Mengenang itu menyenangkan.
Dari aku,
Aku yang tegak didepanmu, namun tidak bergerak menggapaimu.
Aku tidak tau, apa yang sedang dirancang oleh semesta.
Yang aku inginkan, kamu bahagia. Itu saja.
Bahkan rindu yang mengintippun, aku haramkan untuk ada.
Aku mengerti, kamu harus melanjutkan ceritamu.
Orang bilang, rasa yang belum pudar, selalu menahan cerita diseberang sana untuk terbang.
Aku menghilangkan segala rasa tentangmu.
Meletakkan ceritamu, pada sebuah kotak hitam yang aku lempar disudut terjauh hatiku.
Tidak untuk diingat lagi. Tidak untuk dibuka kembali. Bahkan tidak untuk disentuh.
Mendung yang terlihat, melukis gurat gelisah diwajahmu.
Kita duduk dalam sebuah tempat dimana, cerita itu pernah dilewati disini.
Kebisingan yang beranjak reda, hilir mudik yang kian lengang.
Kita, pada sudut ruangan. Dibawah lampu tua yang biasanya bergoyang, setiap kali derit pintu terbuka.
Berapa lama, kita saling mengasingkan? Bahkan anginpun, enggan meniupkan namamu, serta ceritamu padaku. Ah, aku yang terlalu pongah untuk mau mendengar. Aku yang menyibukkan diriku dengan cerita yang lain. Bukankah sudah kubilang, kamu adalah kotak hitam yang tidak ingin kusentuh?
Kamu masih sperti hari yang lalu. Tidakkah kamu harus merubah gaya rambutmu? Caramu duduk? Caramu bersandar? Caramu memegang cangkir? Caramu "memandang" sesuatu?
Kamu masih saja mengentukkan telunjukmu, disudut meja disetiap kamu memulai sebuah pembicaraan. Masih saja menunduk dan menghindari tatapan mata, bila sedang bertanya. Ice Coffee. Disertai 2 panekuk isi sayur. Astaga, kamu benar-benar tau bagaimana "menjaga tradisi", disertai sambal kacangnya. Pada potongan ke 2, kamu akan berhenti. Kepedasan. Menaruh salah satu potongan es didalam sambalnya, mengaduknya. Katamu, pedasnya berkurang. Entah teori ajaib darimana yang selalu kamu lakukan.
Ah, aku lupa. Kamu akan selalu berusaha menegakkan sandaranmu. Memperbaiki cangkirmu. Mengatur segala perabotan diatas meja. Menggeser bangkumu agar selaras. Kamu hanya menatapku, saat aku tidak sedang melihatmu. Ya, saat kita tidak sedang terlibat dalam sebuah percakapan. Entah bagaimana kamu selalu enggan menatapku. Jarang. Kecuali, saat kamu menahanku untuk pergi.
Lihatlah, laki-laki yang duduk didepanku adalah kamu dimasa lalu. Laki-laki yang pernah, membuatku gila. Kegilaan masa muda, tentang pangeran impian. Warna warni dunia remaja, pada kata cinta monyet. Cinta pertama? Kamu, iya...kamu. Kamu yang mengenalkan aku pada RASA. Pada selera yang akhirnya aku tau, setiap orang punya rasa yang berbeda. Tergantung selera mana yang mereka mau. Dulu, kamu adalah favoriteku. Mimpi tentang masa depan, saat itu... adalah kamu dan menjadi arsitek.
Aku cuman rindu. Aku tidak jujur mengucapnya, aku hanya membisikkannya pada angin. Terkadang, aku memendamnya dalam diam. Meluruhkannya dibagian terjauh dan terdalam hatiku. Bukankah, sudah kubilang...aku tidak berniat menyentuh cerita kita. Kita adalah cerita dulu. Tidak untuk diulang, hanya saja memory punya cara untuk membangkitkan "rasa ingin tau" yang telah lama terkubur. Lalu, semesta punya skenario yang sulit dibantah.
Kita disini. Mengulang salah satu sketsa lama yang terjamah. Merunut ulang penggalan nostalgi yang tertinggal. Kediamanmu diseberang sana, serta kebingunganku disudut lain. Membuat "diam" menjadi latar yang menemani kita sore itu.
"Apa kabar,dy?" ucapmu pelan, terbata, tidak menatapku. Seperti inikan. Caramu?
"Baik. Lo?"
LO, aku menekankan kata itu dengan tegas. Untuk menegaskan kembali, bahwa kita sudah berjarak. Kita sudah bersebrangan. Kita bukan untuk mengembalikan yang sudah terlewatkan. Kita hanya pernah kenal, pernah terlibat cinta monyet, pernah setuju untuk saling memiliki. Lalu, pergi karna sadar, yang dimiliki masih memiliki banyak impian yang menunggu.
