Langsung ke konten utama

PERceraiAN

 

PER-cerai-AN

First of June...


and...i feel so low.

Saya bangun pagi ini, karna mengikuti upacara virtual Hari Lahirnya Pancasila. Sebuah kewajiban yang harus dijalankan, karena nanti akan ada laporan ke atasan. 

Setelah itu, saya termenung, mengingat pembicaraan saya, ehmm....obrolan santai bin bodoh dengan sahabat saya. beberapa dari mereka memutuskan untuk berpisah. Shock? Ngga sih. Karna dalam perjalanannya, saya tau, walau kurang paham, tentang perselisihan yang terjadi. Tentang cerita perselingkuhan yang tedengar. Tentang cerita mengenai bertahan dan mempertahankan hingga akhirnya perpisahan ini menjadi jawaban.


Orang luar tidak pernah tau, apa permasalahan yang dihadapi dan dihidupi. Mereka hanya menilai dan berkomentar sebatas apa yang mereka lihat. Mereka menilai seenaknya. Berbicara seolah mengerti apa yang di alami oleh pasangan itu.

Saya pun, tidak berhak untuk berbicara atau menulis tentang perceraian, kenapa? Saya tidak mengalaminya, dan tidak berharap akan mengalaminya. Memang, untuk membicarakan sesuatu dalam bentuk tulisan tidak selalu harus mengalaminya. Bisa saja dari reseacrh yang dilakukan atau wawancara dan sebagainyalah. 

Hanya saja, saya tertarik untuk menulis tentang hal ini. Karna, saya melihat beberapa sahabat baik saya mengalaminya, baik itu proses kearah sana, ataupun sudah sah pisah.

Ketika saya bilang, menikah bukan sebuah hal yang "sepele", saya serius tentang hal itu. Pernikahan tidak pernah menjadi "hal sederhana" dipandang dalam sudut pandang manapun itu. Sehingga, saat ada yang berbicara "menikah kan ibadah" atau "menikah aja dulu rejekinya pasti ada nanti", entah kenapa... hal ini tidak masuk dalam logika dan pertimbangan saya. Ini pendapat pribadi saya. 

Kenapa saya bilang, menikah bukan sebuah hal sederhana? Karna dalam menjalani pernikahan, segala hal tidak bisa dilihat dengan sederhana. Kata "menikah adalah ibadah", tidak lagi teringat saat EGOmu beradu dan EMOSImu tersulut. Hingga akal sehatmu mati. Tag-line itu tidak akan lagi kamu perjuangkan, saat kamu merasa sendiri dalam pernikahan yang seharusnya berdua. Saat, pasanganmu tidak lagi berjuang untuk mengembalikan pernikahan kalian "on the track" dan meninggalkanmu menyelesaikan semuanya sendiri, bukankah saat itu "maaf"mu harusnya lebih besar dari egomu?

Pertanyaannya bukan bisa atau ngga, MAU atau TIDAK?

Kamu yang memutuskan semua hal yang sudah kamu jalani bersama.  Pantaskah kamu menyerah dengan keadaan? Saya ngga punya jawabanya, karna ketika saya bilang "nggalah" atau "gitu aja nyerah", saya sudah menghakimi orang lain.

Sekali lagi saya bilang, tulisan ini. Hanya sebuah pemikiran saya, tentang kejadian perceraian disekitar saya. Dengan beragam permasalahan yang dihadapi.

