Begitu saya memanggilnya. Dia salah satu kerabat dekat kami. Teman sepelayanan papa. Vikarisnya papa. Serta saudara sepupu yang benar-benar bersepupu aseli. Sehingga dia layak menjadi OM Tersayang kita ber 3.
Saya mengenal OM PIET ketika saya masih duduk di kelas 3 SD di Surabaya. Om piet punya 2 anak perempuan, namanya Uti dan Olin. Mereka itu sahabat pertama saya. Bukan, mereka adalah adik saya. Saya seperti amor dan eset. Mereka adalah orang yang untuknya saya bersedia direpotkan.
Papa dulu pegang jemaat di eben haezer surabaya, om piet di gereja baskara. Kalau saya tidak salah ingat, di pinggiran pantai kenjeran. Awalnya papa sering sekali mengajak kita untuk jalan2 dan main ke rumah Om Piet. Sampai akhirnya kita sangat akrab dengan anak-anaknya.
Mulai dari nginap dan saling mengantar, ikut papa jalan-jalan bareng, jalan ke tretes dan beli kelinci yang 2 hari kemudian mati mengenaskan akibat lupa dikasih makan, sampai cerita konyol betapa jahatnya saya waktu kecil. Yeah...saya jahat!
Lalu om piet pindah ke Makassar dan kami berpisah. Sedih rasanya kehilangan teman. Bukankah saya pernah bilang, menjadi anak pwndeta itu adalah sebuah petualangan. Karna kita tidak akan tinggal dengan tetap disebuah kota. Selalu pindah, selalu bergerak mencari tempat sekolah baru, selalu mulai mencari teman baru lalu meninggalkan teman lama, dan begitu seterusnya.
At least, sampai saya kuliah dan saya keluar dari rumahnuntuk kosan.
Saat mendengar papa pindah juga ke makasar, kita her 3 sangat senang. Kenapa? Karna disana kita ketemu Om piet, tantebtelly dan uti olin. Ada teman main. Ada teman yang kadar kegilaannya sejenis dan jenis kenakalannya setipe.
Kenapa saya sangat menyayangi uti dan olin?
Karena saya tidak memiliki adik perempuan. Saya menganggap mereka adik perempuan saya. Uti itu bawel, dengan tingkat keanehan yang absolut, ceplas-ceplosnsesukanya, tertawa ga terkontrol, tukang ngina orang, tukang lawak yang cocok buat stand up comedy, dan orang yang selalu menceritakan kekocakkan papanya. Rangkumannya, dia sangat bangga dengan semuabitu. Olin, 360 derajat terbalik dengan kakanya. Olin itu manis, pintar, pendiam, penurut, jarang bersuara keras dan karas. Intinya semua kebaikkan ajaran guru PPKN ada di OLIN.
Singkatnya, kita ber 5 menjadi anak pendeta yang benar-benar survive. Hahahahha... bagaimana tidak? Papa dan mama kami kadang terlalu sibuk melayani. Sampai kadang, mereka jrang punya waktu untuk kami. Saat itu, saya mulai belajar masak nasi goreng, mie goreng, telor dadar, itu makanan wajib kalo mama blom sempat masak.
Walaupun begitu kita ngga pernah mengeluh tentang apapun itu. Saya senang-senang saja. Kenapa, karena kami bebas bermain dengn teman-teman kami. Mulai dari main DENDE, Kotak pos, lompat tali, sampe lempar batu, main benteng, pokoknya masa kecil kami dimakasar adalah masa terbaik kami dalam bertumbuh dan berkembang. Setidaknya kami adalah generasi 90-an yang masih tumbuh jauh dari era teknologi kekinian yang justru mempersempit arti BERMAIN BERSAMA secara nyatan
Saya masih begitu ingat, waktu natal dan mereka ber4 didatangi oleh Piet Hitam, uti dan olin justru lari kePapa. Bukan ke Om Piet. Kenapa? Dengan santainya Uti bilang "diakan pendek, dia ngga bisa lindungin kita"
Setiap kali ada acara masak-masak di GPIB Bahtera Kasih makasar, setiap itu juga kita akan menemukan kebebasan. Bebas untuk main tanpa ada jam malam untuk tidur, ataupun alarm sign dari mama. Bebas nongkrong layaknya orang gede pada masa itu. Hahhahahaha... bebas ambil makanan di stand-stand lain dengan nama "anaknya pendeta" hahaha... thats a lovely moment!
