 2 : mukanya mirip dokter,
Saya terdiam. Berpikir bentar. "Mirip saya? Saya sendiri kok."
Bidan 2 : loh seriusan dok. Tadi ada oom2 kita liat duduk disampingnya supir. Mirip dokter.
Saya tersenyum lalu berjalan masuk.
Di kamar jaga, saya duduk sambil tersenyum.
Terima kasih, papa. Saya tau, papa selalu ada disini untuk saya.
Maaf, karena sejauh apapun papa pergi, nama papa selalu saya teriakkan. Selalu saya sebut, selalu saya panggil, ketika semua terlihat tidak baik-baik saja untuk saya.
Karena hanya papa, yang selalu memenangkan ego saya, tanpa perlu maaf terucap dari saya.
Terima kasih sudah dan selalu menjadi papanya saya, selamanya.
Komentar
Posting Komentar