Seorang tante saya pernah bilang gini, ketika saya SMP, "Menikah bukan karena sudah berumur, menikah karena kaka sudah siap." Umur sekecil itu saya tidak mengerti arti kata "siap" yang dibicarakan sebagian orang pada masa itu. Nyatanya dalam perjalanan waktu, saat dewasaan menyapa saya, saya memahami bahwa SIAP yang dulu dibicarakan oleh tante saya adalah MENTAL. Materi juga? Yup. Karena pada sebagian kasus, ekonomi menjadi masalah utama. Si suami ngga kerja, males-malesan, kerjanya ngamuk tiap hari, sedangkan si istri yang kerja banting tulang. Setidaknya, saat salah satu dari kalian bekerja segila itu, yang satunya bisalah mengimbangi dengan memastikan keadaan rumah dan anak2 baik2 saja. Bukankah, pernikahan itu berdua ya? Bukan hanya berjuang sendiri dan hancur dalam kesendirian? Namun didepan khalayak, kamu harus menegakkan mukamu, agar sedihmu tidak terbaca dan tangismu tidak terdengar. Iyakan?

Berapa banyak orang, yang melakukan ini, demi mempertahankan apa yang sudah hancur bahkan sedari awalnya?

Sedih ya, bacanya? SUDAH HANCUR SEDARI AWAL... 

Seorang pernah berkata pada saya, saat saya menghadiri pernikahan  dari salah seorang anak pendeta "menikah hanya menarik di awal, tapi selanjutnya, kamu harus menerima setiap kejutan didalamnya. Ternyata, kamu belum mengenalnya seutuhnya." 

Saat itu saya tersenyum mendengarnya. Komentar? Ngga. Karna saya tau, memilih itu hak setiap orang. Semua resiko dari sebuah pilihan itupun adalah tanggungannya. Apa yang sudah disatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia. Ini kata firman Tuhan ya, bukan kata saya. 

Sekali lagi, saya tidak setuju adanya perceraian, tapi saya tidak punya kuasa untuk melarang hal itu terjadi. Kenapa? 2 orang yang menikah itu sudah dewasa dan waras dengan akal budinya, hingga segala pertimbangan harusnya bisa dilakukan. 

"Jangan menikah, kalo tidak siap menjadi suami atau isteri" ini dulu, papa pernah bilang buat kita ber3. Sudah saya bilang ya? Papa saya, selalu mengajarkan dan menasehati kami dimana saja. DIMANA SAJA. 

Saat itu, kalo ngga salah, abis ada jemaat yang mengadu soal masalah rumah tangganya, sepertinya mereka mau cerai. Ini udah lama banget, lama banget. Hari itu, sudah malam, lalu papa baru pulang gereja. Kita masih di Bahtera Kasih, Makasar. Papa menemukan kita belum tidur dan lagi duduk di pinggir kolam ikan. Lalu, papa mengajak kita jalan ke Malino. Saya lupa itu libur atau ngga. Pokoknya, malam itu kita berlima naik ke Malino.

Dalam perjalanan itu, papa mengatakan hal itu. "Jangan menikah, kalo tidak siap menjadi suami atau isteri" Bayangkan ngga, umur berapa kita saat itu? 

Papa : Menikah bukan hanya sebuah status, supaya kalian tidak dibilang "tidak laku". Lalu akhirnya kamu hidup dengan sakit hati sampai mati. Kalau kamu bilang siap menikahi, kamu harus bertanggung jawab dengan janji itu. Janji yang kamu buat, bukan didepan pendeta, tapi Tuhan. Dalam suka dan duka, untung dan malang, tidak boleh kamu menikah hanya untuk enaknya saja. Menjadi suami, artinya kamu harus berjuang untuk kerja. cari hidup, jangan hanya luntang lantung ngga jelas. Bukan hanya pergi ngga jelas, main sama teman2 sampai pagi, serasa masih bujang. Suami itu imam. Harus bisa memimpin keluarganya. Ngerti? 

Sama juga istri. Jangan kurang ajar dan seenaknya dengan suami. Merasa hebat dan punya duit banyak, jadi bisa kurang ajar.  papa mau bilang ini buat kalian bertiga, menikah itu bukan untuk saling menyusahkan. Tapi, harus saling menghidupkan. Papa benci perceraian. Dengar ini, papa mengutuk kamu, kalo sampai kamu melakukan hal yang Tuhan Yesus benci. Karna itu, kalian bertiga harus berpikir matang2 ya, sebelum kaka, amor, eset menikah. Syaarat papa satu, dia harus seiman didalam Yesus. Mau dia kerjanya tukangpun, asalkan dia seiman, papa terima. 