Waktu papa bangun koperasi disamping gereja, Uti dengan santainya masuk dan mengambil jajanan disana. Saya melarangnya. Namun dengan santai dia blg "Ambil aja,kak. Inikan om noke yang buat" dan kaka penjaga koperasi itu hanya terdiam lesu. Eh...hahahhaha
Kembali lagi Om Piet, dia adalah salah satu orang yang sangat tau bagaimana keras dan tegasnya papa mendidik kita. Bagaimana papa tidak mau mentolerir tentang nilai 6 dirapor. Bagaimana papa tidak suka dibantah dan dilawan. Bagaimana kerasnya papa membentuk watak kami. Bagaimana papa menjadikan kami harus pintar seperti dia. Harus juara. Harus belajar. Harus tidur siang. Ga boleh jalan malam, kecuali libur. Ga boleh nginap dirumah orang sembarangan. Ga boleh pulang sekolah telat. Ga boleh baju kotor kalo pulang sekolah. Setiap malam, harus belajar dan stop nonton TV. Ga ada game untuk hari sekolah. Dan begitu banyak aturan lain yang membuat kami jenuh.
Tapi, hari ini saya mengerti, kenapa harus seperti itu?
Om piet sering membela kami saat papa marah. Namun lebih sering lagi diamnya. Hahahaha... kalau papa lagi ngga ada dan kita lagi duduk sambil nangis karena abis dimarahin, om piet bakalan sok2an marahin papa didepan kita. Tapi, kalo pas papa tiba2 aja muncul, kalimatnya langsung berubah gini "iyoooo yang papa bilang itu, kaka harus ikut. Itu baik" hahahahahahahahaha... thats my lovely uncle!
Setidaknya diantara 1000 orang yang mengaku keluarga, saya tau bahwa Om Piet benar-benar tulus saat mengatakan hal itu. Dia mendukung papa. Dia sahabat baik papa. Dia menganggap kami ber 3 anak-anaknya. Menasehati kami juga. Memarahi kami juga. Dan dia adalah tukang lawak terbaik sepanjang masa.
Ketika kemaren kami brtemu lagi, setelah 14 tahun tidak ketemu...
Om Piet tidak banyak berubah. Dia masih Om saya yang dulu. Yang kocaknya bukan main. Yang konyol. Yang perhatian. Yang unik. Yaaa, Om Piet tidak pernah berubah. Hahahahha masih tetap sependek dulum eh...maap!
Bukan hanya Om Piet, tapi Uti juga. Bayangin aja, kita terakhir ketemu pas umur 11 taon. Diatas kapal, pas saya dan mama mau berangkat ke jakarta. Dan sejak saat itu, kita ga pernah ketemu, hanya melalui teknologi canggih aja saling bertukar berita dan cerita.
Menemui Uti dan Om Piet kembali setelah sekian tahun. Membuat saya bernostalgila tentang masa anak-anak. Masa dimana mimpi besar saya hanya menjadi doa penutup malam sebelum tidur. Sebatas mimpi. Namun, kembali bernostalgila dan tegak dengan gelar yang diimpikan rasanya begitu bangga.
Yaaah, saya bangga ketika Om Piet dengan tegas blg "ini dokter loh sekarang! Udah hebat dia"
Apalgi saat Om Piet menatap eset dengan sedih. Matanya berkaca-kaca. Om Piet turut menangis atasbkejadian yang menimpa eset. Dia selalu memantau keadaan eset dari Uti dan Papa.
Yup, saat kami bercerita di halaman samping GPIB Zebaoth Bogor, saya bisa melihat betapa bangganya Om Piet melihat kami. Yup, kami dalam versi kurang Olin. Lihatlah, bagaimana kami menjaga persahabatan ini. Kami tetap seperti anak kecil puluhan tahun lalu. Mungkin dalam versi badan yang lebih berisi dan meninggi. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih selalu sekocak itu. Kami tidak canggung atau jaim. Tidak menjadi kaku lalu sepi pembicaraan.
Kenapa?
Karna kami keluarga. Kami sodara. Dan untuk keluarga, apapun yang terbaik, yang mampu kami buat, itulah yang kami lakukan. Karena, sodara itu bukan jaim bareng, tapi ngakan bareng!
Terima kasih Tuhan,
Akhirnya kami bisa bernostalgila bersama lagi,
Setelah puluhan tahun lalu kami terpisah.
Dan senang sekali,
Menemukan kenyataan bahwa tidak ada yang berubah diantara kami,
Kecuali raga dan titel didepan dan belakang nama kami.
Bennu Bekhorah Yedyah "benyada", Uty Martha Kapaputi Souisa "uty", Caroline Prisilia Souisa "olin", Benni Amor Salutavi Eklesia "amor", Benni Senii Pani El-khesed "eset" ditambah satu anggota baru "Angela Souisa" thats us!!!! Im glad to have u in my life,guys...
Semoga kita akan selamanya seperti ini,
Saling mengabari, saling mengingat, saling bercerita, sampai saling mengatai... hahahahahahha...
Akhir Juni,
Saya mengucap syukur pada Tuhan, setiap kali mengingat kalian.
Benyada Remals "dyzcabz"
Komentar
Posting Komentar