"Beginilah. Kerja. Jalan2. Pulang. Kenapa lo bisa disini,dy?"
"Kebetulan mampir."
"Kebetulan? Sejak kapan kata itu ada dikamusmu,dy?"
Aku tersenyum mendengarnya.
"Lo sendiri? Nunggu orang disini? Atau? Janjian sama cewe lo"
Dia tertawa. Aku menatapnya. Cara tertawanya, cara yang dulu pernah aku nikmati. Dia selalu tau caranya menertawakan hidup dan cobaannya. Dia selalu bisa berpikir positif disaat hidup memberikan alasan untuk berpikir negatif.
"Pengen kesini aja." ucapnya sambil menaruh pecahan es kedalam sambalnya.
"Gimana kabarnya ****?"
Dia menatapku. "Udah mau married."
"Dengan lo?" pertanyaan bodoh disaat yang konyolkan? Dan itu datang dari mulut saya.
"Kalo kita mau nikah, g ga bakalan duduk disini. Ga akan mampir untuk nenangin diri disini."
"Sorry."
"Gapapa. Udah lewat. Setiap yang lewat, udah ga perlu dibahas. Kecuali, yang lewat dijadikan yang tidak akan dilewatkan lagi." candanya
"Tempat ini masih sama. Lo sering kesini?"
"Karna dia masih sama, makanya gue betah kesini. G hanya perlu duduk disini, lalu menemukan bahwa segalanya masih sama. Kecuali lalu lalang orang disini. Dan siapa yang duduk diseberang gue."
"G mau jemput eset. Dan g leewat sini. Eh, ngeliat tempat ini, cukuplah waktu untuk sekedar minum frapucino nya. Sambil menikmati suasana sore yang jarang banget ga macet "
"Kapan lo balik kesini?"
"Tahun lalu"
"Sorry g ga sempet dteng pas eset kecelakaan"
"Gapapa. Sudah didoakan, tanpa dilihatpun. Sudah lebih dari cukup."
"Ibu sering nanyain lo. Terakhir pas anak2 dtang, mereka nyebut lo dan gimana kerjaan lo sekarang. Ibu kangen katanya. Ga berarti apapun. Ibu hanya kangen sama temen baik anaknya. Sekali-kali, datanglah ke kios ibu. Sampe hari ini, Ibu masih inget apa aja pesanan lo kalo mau makan gado-gadonya."
"Pake jagung juga, sambelnya 4 buah, pake telor 2." aku tertawa. Ibu. Ibunya salah satu wanita hebat yang aku kagumi. Pejuang hidup. Pahlawan. Seorang perempuan dengan tekad yang kuat. Selalu tersenyum menghadapi segala hal.
"Okeh, g cabut duluan. 15 menit lagi, eset selesai. G ga mau dia ngomel."
"Hati-hati,dy"
"G traktir. G duluan ya. Salam buat ibu. Nanti g dateng kesana."
Dia mengikutiku berjalan keluar. Menikmati langit senja jakarta. Kendaraan hilir mudik namun tidak macet. Tidak stag pada satu titik. Aku berjalan kearah mobilku. Dia masih menatapku dari depan cafe ini.
Lalu kami berpisah. Entah bagaimana dia pulang. Aku bahkan tidak ingin memikirkannya. Yang lewat, ya sudah berlalu.
Nostalgia. Hanya sebuah kenangan. Duduk bersama seseorang yang pernah saya miliki. Menikmati kembali suasana yang sudah lama tidak tersentuh. Menghangatkan ruang-ruang kenangan. Tidak memanaskan untuk mengulangnya. Hanya mengingat. Dulu pernah ada cerita dengannya.
Hidup berjalannya maju, bukan mundur.
Bahkan ketika ada putaran balikpun, arahnya tetap maju kedepan.
Bila anda berpikir, saya mungkin saja mengulangi kisah ini. Anda salah. Saya hanya menengok kebelakang sana, apa yang pernah saya lewatkan. Saya tidak tergerak untuk kembali. Karna, ceritanya sudah berbeda. Dia sudah memiliki kisahnya sendiri. Kami hanya dipertemukan secara "tidak sengaja", disuatu tempat yang pernah kami datangi dengan sengaja.
Kenangan tidak pernah salah. Kenangan membuat kita sadar, dulu kita pernah ada disuatu masa dan tempat yang sama.
Untukmu, yang pernah ada disini.
Berbahagialah dengan segala hal yang kamu impikan.
Berbahagialah dengan setiap hal yang kamu inginkan.
Semoga Tuhan mendengarkan, apa yang kamu inginkan.
Berbahagialah dengan caramu...
Benyada Remals "dyzcabz"
17.20
Langit senja Jakarta, masih seindah 12 tahun lalu.
Saat kita berhenti, untuk menikmati secangkir kopi hangat sehabis sekolah.
Komentar
Posting Komentar