......Ya tapi, ngga tukang juga lah...hhahahahahahahhahahahaa....

Saat itu, kami belum memahami apa yang papa maksud. Menjadi suami? Menjadi istri? Harus bertanggung jawab? Terdengar sepertinya pernikahan itu adalah tugas yang berat. Belum lagi, jika Tuhan memberikan anak. 

Menikah itu duet ya? Bukan nyanyian SOLO. Hingga saat masalah ada, salah satu dari kalian akan pergi. Masalah harus diselesaikan, bukan didiamkan. Masalah tidak akan selesai hanya dengan berdiam diri, karna itu dialog, komunikasi dibutuhkan. Jawaban atas semua permasalahan, kuncinya adalah bicara. 

Sehebat apapun EGO kamu menahanmu, kamu seharusnya memahami, pernikahan bukan sebuah pertandingan menang dan kalah. Siapapun yang memenangkan dan mengalah, kalianlah pemainnya. 

Saya tidak tahu, aturan baku dalam setiap pernikahan. Mungkin saja, pada beberapa orang, ada yang masih me time dan memang membutuhkan me time. Ada juga yang sepakat bahwa segala sesuatu tidak boleh dirahasiakan. Namun, ada juga yang menghargai privacy pasangannya. COntoh, mereka ngga akan ngecek HPnya. Membuka isi WAnya. Tidak. 

Kalian yang mana? Terserah, senyamannya kalian aja. 

Pernikahan, bukan drama korea yang selalu menampilkan sisi romantis. Atau film hollywood, dimana segala hal dibalut dengan adegan romance dan setiap pertengkaran harus diakhiri dengan bobo bareng. 

Pernikahan yang real, tidak semua suami romantis. Apa sih romantis? MUngkin setiap orang memiliki kriteria dan jawaban pasti tentang hal ini. Menurut saya, romantis itu bukan tempat, tapi moment. Moment yang tercipta, dari sebuah usaha untuk menyenangkan pasangannya. Ngga usah yang hebat2 deh, ucapan "Terima kasih ya bisa jemput" ditengah kesibukkannya, buat saya itu romantis. Entahlah, apa saya memang "semurah" itu tentang keromantisan hahahahhahahaaa... 

Tidak semua hal yang mahal, harus diromantisasi. Karna, saat kamu mengenang sesuatu ketika waktu berlalu, kamu tidak akan mengingat price tagnya. Kamu akan mengingat momentnya dan orangnya. Siapa yang bersamamu, dikala itu. 

Ada yang bilang "tidak semua orang berharga untuk diperjuangkan", setuju? Iya, saya sepakat. Namun, bila kamu sudah memilihnya dalam pernikahan, bukankah memperjuangkannya adalah sebuah keharusan? Sekalipun dia selingkuh, nyed? Sekalipun lo tau, dia udah tidur dengan perempuan selain lo, nyed? Lo bisa memperjuangkan dia?

Saya ngga tau, harus jawab apa. Tapi gini, ada kenalannya mama, suaminya selingkuh. Apa yang dilakukan tante itu? Dia bertahan dan berdoa. Suatu hari, ada acara di gerejanya, mama dan papa kebetulan diundang. Mama sih yang diundang. Noke? Ya biasalah, menemani istrinya hahahhahahaaa... Sehabis acara, mama cerita untuk kita berdua. Tau apa yang dibilang tante itu... "Tuhan mengembalikan milik saya, sin. Dia kembali untuk saya dan anak-anak. Saya tidak mau pisah, sin. Bukan karna anak-anak, karna saya cinta dia." 

Selama perjalanan pulang itu, saya merenung. "Tuhan mengembalikan milik saya", artinya kan Tuhan membawanya pulang pada janjinya di Altar ya? Kalo orang lain, mungkin udah pisah lah. Namun, ngga dengan Tante itu, beliau menerima, membuang egonya. Cinta, nyala seperti api dan kekuatannya mengalahkan maut sekalipun. 

Dan, sampai detik ini, saya masih berpikir, seandainya, saya diposisi tante itu, apakah saya mampu, melupakan? Mengampuni? Apakah saya bisa berdoa agar suami saya bisa kembali? Dan bila dia kembali, akankah semua sama seperti dulu? Pengkhianatan tidak bisa semudah itu dimaafkan. Bahkan dalam cerita hidup yang bergulir, sakitnya akan selalu menjadi alarm pengingat. Disuatu waktu, kamu bukanlah yang utama.

Apa bisa, menahan EGO dan memperjuangkan pernikahan agar tetap utuh?

Bukan karena anak-anak atau demi anak-anak. Namun, karena cinta. Sayang. Karena. janji yang diikrarkan dihadapan Tuhan adalah pengikat.

Dan, kamu mampu menyakiti dirimu, hanya untuk keutuhan sebuah pernikahan?

saya belum tau dan tidak punya jawaban pastinya.

Setiap pernikahan memiliki battlenya sendiri-sendiri ya? Tidak bisa mengukur pernikahan si A dengan B atau bahkan membandingkan. Rasanya tidak tepat.

Tidak semua hal yang kamu lihat romantis, sama dengan aselinya. Mereka menutupinya dengan baik, karena tidak perlu ada yang tau, seberapa patahnya hati yang menjalaninya. Mereka mengemasnya agar terlihat baik-baik saja, walaupun untuk menjalaninya sudah terasa tawar. Bahkan meneruskannya, tidak lagi ada alasan bersama. Mereka tertawa didepan orang, memastikan semua akan baik-baik saja, sekalipun kembali ke rumah yang berbeda atau kamar yang terpisah.

Karena, cerita tentang perceraian, bukan hanya tentang dua orang. Namun, ada banyak hati yang harus dijaga perasaannya. Ada yang harus dihormati keberadaannya. dan lalu, ada yang harus dipertanggung jawabkan nantinya. 

Perceraian tidak pernah menjadi keputusan yang mudah. Pertimbangan, bahwa sudahkah saya melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan KITA? Haruskah saya memohon sekali lagi agar dia tinggal disisi? Mungkinkah, dia masih mencintai saya setelah semua kesalahan yang saya lakukan? Menahannya disini, apakah akan membahagiakan dia? Apakah masih worth it bila kami berjuang sekali lagi? Pantaskah dia dimaafkan? Mampukah saya melupakan salahnya dan menerimanya dengan tulus? Akankah kesalahan yang sama berulang lagi? Sampai berapa lama, saya membiarkan dia menyakiti pernikahan ini? Bila kita berpisah, anak-anak gimana? Apakah perpisahan ini jalan terbaik untuk kita dan anak-anak? Apa mereka bisa memahami, apakah anak-anak tidak akan merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain? 


Tulisan ini, dibuat tanpa tendensi apapun. 

Hanya sebuah rangkuman bodoh, bisa jadi juga tulisan bodoh.

Sebuah pemikiran yang cukup skeptis mungkin, tentang PER-cerai-AN...

Kenapa, kata cerainya saya buat menjadi huruf kecil. Karena, sebelum sampai pada keputusan itu, setiap pasangan memiliki PER-AN (PERAN). Peran yang harus diperjuangkan, seberapa mustahilpun itu. 

Kamu tau kamu kalah, saat kamu sudah berjuang dengan maksimal, dan hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. iyakan?

Saat kamu tidak berjuang dan menyerah, kamu bukan kalah, tapi pasrah.

Pernahkah, kamu bertanya pada dirimu, seberapa bahagiakah aku tanpa dia? Apakah alasan yang membuatku memilih dia saat menikah, masih tetap berharga untuk dipertahankan dan diperjuangkan?

Saya tau, semua orang yang memutuskan berpisah, pasti sudah menimbang segala resiko.


Semoga saja, setiap perceraian yang terjadi, tidak melukai batin anak-anak yang ada didalamnya. 

Semoga saja, pasangan yang bercerai, menjadi cukup bijak untuk tidak melakukannya lagi pada pernikahan selanjutnya.

Semoga saja, setiap pasangan yang akan bercerai, diberikan hikmat untuk mempertimbangkan segala keputusannya, sebelum palu hakim diketuk.

Perceraian tidak berarti memutuskan tali silahturahmi, iyakan?

Tapi, berapa banyak orang, yang menjadi asing karena sebuah perpisahan?


Sinsi : "Kalo nanti kaka menikah, hal pertama yang tidak boleh kaka menangkan adalah EGOnya kaka. Dalam pernikahan, harus belajar menjadi 2 sisi, kalo yang satu marah, yang lain harus bisa menenangkan. Beradu argumen, bukan beradu ego. Ego karena lebih tau, lebih merasa hebat, jangan... Yang menghancurkan pernikahan selain tidak setia, adalah ego. Egonya kaka, harus dibuang jauh, saat menikah nanti. Kaka tidak bisa bawa masuk ego sebagai "seorang kaka" didalam pernikahan. Karna, kaka adalah istri,yang harus menghormati suami. Kaka harus mengerti menempatkan diri kaka. Coba liat, mama dan papa, mama tidak pernah menyanggah pembicaraan papa, dimanapun. Mama tidak pernah berlagak lebih sok hebat, disamping papa. Karna, mama sadar, mama membawa nama papa disana. Mereka tidak lagi, mengenal Fransien Hukom, tapi Fransien Ihalauw. sampai kapapun, sekalipun papa tidak marah, kalo mama pakai Hukom saja. Tidak ada pernikahan yang salah, kak. Pernikahan gagal, karena orang2nya tidak mau berjuang bersama. Tidak saling belajar untuk hidup bersama. Pengertian satu sama lain tidak ada. Mama bisa bilang begini, karena menjalani dengan papa, bukan hal yang mudah, kak. Kaka, harus menikah dengan orang yang kaka cintai. Karna bagi mama, pada akhirnya cinta menguatkan kita, untuk melakukan yang terbaik bagi orang yang kita cintai. Papa dan mama melakukan itu. Jadi, mama memahami papa dengan baik, kapan papa marah, kapan papa sedih. Bahkan lirikkan papa aja, mama mengerti apa yang papa mau. Semua itu, tidak bisa dipelajari instan. Kaka akan belajar seiring waktunya. "


Kok jadi sedih ya, inget2 nasehat mama dan papa. Juga beberapa orang yang saya kenal. 

Jadi, paham ya, kenapa saya belum memutuskan untuk harus menikah?

Lo ngga mau menikah, nyed? Mau. Tapi, tidak dalam tahun ini. Mungkin tahun depan.


Hal pertama yang saya siapkan adalah mental saya. Bahwa, sehebat apapun badai yang menerpa nantinya, perceraian bukan sebuah jalan keluar dan tidak akan terbersit didalam pikiran saya. 

Dan, untuk sampai ditahap itu. 

Saya harus "selesai" dengan diri saya sendiri,


Benyada Remals "dyzcabz"


Sekali lagi, tulisan bodoh ini, tidak dibuat untuk menghakimi siapapun. Tidak juga menjelkkan siapapun. Ini opini pribadi saya.

Ini hanya tulisan "bodoh" dari orang tidak bodoh2 amat, yang belum memutuskan dengan pasti, kapan menikahnya. 

Semoga saja, suatu hari nanti, saat dia akhirnya memutuskan untuk menikah, semua cerita yang diceritakan kembali ini, menjadi pengingat yang benar dan alarm penyadar agar ceritanya tidak berakhir dalam ketukan palu.

Semua manusia, selalu mengumandangkan "happily ever after", namun bagaimana bila duet yang disatukan tidak seindah, nyanyian solo yang didengarkan?

Karna, setiap orang memiliki happy endingnya sendiri, entah endingnya happy atau happynya diendingkan.

Berbahagialah kamu, dengan caramu. Ini hidupmu, ini ceritamu, kamu penulisnya....






Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts about me

25 facts about me Ini salah satu chalenge yang agak menatang bin unik, karena saya harus benar-benar mengenali siapa dan bagaimana saya. Memang hanya sebuah keisengan saja, tapi tetap saja, membuat saya berpikir cukup keras untuk ini... And, this is it... 25 fact about me : 1. Saya adalah sulung dari 5 bersaudara, namun tunggal perempuan dari 3 bersaudara, kedua adik perempuan saya meninggal. Dirumah semua memanggil saya Kakak, bahkan yang lebih tua dari saya. (*kocakkan?) 2. Saya lahir di Salatiga, tumbuh dan berkembang di berbagai kota, palembang, surabaya, makasar, namun sebagian umur saya, dihabiskan di Metropolitan. Hmmm,,,,tapi saya Ambon! 3. Saya menghabiskan waktu luang saya dengan nulis, denger musik, baca buku, but almost novel my fave reading. Hohoho... 4. Hal yang tidak pernah salah buat saya adalah CHOKI-CHOKI, karena teman terbaik sekaligus musuh teeberat saya (*sometimes) Yep, Im chocofreak!  5. Saya suka bertualang kemana saja. Apalagi kepegunungan. T...

Obsesi YANG SALAH!!!

Obsesi yang salah! Saturday, September 25, 2010 6:15 AM Mungkin aku harus mengatakan BAHWA aku PEREMPUAN yang sangat beruntung! Dengan segala keterbatasan yang aku miliki,aku mampu memikat hati siapa saja. Aku mampu mendiamkan,ANJING HERDER!<loh kok=""></loh> ************************************************************** Kenapa aku mengatakan AKU BERUNTUNG??? Disatu sisi,aku dicintai oleh seorang lelaki yang nyaris sempurna. Dia memiliki ketampanan dan kemapanan yang menjadikannya sebuah OBSESI yang diminati oleh setiap HAWA. Kecuali aku! Aku benci COWO! Mereka adalah makhluk egois yang tidak pantas dicintai. Mereka lebih baik untuk dicampakkan. Tidak ada toleransi untuk rasa benciku pada makhluk terkutuk itu. Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka. Entah untuk alasan apa! Tapi,AKU MEMBENCI COWO. Sampai DIA datang… Membuatku runtuh dari KESOMBONGANku yang menilai bahwa akulah yang paling benar tentang segala hal. Dia menamp...

I am a proud sister!!!

I am a proud sister!!!! First thing first... Congratz, Melf! Calon Sp.B menunggu waktu aja sih. Pembicaraan tentang sekolah lagi itu sudah ada beberapa tahun ke belakang, sejak PTT, well kita udah hampir 8 tahunan jadi dokter. Mulai dari dokter ptt di pedalaman, hingga magang di RSUD, hingga akhirnya menetap dan menjadi PNS di RSUD Kota Sorong lalu di angkat menjadi Kepala IGD (*melf) Jadi saya mengerti betul, bahwa kakak saya sangat menginginkan "sekolah" lagi. Sama saya juga. Tapi, usia epit adalah batas rawan. Kenapa? Dia udah 33, tahun ini, 34. Sedangkan batas usia yang di tetapkan itu 35 tahun. Jadi saya mengerti betul, kenapa dia berjuang dan berusaha sekuatnya untuk masuk PPDS. Mungkin ada banyak yang akan bertanya, ngapain sih ngotot jadi ppds atau sekolah spesialis. Toh udah dokter, ngga capek sekolah lagi. Well, tergantung caramu memandang sebuah "nilai" dari gelar yang tersemat. Untuk kami, menjadi Spesialis bukan hanya tentang "keuntungan...